Memudarnya Ruang Dialektika di UII

Himmah Online, Kampus Terpadu – Aliansi Demokratisasi Kampus dan komunitas Diskusi dan Penelitian (Dispensi) menyelenggarakan diskusi pada Selasa, 15 Januari 2019 dengan tema “Menjemput Ruang Kebebasan Berdemokrasi di Universitas Islam Indonesia (UII)”. Diskusi yang dimoderatori oleh Fakhrurrozi, mahasiswa Fakultas Hukum UII ini berlangsung di depan gedung Program Studi Ilmu Komunikasi UII.

Acara diskusi ini mengundang Alif Lukmanul Hakim, dosen Fakultas Teknologi Industri UII dan Mahendra Kusuma yang dari Kongres Politik Organisasi – Perjuangan Rakyat Pekerja (KPO-PRP) sebagai pembicara.

Menurut Fakhrurrozi, diskusi kali ini bertujuan untuk memberikan pemahaman terkait makna dari demokrasi secara luas. Salah satu latar belakang diskusi ini ada akibat tertutupnya tiang demokrasi di kampus yang menimbulkan keresahan mahasiswa yang ingin melakukan proses dialektika di ruang terbuka UII.

Menanggapi hal tersebut, Alif Lukmanul Hakim sebagai pembicara pertama saat itu memberikan pendapatnya. Ia beranggapan bahwa UII seharusnya sangat erat dengan demokrasi, karena demokrasi itu pada dasarnya berlandaskan dari pancasila. Pancasila itu sendiri memiliki makna terkait sosialis, lalu sosialis itu tidak luput dari keislaman. Maka dari itu UII sangat erat sekali dengan keislaman.

Sehingga menurut Alif, UII tidak boleh lepas dari demokrasi, “Islam itu adalah agama yang selalu mengedepankan pembahasan untuk mencapai kesepakatan,” tambahnya.

Selain itu, Alif juga menjelaskan bahwa untuk mencapai demokrasi, diperlukan perjuangan yang sangat panjang agar tujuan kesetaraan bisa tercapai. “Pada dasarnya demokrasi itu adalah hukum agar tidak ada kesenjangan dan hanya ada kesetaraan,” jelas Alif.

Lalu, Alif juga tidak luput untuk menyampaikan bahwa terkait cara memandang suatu masalah yang ada di UII, kita tidak boleh melupakan sebuah tujuan yang memang sudah penting untuk diperjuangkan. “Cara pandang kita boleh berbeda, tetapi kita harus mengedepankan ruang diskusi dan ruang dialog,” terangnya.

Pembicara kedua yaitu Mahendra kemudian menjelaskan terkait sejarah akan keberadaan demokrasi di dunia. Menurut Mahendra, demokrasi yang ada seharusnya didiskusikan untuk pengoperasiannya. Namun, yang terjadi saat ini banyak yang salah mengartikan demokrasi itu sendiri, hingga akhirnya ada masa yang terulang kembali ketika NKK/BKK diterapkan.

“ketika Normanilisasi Kehidupan Kampus atau Badan Koordinasi Kemahasiswaan (red-NKK/BKK) diterapkan, mahasiswa hanya difokuskan kepada tiga hal yaitu kuliah, minat, dan bakat. Persoalan politik tidak diperbolehkan sama sekali,” imbuhnya.

Maka dari itu, Mahendra berharap untuk para pejuang demokrasi yang ada di kampus jangan sampai hilang termakan angin, sebab banyak sekali kasus pelanggaran demokrasi yang menciderai demokrasi itu sendiri.

“Misal tahun 2015 yang paling banyak menghanguskan demokrasi kampus itu adalah birokrat kampus (red-kampus di seluruh Indonesia). Diskusi tentang 65 (red-gerakan 30 September 1965) dan LGBT (red-Lesbian, Guy, Biseksual, Transgender) itu paling banyak dibubarkan,” ujarnya.

Kemudian, Papuji yang berasal dari Study Club Bundaran Kritik menambahkan pembahasan kasus terkait penarikan makna demokrasi yang lebih jauh dan pemaparan terkait sejarah berdirinya UII, “Banyak sekali penyimpangan demokrasi di UII ini, sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai demokrasi itu sendiri,” ucap Papuji.

Ilham pun turut ambil bagian untuk menceritakan keresahannya terkait pembungkaman ruang demokrasi yang ada di Fakultas Hukum (FH) UII, Ilham mengatakan bahwa hal itu sudah sangat lama terjadi di FH UII. “Buktinya banyak agenda kita yang di cap berbahaya. kalau diskusi dilarang itu kan berarti kita dilarang berpikir,”tegas Ilham.

Reporter: Ananda Muhamad Ismulia

Editor: Armarizki Khoirunnisa Damanik

Skip to content