Nanti Kita Sambat Tentang UU ITE

Jika kita membaca Undang-undang nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), bahkan setelah direvisi di tahun 2016 pada bagian umum disampaikan bahwa kemerdekaan menyatakan pikiran dan kebebasan berpendapat serta hak memperoleh informasi untuk kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan rasa aman, adil serta mempunyai kepastian hukum.

Saya rasa dasar dari adanya Undang-undang ini sangat baik dan bermanfaat di tengah era Teknologi Informasi ini. Tapi bagaimana penggunaannya yang sering disebut mengandung pasal karet? Disaat membahas seringnya penggunaan pasal karet inilah saya ingin sambat.

Kenapa jadi sambat? Jika kita melihat data Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) yang saya kutip dari tirto.id ada 245 laporan kasus UU ITE di Indonesia sejak tahun 2008 dan hampir setengahnya menggunakan pasal pencemaran nama baik sebagai dasar pelaporan. Tentu ini yang menjadi masalah karena disini yang sering terjadi masalah pencemaran nama baik dan ujaran kebencian. Seseorang bisa saja merasa tidak nyaman dengan pernyataan orang lain yang diungkapkan di sosial media bahkan bukan hanya di sosial media namun komunikasi elektronik yang bersifat privat pun seperti surat elektronik, pesan pribadi platform chat apapun bisa dilaporkan.

Satu tahun setelah undang-undang ini ada, di tahun 2009 Prita Mulya Sari harus berurusan dengan pasal ini. Ia dilaporkan Rumah sakit Omni Internasional karena mengirim surat elektronik berisi keluhan atas pelayanan rumah sakit tersebut ke beberapa temannya. Bayangkan untuk sambat dengan beberapa teman saja melalui surat elektronik bisa berurusan dengan hukum karena dianggap melakukan pencemaran nama baik yang diatur pasal 27 ayat (3) UU ITE. Hadeeeehhh, apalagi saya yang sambat di sini. Tapi tidak, saya tidak mencoba sambat tentang orang tertentu biar tidak repot karena nanti bisa dilaporkan.

Melihat pasal 27 ayat (3) UU ITE ini saya kira yang cukup bermasalah. Maknanya sangat powerfull untuk menghajar siapa saja yang dilaporkan. Bagaimana tidak, kalau kita melihat isinya disebutkan, “siapa saja yang mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dapat dipidana. Informasi elektronik di UU ini juga disebutkan adalah “satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.” Jadi intinya apapun yang kita kirimkan menggunakan sistem elektronik dan itu menyinggung orang lain yang mengakibatkan orang merasa terhina kita bisa dipidana.

Sedangkan kalau kita melihat dengan realita sekarang ini, apa saja bisa dilakukan dengan sistem elektronik. Hampir semua pertukaran informasi di zaman sekarang dilakukan dengan sistem elektronik entah itu smartphone dengan bermacam aplikasinya atau komputer. Mungkin satu-satunya pertukaran informasi non elektronik zaman sekarang adalah dengan ngobrol. Lagian siapa sih di tahun 2019 ini masih mainan surat kaleng? Mungkin disini kita bisa melihat celah, kalau mau gosip atau ghibah lakukanlah secara langsung jangan lewat grup Line atau Whatsapp, karena kalau ada yang screenshoot sudah cukup menjadi alat bukti kalau yang dighibahin merasa terhina.

Satu lagi mungkin yang ingin saya sampaikan yang mungkin membuat kita semua ingin sambat berjamaah. Ada fakta menarik tentang penggunaan pasal ini, dalam data yang sudah saya sebutkan diatas, pelapor terbanyak dalam kasus UU ITE adalah pejabat negara dan terlapor terbanyak adalah dari kalangan awam dan diikuti oleh aktivis, pelajar dan mahasiswa. Pelaporan pejabat disini terhadap terlapor awam berangkat dari kritik atas kinerja pejabat yang malah diarahkan kepada ujaran kebencian. Terus tidak boleh dikritik gitu? Terus bagaimana dengan pejabat mahasiswa yang mau melaporkan mahasiswa dengan menggunakan pasal karet? Haassshhhh Ramashookk

Banyak lagi kasus penggunaan pasal ini yang membuat kita ingin sambat. Contohnya saja kasus Baiq Nuril korban pelecehan seksual yang sedang mencari keadilan malah dilaporkan balik oleh pelaku karena dianggap melakukan pencemaran nama baik. Padahal banyak yang harusnya lebih bisa digunakan dengan undang-undang ini, contohnya pemberantasan konten bermuatan asusila dan perjudian yang masih banyak sekali berkeliaran di internet. Bagaimana tidak ingin sambat melihat kasus-kasus tersebut.

Sangat sulit untuk terlepas dari jerat UU ITE jika kita sudah terjerat, kemungkinan untuk lolos sangat kecil. Kalau saya sarankan untuk berhati-hati dan sopan dalam berpendapat itu sendiri sudah mencederai kemerdekaan mengemukakan pendapat. Jadi jika ingin mengkritik secara keras yang memungkinkan objek kritikan merasa sangat-sangat tersinggung lakukanlah secara offline. Berkumpullah, berdiskusilah dan debatlah secara langsung. Hadeeehhhhh dunia ini sudah mulai tidak masuk akal.

Mungkin lagi nanti kita sambat tentang UU ITE.

*Sambat adalah kosa kata dari bahasa jawa yang artinya mengeluh.

**Analisis/Retorika ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi Himmahonline.id.

Skip to content