Kulineran Bareng Aruna dan Lidahnya

Judul Film : Aruna dan Lidahnya

Sutradara : Edwin

Pemain      : Dian Sastrowardoyo, Nicholas Saputra, Hannah Al Rashid, Oka Antara

Produksi    : Palari Films

Durasi        : 106 menit

Sop buntut itu masih berada di dalam wajan yang diletakkan di atas kompor yang menyala. Kaldu dari tulang dan daging ekor sapi naik ke permukaan kuah. Lemak menari bersama mendidihnya kuah. Setelah terpotong menjadi beberapa bagian, tomat dimasukan ke dalam sop buntut. Adegan awal itu bak sihir yang membuat penonton seketika merasa lapar. Terlebih saat Aruna (Dian Sastrowardoyo) memperlihatkan daging yang lunak, bisa dipisahkan dari tulang dengan mudah. “Cara memasak yang benar bisa membuat daging tidak susah dilepaskan dari tulang.” Begitu kira-kira kata Aruna.

Menurut Aruna, untuk menikmati sop buntut atau makanan enak lainnya, tidak harus menunggu dengan siapa kita menikmatinya. Kalau sendiri saja nikmat, kenapa harus menunggu orang yang spesial untuk menemani makan? Kalimat yang akan dia ralat di akhir film.

Anda harus menempuh perjuangan berat sepanjang 106 menit menahan lapar. Saya jamin, penampakan setidaknya 21 jenis makanan dan minuman, diantaranya sop buntut, nasi goreng, soto lamongan, rawon, rujak soto, campor lorjuk, choi pan, bakmi kepiting, pengkang dan sambal kepah, kari udang India, nasi campur, dan kacang kowa akan membuat anda gelisah di bangku tempat anda menonton film ini.

Perjalanan kuliner dimulai bersamaan dengan virus yang biasa disebut flu burung sedang menyeruak. Sebagai salah satu karyawan lembaga yang bekerja sama dengan pemerintah, Aruna mendapat tugas untuk investigasi di lapangan. Surabaya, Madura, Pontianak dan Singkawang. Ini menjadi kesempatan untuk Aruna dan sahabatnya, Bono (Nicholas Saputra) seorang koki, yang memang sudah merencakan untuk wisata kuliner. Bono mengajak juga orang yang dia suka bernama Nad (Hannah Al Rashid) untuk bergabung.

Di luar dugaan, saat berada di Surabaya, Aruna bertemu dengan Faris (Oka Antara), dokter hewan, yang merupakan mantan rekan kantornya dan orang yang dahulu dia sukai. Faris saat itu merupakan perwakilan dari lembaga pemerintah. Aruna dan Faris bertugas mencocokan data yang didapat dari pemerintah dengan keadaan di lapangan. Investigasi ini sebagai acuan pemerintah dalam mengambill kebijakan penanganan flu burung. Tentunya juga acuan penyusunan anggaran dalam menangani wabah virus flu burung. Tidak ditemukan penderita flu burung di lapangan. Aruna dan Faris mulai curiga bahwa ada sesuatu yang sedang direkayasa.

Apabila anda berekspektasi seperti saya, bahwa akan tersaji filosofi tentang bumbu, cara pengolahan dan cerita tentang masakan daerah, maka sebaiknya anda urungkan. Anda cukup menikmati saja filmnya, tidak usah berpikir terlampau berat. Sangat sayang memang melewatkan berbagai makanan luar biasa tanpa tahu ada apa di baliknya? Ini menjadi penting karena peran film dalam menjaga ─atau setidaknya menginformasikan─ makanan daerah beserta budayanya menjadi medium yang ampuh. Masyarakat akan lebih mencintai dan melestarikan makanan daerah dengan cara penyampaian informasi yang menyenangkan, dibandingkan dengan ceramah “ini itu” tentang pentingnya “ini itu” dari orang lain secara verbal.

Tentunya, Edwin sebagai sutradara film ini memiliki tujuan tertentu. Dari pesan yang saya lihat, dia ingin lebih menonjolkan makanan sebagai salah satu sarana orang saling bertemu, berkumpulnya manusia dari berbagai latar belakang, berinteraksi dan menghasilkan kenangan. Contohnya dalam adegan bapak tua yang sedang sakit. Dia selalu mengingat masakan istrinya yang sudah meninggal. Lelaki tua itu menceritakan dengan detail proses pembuatan sampai aroma saat matang. Dia mengatakan bahwa ada makanan yang tidak bisa pindah tangan.

Ada juga pesan bahwa makanan sebagai representasi perasaan. Makanan yang sama akan berbeda rasanya saat kita sedih atau senang. Dengan siapa kita makan juga mempengaruhi rasa makanan, bersama orang yang kita sukai atau benci. Saat memakan rujak soto misalnya. Aruna merepresentasikan makanan sebagai simbol hubungan. Apabila rujak dan soto digabungkan, akan ada salah satu rasa yang kalah. Begitupun dengan hubungan lelaki perempuan. Apabila dua hal yang tidak cocok dan saling dominan, akan ada salah satu yang kalah. Hubungan tidak akan berjalan baik.

Film ini terkesan sederhana. Namun apabila kita memperhatikan percakapan dan narasi dalam film, akan banyak kalimat-kalimat yang bermakna. Misalnya saat Bono berkata bahwa dalam satu piring makanan itu seperti kehidupan. Ada bagian yang sepahit-pahitnya, dan bagian yang semanis-manisnya, kalau kita manikmatinya terpisah. Begitupun dengan cara pengambilan gambar, khususnya pada makanan. Akan berbeda penyajian dari vlog-vlog tentang kuliner yang sering anda tonton di Youtube. Terlihat sederhana memang, tapi saya sepakat justru hal yang sederhana biasanya tercipta dari proses yang rumit.

Anda sudah membaca buku dari Laksmi Pamundjak yang merupakan adaptasi film ini? Ada baiknya anda jangan terlalu berekspektasi tentang berbagai detail dalam buku. Saya rasa anda sepakat bahwa buku dan film adalah dua medium yang berbeda, walaupun memiliki satu sumber cerita. Buku adalah satu hal, dan film adalah hal lainnya. Ada keterbatasan dan kelonggaran masing-masing. Terlebih memang sudah ada penekanan bahwa film ini adalah adaptasi lepas dari buku.

Terlepas dari berbagai ekspektasi yang mungkin tidak terpenuhi, saya jamin anda tidak akan menguap tanda kantuk saat melihat film ini. Pemberian proporsi lelucon yang pas membuat film ini sedap dinikmati. Saya juga merasa harus memberikan apresiasi kepada pemeran Aruna dan Bono. Aruna berhasil ─setidaknya menurut saya─ menjadi pengatur utama suasana hati penonton. Dengan sedikit gerak diwajahnya, misal sedikit gerak bola mata namun bisa memberi dampak signifikan pada scene yang berlangsung. Bono juga tampat sangat luwes berperan sebagai koki dengan detail yang mengagumkan. Sepertinya itu terbantu dari keseharian Nicholas Saputra yang memang hobi memasak. Tidak ada kekhawatiran karakter Cinta pada Dian Sastrowardoyo dan Rangga pada Nicholas Saputra dalam film “Ada Apa Dengan Cinta?” yang masih menggelayuti. Sejak adegan awal mereka bertemu di dapur, mereka sudah menjadi Aruna dan Bono.

Jadi apa makanan favoritmu di film ini? Atau ingin dengan siapa anda menikmati salah satu makanan di film ini?

Skip to content