HIMMAH Online, Yogyakarta – Menatah Toleransi dan Kebebasan Berekspresi di Internet Demi Menjaga Demokrasi di Indonesia, menjadi tema yang diusung oleh Information Comunication and Technology (ICT) Watch dalam diskusi yang diadakan di Ros In Hotel, Bantul, Yogyakarta pada Sabtu, 26 November 2016. Diskusi ini diisi oleh tujuh narasumber dari berbagai bidang keilmuan. Diantaranya, Dewi Cahyani Puspita Sari, sosiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Bambang Muryanto dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta, Emanuel Gobay dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Tri Martono dari Jogja Update, Mario Antonius Birowo selaku dosen Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) dan Pakde Blontang dari Rumah Blogger Indonesia (RBI) Serta Donny Budi Utoyo dari ICT Watch.
Diskusi dimulai oleh Eyang Catur selaku moderator sekaligus salah seorang anggota dari ICT WATCH. Dirinya memaparkan latar belakang diadakannya diskusi karena rasa keprihatinan terhadap kebebasan berekspresi di internet yang cenderung disalahgunakan. “Banyak orang yang kemudian menggunakan Undang-Undang Informasi Elektronik (UU ITE) untuk membungkam pendapat orang dan banyak pula yang dengan mudahnya mencaci orang dan mengumbar kebencian di sosial media,” papar Catur. “Apa yang salah dengan kebebasan kita, apa yang salah dengan demokrasi kita?” tanya Catur menambahkan.
Dony Budi Utoyo, selaku pendiri ITC WATCH menanggapi ungkapan Catur bahwa penggunaan sosial media akhir-akhir ini memang tidak sesuai dengan yang semestinya. “Kita melihat, sekarang banyak sosial media digunakan untuk hal-hal di luar koridor toleransi dan demokrasi,” ungkap Dony. Selain itu Dony juga menegaskan bahwa isu-isu seperti itu sudah menjadi hal yang sering dibahas bukan hanya di Indonesia namun lebih luas di tingkat Internasional.
Dony menduga bahwa fenomena ini terjadi dimulai sebelum tahun 1998 di mana kita tidak terbiasa berdebat dan berbincang dengan orang yang berbeda pendapat dengan kita. Lalu setalah tahun 1998, kebebasan berekspresi mulai dicanangkan dan tidak lagi dianggap sebagai sebuah kesalahan ataupun penyimpangan. Tetapi kemudian banyak orang yang beranggapan bahwa kebebasan yang diberikan tersebut adalah bebas sebebas-bebasnya tanpa ada batasan. Padahal menurut Dony, sebenarnya semua kebebasan itu tidak datang begitu saja “Kebebasan itu sudah satu paket dengan batasan-batasannya,” jelasnya.
Selanjutnya sebagai penggiat media sosial pemilik Jogja Update, Tri Martono yang kerap disapa Pakde Senggol, mengamini apa yang dipaparkan Dony. “Saat ini handphone adalah teman baru yang tidak memandang umur. Membuat orang merasa bebas tanpa melihat adanya pembatas,” tegasnya. Dirinya juga menjelaskan bahwa Jogja Update sendiri memiliki Standard Operating Procedure (SOP) yang sangat ketat sebagai pembatas agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam menginformasikan suatu berita. Hal ini dimaksudkan untuk menangani hal-hal seperti hoax dan hal yang menyinggung perkara Suku, Adat, Ras, dan Agama atau biasa dikenal SARA. “Jogja Update punya SOP paling rumit, seperti tidak memposting terlalu banyak agar tidak terkesan mengompor-ngompori,” jelas Tri menambahkan.
Bambang Muryanto dari AJI Jogja kemudian dipersilahkan berbicara. Bambang mengutarakan keprihatinannya terhadap jurnalis-jurnalis yang tidak memiliki persfektif sehingga banyak berita-berita yang tidak valid dan tidak terverifikasi “Permasalahan teman-teman jurnalis dengan persfektif mereka belum selesai. Media lebih mengandalkan kecepatan sedangkan verifikasi belakangan. Hal ini karena dalam persaingan media online, kecepatan menjadi nomor satu,” papar Bambang.
Pakde Blontang sebagai netizen journalist dari RBI memaparkan bahwa penyebabnya bisa jadi karena pemerintah sebenarnya kurang tanggap terkait perkembangan teknologi “Keterlambatan pemerintah dan kesadaran kita dalam mengatasi perkembangan teknologi masih kurang,” ujar Blontang.
Anton Birowo selaku akademisi komunikasi dari UAJY membenarkan apa yang dikatakan oleh Bambang dan menurut Anton itulah penyebab jurnalis yang sungguh-sungguh dapat tidak lagi dipercaya masyarakat “Fenomena tersebut adalah bentuk bunuh diri dari penggiat jurnalis yang sungguh-sungguh,” jelas Anton.
Menanggapi beberapa persoalan tersebut, Dewi Cahyani, mencoba melihat dari perspektif sosiologi dan psikologi. Dirinya memaparkan bahwa ada satu faktor yang membuat bangsa kita dengan mudah merasa aman membagikan kabar-kabar hoax yang menimbulkan kontroversial terutama di cyber space. “Anonimitas dalam cyber space menjadi salah satu alasan masyarakat kita merasa aman dan nyaman melakukan apapun di cyber space atau dunia maya,” papar Dewi.
Emanuel Gaboy atau lebih kerap disapa Edo dari LBH Yogyakarta kemudian memaparkan ungkapannya bahwa LBH sendiri menyetujui dan sangat bangga apabila Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE) pasal 27 dan 28 serta yang ada kaitannya dengan pasal tersebut dihapuskan dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) “Kami mengambil sikap agar pasal 27 dalam UU ITE dan yang bersangkutan dengannya dihapuskan dari KUHP. Karena sudah ada ketentuan yang mengaturnya,” papar Edo.
Salah satu peserta diskusi. Wening Fikriyani memaparkan kekhawatirannya sekaligus menambahkan apa yang sebelumnya sudah dikemukakan oleh Bambang, “Sekarang banyak jurnalis dan pembuat berita yang tidak memiliki ideologi dan kemudian hanya membuat konten-konten berita demi kepentingan komersial dan menyenangkan para penggajinya,” ujar Wening.
Sebelum diskusi ditutup, di akhir acara Emanuel Gobay yang kerap disapa Edo itu menawarkan sebuah solusi dengan mengatakan “Moral adalah salah satu pembatas bebas berekspresi tersebut,” tegas Edo. Selain itu menurut Edo seharusnya tidak keseluruhan permasalahan harus dibawa ke ranah hukum “Selagi kita bisa menyelesaikan sabuah permasalahan di sosial media atau yang bersangkutan dengan ITE dengan cara kekeluargaan maka selesaikanlah dengan cara itu, tidak usah membawanya ke ranah hokum,” tambah Edo.
Terlepas dari itu Tri Martono dari Jogja Update atau yang kerap disapa Pakde Senggol itu juga menawarkan beberapa solusi “Media harus punya SOP yang ketat,” tegasnya yang kemudian mencontohkan Jogja Update. Ketika terjadi tawuran antar suku, Jogja Update tidak mengatakan suku mana yang sedang tawuran. “Kita hanya mengatakan bahwa ada tawuran. Itu saja, kemudian kita juga tidak memposting terlalu banyak tentang sebuah kejadian apabila itu berpotensi memancing emosi orang banyak, dan terakhir kita harus benar-benar memastikan bahwa berita yang kita sampaikan adalah kenyataan yang terjadi di lapangan, bukan hasil karangan atau hasil jiplakan berita dari media sosial lain,” papar Tri. (M. Reski)