HIMMAH Online, Kampus Terpadu – Pekan Orientasi dan Ta’aruf Universitas Islam Indonesia (Pesta Unisi) memiliki peraturan tentang pers Keluarga Mahasiswa Universitas Islam Indonesia (KM UII) melalui Regulasi Pers Pesta Unisi 2017. Regulasi tersebut memuat tujuh butir ketentuan umum, kriteria pelanggaran, dan sanksi-sanksi.
Setiap pers yang ingin meliput seluruh rangkaian kegiatan Pesta Unisi 2017 harus menunjukan surat tugas dari pimpinan lembaga yang bersangkutan, serta hanya bisa mengirimkan maksimal 6 orang perwakilan dengan syarat harus menggunakan co-card yang disediakan oleh Komisi B.
Tidak boleh mengganggu jalannya acara, dan hanya boleh melakukan wawancara—baik pada peserta maupun panitia—pada waktu istirahat. Setiap perwakilan pers pun wajib menjaga ketertiban dan kebersihan Pesta Unisi, dan hanya diperbolehkan melakukan liputan secara langsung saat acara tertentu.
Poin-poin regulasi telah disepakati bersama melalui diskusi antara Komisi B Steering Committee (SC)—yang bertugas di bidang regulasi—dan pers se-UII. Komisi B mengaku tidak memiliki data notulensi mengenai evaluasi regulasi pers Pesta tahun 2016 dalam forum tersebut. Di lain kesempatan, Hanif Imam Dharmawan selaku Koordinator Komisi B berkata, “Belum ada transformasi soal regulasi pers dari Komisi B yang lalu.”
Hanif lalu menambahkan bahwa ia sempat bertemu dengan Komisi B Pesta 2016, namun transformasi yang diberikan hanya berupa pesan untuk Komisi B sekarang agar lebih menekankan dan memperjelas soal regulasi pers dan eksternal. Hanif memperoleh konsep aturan pers tahun sebelumnya dari Lembaga Eksekutif Mahasiswa (LEM) UII.
Adanya regulasi ini karena kekhawatiran panitia terkait masalah mobilisasi. “Mobilisasi yang dimaksud itu kalau pers sudah memasuki venue, kan, mereka bakal menyebar. Nah, apabila jumlahnya banyak, kita akan sulit mengontrol,” papar Hanif.
Apabila pers tidak diberi batasan, bisa saja ada orang di luar anggota pers yang mengambil gambar saat Pesta karena terlalu ramai. Hanif beranggapan apabila tidak ada keterkaitan dengan panitia atau Pesta, maka orang itu dilarang masuk. “Kalau ada kepentingan ya, harus pakai co-card dari Komisi B,” tambahnya.
Selain alasan di atas, Nursahlan Maulana selaku staf Komisi B menyatakan ia mendapat evaluasi terkait pers pada Pesta 2016. Evaluasi ini ia dapatkan dari cerita rekan Komisi B lainnya. Nursahlan yang biasa disapa Alan, memaparkan bahwa banyak awak pers yang terlihat bergerombol pada Pesta 2016. “Sebenarnya tidak mengganggu, tapi tidak enak dilihat oleh panitia dan peserta,” tutur Alan.
Regulasi pers ini tidak lepas dari verifikasi dengan Dewan Permusyawaratan Mahasiswa (DPM) UII. Menurut keterangan Hanif, saran DPM dalam verifikasi regulasi ialah terkait adanya regulasi live streaming ‘siaran langsung’. Sampai berita ini diterbitkan, tim Himmah Online sudah menghubungi perwakilan DPM yang turut memverifikasi, yakni Dindha Bayu Andriansyah, Tegar Ramadiansyah, dan Muhammad Syafiq Dhiya’ul Haq. Tetapi, ketiganya tidak dapat ditemui. Kami juga sudah menghubungi Muhammad Petra selaku Ketua DPM, namun tidak ada tanggapan.
Regulasi terkait pers tersebut menuai tanggapan dari beberapa Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) UII. Seperti yang diungkapkan oleh Ridho Haga Pratama, salah satu reporter LPM Ekonomika Fakultas Ekonomi (FE). Ia mempertanyakan landasan penetapan regulasi tersebut. “Memang pers pernah mengganggu kegiatan? Kalau pernah, bentuk kegiatannya seperti apa? Di peristiwa yang bagaimana? Ada di dalam LPJ (laporan pertanggungjawaban –red) evaluasi?”
Menurut Ridho, setiap tahun tidak ada awak pers yang dibawa oleh Tim Advokasi menghadap Komisi B untuk disidang setelah melanggar suatu hal. Ridho menganggap regulasi memang diperlukan, namun harus ada rasionalisasi yang mendasarinya. Ia memang tidak terlalu terganggu dengan keberadaan regulasi ini, tetapi ia merasa panitia seperti paranoid terhadap pers. Padahal, pers merupakan perwakilan mahasiswa untuk mendapatkan hak informasi dan pers memiliki fungsi pengawasan. Seharusnya panitia melihat pers sebagai teman evaluator Pesta.
Lagipula, dengan ketiadaan pers, bukan berarti masalah pada acara Pesta Unisi menjadi tidak ada. Ridho mengibaratkannya sebagaimana menyapu karpet lalu membuang debunya di bawah karpet. “Masalah akan tetap ada, hanya saja tidak terlihat karena tidak diberitakan,” celetuk Ridho.
Ridho pun mengaku bahwa ia mengalami hambatan kecil dalam proses peliputan akibat regulasi pers yang ada. Salah satunya adalah kesulitan dalam mendapatkan konsep rundown acara. Selain itu, ia harus menunggu sampai sore untuk diperbolehkan mewawancarai panitia.
Adapun Muhammad Isra Rafid, reporter LPM Pilar Demokrasi Fakultas Ilmu Agama Islam UII, menceritakan bahwa ia mendapat teguran dari panitia karena tidak menggunakan kartu pers dari lembaganya. Padahal sebelumnya ia tidak pernah ditegur. Tiba-tiba pada malam hari memasuki penampilan dari band bintang tamu, ada panitia yang menegur Isra karena hanya mengenakan co-card dari panitia. “Tapi pas lagi mediasi, mereka (panitia Pesta Unisi –red) enggak menyuruh apa-apa, kok. Terus buat apa kita pakai?”
Berdasarkan susunan tata tertib yang ada, Isra menganggap panitia tidak serius dalam menyusun regulasi ini. Ia memaparkan bahwa panitia tidak berkaca dari tahun sebelumnya. Hal ini menyebabkan pembahasan pada forum pertemuan Komisi B dan pers berjalan sangat lama, tapi menghasilkan kesepakatan yang tidak jauh berbeda dengan regulasi Pesta 2016. Hal yang tampak mencolok berbeda hanya terkait liputan secara langsung.
Lebih lanjut, Isra menyebutkan bahwa butir kelima dalam regulasi pers Pesta Unisi tidak masuk dalam kriteria pelanggaran ringan, sedang ataupun berat. Isra berkata, “Mungkin kemarin enggak ada yang melanggar, tapi yang menjadi masalah kalau ada yang melanggar pasti nanti ada yang dirugikan.”
Isra juga menambahkan terkait pembatasan pers dalam mengambil gambar. Ia menjelaskan bahwa sebelumnya aturan pers disamakan dengan divisi publikasi dan dokumentasi (pubdok), namun pada pelaksanaannya divisi pubdok bisa naik panggung sementara pers tidak diperbolehkan. “Kalau memang mereka merasa pers naik panggung itu ganggu jalannya acara, seharusnya dari awal mereka buat aturan sendiri buat pers terkait ambil gambar. Jangan disamakan dengan pubdok.”
Berbeda dengan Isra, Hanif mendefinisikan pers yang mengambil gambar sehingga menghalangi pubdok termasuk mengganggu jalannya acara. “Ada juga anak pubdok yang ditegur sama anak pers dan disuruh minggir. Itu kan, agak mengganggu sebenernya,” cerita Hanif.
Reporter LPM Ekonomika lainnya, Taufan Dwi Heryudanto, mencoba menempatkan diri pada dua situasi. Apabila bertindak sebagai anggota pers, menurutnya keberadaan regulasi pers di Pesta Unisi adalah sesuatu yang aneh. Hal ini dikarenakan pers memiliki hak untuk mencari, memperoleh data, menyebarluaskan, menyimpan, mengolah, dan sebagainya dengan pertanggung jawaban. “Pers itu seharusnya bebas, enggak ada yang bisa meregulasi,” tegas Taufan. Sebaliknya, jika ia melihat dari sudut pandang panitia, Taufan menyetujui adanya regulasi tersebut demi kenyamanan dan kelancaran acara.
Selama Pesta berlangsung, tidak ada pers yang mendapat sanksi sedang maupun berat. Sanksi yang diperoleh tergolong ringan, seperti teguran karena awak pers tidak menggunakan co-card. Sebagai Koordinator Komisi B, Hanif ingin melaksanakan transformasi pada Komisi B selanjutnya sehingga tidak terjadi kesalahan yang terus berulang.
Reportase bersama: Nalendra Ezra A. dan Zikra Wahyudi