Menilik Relasi Henk Sneevliet dan Semaoen hingga Lahirnya Komunisme di Indonesia

Himmah Online Henk Sneevliet, seorang tokoh komunis berkebangsaan Belanda, sukses membendung kekuatan dalam skala yang amat   besar di Hindia Belanda. Bukan hanya dari kaum sebangsanya saja, banyak tokoh bumiputera yang tergabung dengannya. Mereka menyebarkan paham komunis yang radikal di Hindia Belanda.

Mereka semua terwadahi oleh organisasi bernama Indische Social Democratische Vereniging (ISDV) yang dalam bahasa Indonesia berarti Perhimpunan Demokratis Sosial Hindia (PDSH). Beberapa tokoh yang terlibat ialah Semaoen, Tan Malaka, Alimin Prawirodirdjo, dan juga Darsono.

ISDV adalah organisasi pertama yang memperkenalkan paham komunisme di Hindia Belanda.

Henk Sneevliet dulunya adalah seorang yang aktif dalam organisasi buruh kiri di Belanda. Ia tercatat ikut serta dalam pemogokan massal di Hari Pelaut Internasional tahun 1911. Perseteruan dengan tokoh serikat buruh Belanda membuatnya hengkang dari negeri asalnya. (Floriberta Aning S, 2005). Dengan demikian, ia mendapat alasan untuk berlayar menuju Hindia Belanda.

ISDV berdiri pada tanggal 9 Mei 1914. Sneevliet sendiri tiba di Pulau Jawa satu tahun sebelumnya. Sneevliet datang bersama J.A. Brandsteder, Ir. A. Baars, Dr. Rinkes, dan beberapa tokoh lainnya (Yunani Hasan, 2014: 7).

Di Hindia Belanda, Sneevliet ingin meneruskan dakwah humanistiknya. Ia tetap setia pada haluan kiri.

Ia membentuk grup diskusi kecil-kecilan sambil bekerja di Serikat Dagang Semarang. Meskipun berada di Hindia Belanda, Sneevliet tetap terhubung dengan jaringan komunis internasional.

Bumiputera Komunis Pertama

Sneevliet bertemu dengan Semaoen ketika ia berada di Surabaya. Ini adalah perkenalan pertamanya. Pada fase ini, mereka belum terhubung dengan baik.

Tak lama kemudian Semaoen ditugaskan H.O.S Tjokroaminoto untuk memimpin SI afdeling Semarang, Tepat ketika Sneevliet berpindah di kota yang sama. Hubungan mereka terjalin lebih akrab hingga Semaoen memutuskan untuk bergabung dengan ISDV.

Pada tahun 1901 ketika kolonial Belanda menetapkan politik etis, ia genap berusia tujuh tahun. Semaoen kecil menempuh pendidikan di Tweede Klas atau setingkat dengan sekolah dasar (Bonnie Triyana, 2017). Setelah lulus ia melanjutkan pendidikan di Eerste Klas Inlandsche School. Kelas ini akan dikenal sebagai HIS (Holland Inlandsche School) (Takashi Shiraishi, 1997).

Menjajaki kelas VI, ia diperbolehkan mengikuti ujian pegawai Pamong Praja. Berkat kecerdasannya, Semaoen kecil dapat menempuh ujian ini. Ia pulang membawa sertifikat kelulusan ujian.

Sebenarnya, ia ingin melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Lagi-lagi, kendala utama yang dihadapi adalah besarnya biaya pendidikan. Akhirnya, di umur yang ke-13 tahun, Semaoen memutuskan untuk bekerja di stasiun kereta api (Soewarsono, 2000: 40).

Keinginan untuk belajarnya begitu kuat. Sambil bekerja, ia banyak membaca buku. Sejak saat itu, ia mulai berkenalan dengan gagasan kemanusiaan.

Semaoen pernah belajar kepada Tjokro di Gang Peneleh bersama Soekarno dan Sjahrir. Dari ketiganya, ia paling unggul di bidang agitasi politik. Kemampuan agitasi politiknya muncul seperti bakat dan menarik perhatian Tjokro. Sehingga Tjokro menempatkannya sebagai sekretaris SI afdeling Surabaya.

Sneevliet tampaknya ikut terpukau dengan kelihaian Semaoen ihwal propaganda. Semaoen juga memiliki minat serta arah yang sama dengan Sneevliet: Organisasi Buruh dan Term Kereta Api (VSTP). 

Keterlibatan Semaun dalam SI, organisasi dengan basis masa yang banyak, juga merupakan pertimbangan penting demi lancarnya misi ISDV. 

Akhirnya, di tahun 1915, murid Tjokro itu resmi dinobatkan sebagai anggota bumiputera pertama yang bergabung dengan ISDV dan nantinya diikuti oleh Darsono, Alimin, serta banyak kader lainnya.

Titik Temu

M.C Ricklefs mencatat Sneevliet sebagai tokoh mistikus Katolik yang secara tiba-tiba berubah haluan menjadi sosok aktivis sosialis radikal (Ricklefs, 2005: 357). Sneevliet lahir dari keluarga miskin di Rotterdam. Ia hanya mampu mengenyam pendidikan di sekolah kelas dua (Hogerburgerschool) sembari bekerja untuk mencukupi kebutuhan finansialnya. Setelah lulus ujian sekolah, ia lantas bekerja sebagai pegawai kereta api yang dikelola oleh negara (state railways).

Kondisi hampir serupa dialami oleh Semaoen. Ia berasal dari keluarga abangan miskin. Bapaknya, Prawiroatmodjo, bekerja sebagai pegawai rendah di bidang kereta api sebagai tukang pemecah batu. Ia juga menempuh sekolah kelas dua.

Latar belakang yang hampir serupa berdampak pada hubungan Sneevliet dan Semaoen. Marxisme yang dibawa oleh Sneevliet dianggap sesuai dengan nafas Islam dalam hal keberpihakannya pada kaum lemah dan tertindas. 

Sarekat Islam di bawah Semaoen hadir dengan mengedepankan ajaran Islam yang lebih humanistik. Keberpihakan pada kaum marginal dan buruh adalah titik temu antara kedua tokoh tersebut.

Hal tersebut tercermin dalam sikap Sneevliet, misalnya, ketika ia dan Semaoen sedang di Surabaya. Mereka berdua hendak menginap di salah satu hotel yang banyak berisi orang-orang berkulit putih. Sesampainya di lobi, petugas hotel bertanya kepada Sneevliet:

“Siapakah orang di samping Anda, Tuan?”.

Ia menjawab “Ini adalah kolega saya”

“Apakah ia seorang guru?”

“Ia kolega saya, tak lebih dan tak kurang”

Sneevliet dan pemilik hotel itu terus berseteru. Pemilik hotel terus mengelak dengan alasan tidak enak pada tamu-tamu yang lain. Ia menunjukkan bahwa di sekitar area itu terdapat satu hotel milik Tionghoa yang dapat ditinggali oleh koleganya tersebut.

Sontak Sneevliet marah dan berujar “Tuan, manusia macam apa tamu Anda itu, mereka biasa mengeruk keuntungan dari bumiputera, tapi cara mereka memperlakukan manusia sama sekali tidak bisa diterima” (Bonnie Triyana, 2017). Hal ini juga yang membuat Semaoen begitu terkagum-kagum dengannya. Oleh karena itu, Semaoen menyebut Sneevliet sebagai “Mijn Goeroe” (Guruku).

Semaoen Bergemilang

Pada tahun 1916, Semaoen berpindah ke Semarang. Ia memimpin SI afdeling Semarang. Ricklefs mencatat keberhasilan Semaoen mempengaruhi corak SI menjadi anti kapitalis yang radikal serta peningkatan jumlah anggota yang begitu pesat. Awal mula ia datang, anggota SI afdeling Semarang hanya berkisar 6000 anggota dan setahun kemudian mencapai 20.000 anggota.

Humanisme radikal Semaoen dikenal sangat luas. Suasana kolonialisme menjadikan wacana ini begitu populer. Segala bentuk nilai diwujudkan melalui pola gerakan Semaoen. 

KH Ahmad Dahlan pernah mengundang Semaoen, Darsono, dan Ir. A. Baars. Mereka diundang untuk mengikuti perkumpulan Muhammadiyah di Kauman demi memperkuat perspektif dalam bidang pendidikan politik. 

Pada akhirnya, pendiri Muhammadiyah itu memantapkan makna “orang miskin” yang ada di surat Al Ma’un tidak hanya sebagai orang-orang yang tak mempunyai harta, namun juga orang-orang yang tidak berdaya. Hal ini seperti yang dicatat oleh Imron Mustofa dalam bukunya KH. Ahmad Dahlan si Penyantun (2018).

Dari ISDV Menuju PKI
Pada Perang Dunia I tahun 1914-1918, Hindia Belanda mengalami guncangan ekonomi. Belanda membentuk Volksraad untuk mengatasi gejolak yang dikhawatirkan timbul dari partai-partai yang ada di Indonesia. SI mendapat tempat dalam Volksraad

Semaoen dengan mayoritas pengikutnya menolak untuk masuk dalam keanggotaan Volksraad dan menganggapnya sebagai sandiwara belaka. Tjokro sangat khawatir akan perpecahan yang timbul dalam internal SI. Ia melakukan manuver dengan mengeluarkan slogan anti kapitalis kepada Volksraad.

Sebenarnya, perpecahan SI dimulai sejak perdebatan Semaoen dengan Mohammad Joesoef. Joesoef merupakan ketua SI afdeling Semarang sebelum digantikan oleh Semaoen.

Mereka berbincang tentang keterlibatan SI dalam pembelaan atas Marco Kartodikromo. Atas beberapa karya tulisnya, Marco dijatuhi hukuman penjara dengan delik sebaran kebencian. 

Sejak itu, radikalisme Semaoen mendapat tempat di mayoritas anggota SI. Posisi Semaoen dalam SI semakin kuat. Banyak para anggota yang bersimpati atas semangatnya, didukung dengan perangainya yang baik dan tulus memperjuangkan keadilan. 

Tjokro kehilangan rasa simpatik pada Semaoen. Bukan karena radikalisme seorang pemuda, justru kehadiran Sneevliet sebagai “pengaruh buruk” bagi Semaoen, itu yang ia benci.

Tegangan antara kaum muda radikal dengan kaum tua mempersulit keadaan SI. Perbedaan ideologi menyebabkan perpecahan antara keduanya. SI menetapkan disiplin partai ketika Semaoen telah memegang kendali atas ISDV. 

Beberapa tahun kemudian, SI terbagi menjadi dua: SI Merah/PKI dan SI Putih. SI Merah menganut paham sosialisme-komunisme sedangkan SI Putih berpaham nasionalisme-religius.

Tahun 1917, ketika terjadi revolusi besar di Rusia, ISDV menampakkan wajah aslinya. Karena mereka sudah mulai tak terkendalikan, pemerintah memutuskan untuk mengasingkan Sneevliet beserta beberapa radikalis Belanda lainnya. Kini ISDV dikuasai oleh Semaoen.

Tahun 1920, untuk mendapatkan basis masa yang lebih luas, ISDV mengubah namanya menjadi Partai Komunis Hindia, lalu berubah lagi empat tahun kemudian, menjadi Partai Komunis Indonesia. Menjadi partai pertama yang menggunakan nama Indonesia sebagai identitasnya.

Reporter: Magang Himmah/R. Aria Chandra Prakosa

Editor: Syahnanda Annisa

Skip to content