Menilik Sejarah, Cita-Cita, Serta Pendirian UII

Himmah Online, Kampus Terpadu – Hari kedua Pesona Ta’aruf (PESTA) 2023 diisi oleh Talkshow Ke-UII-an dan Kemahasiswaan yang dilaksanakan di lapangan depan Fakultas Kedokteran Kampus Terpadu UII pada Jumat (11/08). Acara ini memiliki tema “Internalisasi Konsep Mahasiswa sebagai Insan Ulil Albab”.

Talkshow tersebut diisi oleh Rohidin selaku Wakil Rektor III; Imam Mujiono selaku Dosen FIAI;  dan Elza Faiz yang merupakan alumni FH UII.

Rohidin menuturkan bahwa UII lahir pada tanggal 27 Rajab 1364 H, bertepatan dengan tanggal 8 Juli 1945 di Gondangdia, Jakarta dengan nama  Sekolah Tinggi Islam (STI). Terhitung 40 hari menjelang kemerdekaan Indonesia.

Akibat pemindahan ibukota Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta pada peristiwa Agresi Militer Belanda II, STI yang berada di Jakarta pun ikut pindah dan menetap di Yogyakarta. 

Pada 1947, STI berganti nama menjadi University Islam Indonesia. Ini menjadi alasan mengapa beberapa orang melafalkan kata ‘UII’ dengan sebutan yu-i-i

“Karena namanya itu adalah University Islam Indonesia, maka temen-temen UII kalau mengucapkan huruf UII itu tidak u-i-i tapi yu-i-i. Jadi ada alasannya mengapa tidak u-i-i, gitu,” kata Rohidin.

Akan tetapi, terdapat alasan krusial yang mendorong lahirnya UII, berdasarkan buku berjudul “The Struggle of Islam in Modern Indonesia” yang ditulis oleh B. J. Boland pada tahun 1971. 

Pada buku tersebut, B. J. Boland mengungkapkan bahwa UII lahir sebagai kompensasi atas tidak diakomodirnya Piagam Jakarta sebagai rumusan dasar negara oleh BPUPKI. 

“Dan sila pertama itu kan, dia rumuskan ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya. Itu kemudian tidak diakomodir, tetapi kompensasinya adalah Indonesia harus mendirikan sebuah Universitas Islam. Dan, Universitas Islam itu adalah UII,” ungkap Elza Faiz, alumni Fakultas Hukum UII. 

Oleh karenanya, tiga dari sembilan Panitia BPUPKI merupakan pendiri UII, diantaranya Mohammad Hatta, KH.Wahid hasyim, dan Kahar Muzakir.

Perkembangan UII Saat Ini  

Para pendiri UII tersebut menghendaki anak-anak bangsa berikutnya seperti mereka, memperjuangkan nilai-nilai kebangsaaan berbasis pada nilai-nilai keislaman.

Rohidin mengkiaskan UII seperti rumah besar yang didirikan oleh anak bangsa dengan intelektual luar biasa dari golongan berbeda-beda, seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan Persatuan Umat Islam. 

Sebab membangun UII sebagai rahim intelektual tidaklah cukup hanya dengan basis kebangsaan saja. Kendati demikian, golongan tersebut mempunyai komitmen serupa membangun basis kebangsaan yang bernilai keislaman. 

“Karena kebangsaan saja pada saat itu memang tidak cukup menurut perspektif yang membangun Universitas Islam Indonesia. Maka, basis kebangsaannya itu dilandaskan pada nilai-nilai keislaman. Jadi, dua hal ini tidak bisa dipisahkan di Universitas Islam Indonesia,” ujar Rohidin.

UII kemudian tumbuh subur dan berkembang dengan nilai-nilai kebajikan intelektual, kebajikan moralitas, dan kebajikan-kebajikan lainnya.

Perkembangan UII secara nyata dapat dilihat segi objektivitas. Jumlah mahasiswa UII yang hampir mencapai 30.000-an dan alumni sebanyak 130.000-an, tersebar di seluruh pelosok Indonesia. Keluarga UII tersebut memiliki tanggung jawab melanjutkan cita-cita para tokoh pendiri UII.  

“Satu mengembang ilmu pengetahuan berdasarkan al-qur’an dan al-hadits. Yang kedua ikut mencerdaskan kehidupan bangsa agar negara Republik Indonesia ini sesuai dengan sila kelima, ‘keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia’. Jadi, inilah yang perlu dipertahankan oleh kalian,” pungkas Rohidin. 

Menolak Jadi PTN

UII tetap teguh pada pendiriannya, meski telah beberapa kali diminta untuk dinegerikan. UII teguh pada pendiriannya untuk menjadi universitas yang independen. 

Terlebih lagi, UII sejatinya tidak didirikan oleh negara, melainkan tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan untuk dijadikan aset bangsa dan umat. Akhirnya, UII menjadi cikal bakal lahirnya universitas-universitas yang tersebar di Indonesia. 

Dulunya, UII memiliki Fakultas Pedagogik yang diminta oleh Universitas Gadjah Mada (UGM) dan dinegerikan. Kemudian, menjadi Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) dan sekarang dikenal sebagai Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). 

“Jadi, UGM itu anak UII, UNY cucu UII,” kata Imam Mudjiono.

UII juga memiliki Fakultas Agama Islam yang dinegerikan menjadi Institut Agama Islam negeri (IAIN), yang sekarang menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). Sehingga, UIN se-Indonesia merupakan keturunan UII. 

Terakhir, atas permintaan Siti Hartinah atau Bu Tien yang menginginkan adanya Perguruan Tinggi di Solo, Fakultas Kedokteran UII dulu menjadi Universitas Sebelas Maret (UNS). 

UII telah melahirkan banyak tokoh-tokoh nasional dan beberapa universitas negeri, tetapi enggan untuk dinegerikan. Hal Ini disebabkan oleh independensi yang ingin dipertahankan oleh UII.

“Karena kita swasta, mandiri, berdiri di kaki sendiri,” tutur Imam Mudjiono.

Lebih lanjut, Imam mengungkapkan bahwa koordinasi UII saat ini dilakukan dengan bentuk corporatise dengan LLDIKTI. 

Untuk fakultas-fakultas umum, UII dibawahi oleh Kemendikbud. Dan, fakultas-fakultas agama dibawahi oleh Kementerian Agama. Keduanya hanya melakukan koordinasi institusi saja. Sedangkan, di dalam, UII dikelola oleh sebuah yayasan bernama Badan Wakaf.

“Oleh karenanya, UII memiliki kebebasan untuk menyusun kurikulum pola belajar, metode belajar, dan semua konten-konten pembelajaran kita bebas menentukan sendiri,” pungkasnya.

Reporter: Himmah/Nurhayati, Magang Himmah/Naris Wari Diah Sekar Wulan, Widya Ananta

Editor: R. Aria Chandra Prakosa

Skip to content