Episode Udin Tak Pernah Usai

*Naskah “Episode Udin Tak Pernah Usai” sebelumnya terbit di Majalah HIMMAH Nomor 03/Thn. XXXIV/2001 halaman 18-20. Redaksi himmahonline.id kembali menerbitkan naskah ini untuk menilik kematian tak wajar yang dialami Udin. Naskah yang sebelumnya berbentuk teks cetak ini, dialih media ke teks digital dengan penyesuaian tanda baca dan bahasa tanpa mengubah substansi maupun struktur naskah.


Malam itu Udin dianiaya, tewas, dan meninggalkan misteri. Marsiyem sang istri mengungkapkan, saat itu kisahnya begitu singkat. Hanya tiga menit saja.

Selasa, 13 Agustus 1996. Pukul sebelas malam kira-kira masih kurang lima belas menit. Pada sebuah rumah di Dusun Gelangan Desa Patalan, Jetis, Bantul. Seorang lelaki berperawakan tinggi besar berikat kepala warna merah mengetuk pintu sebuah rumah di kawasan tersebut. Tangannya menggenggam sebuah potongan besi yang berukuran tidak terlalu panjang. Dari dalam, Marsiyem, istri si empunya rumah, bergegas keluar menemui sang tamu. Ramah lelaki itu menyapa. Setelah tahu maksud kedatangan, si tamu ingin bertemu dengan suaminya. Marsiyem pun kembali masuk untuk kemudian memanggil sang suami, yang saat itu sedang berbaring santai menunggui istrinya yang sedang menyeterika.

Tak jelas apa yang dibicarakan kedua orang tersebut setelah bertatap muka. Tapi tiga menit kemudian, terdengarlah suara buk…buk…buk. Sesaat Marsiyem terhenyak, curiga. Dia segera melangkah keluar dan segera menuju arah suara. Dan, apa yang terjadi? Sang suami, seorang wartawan yang bernama Fuad Muhammad Syafrudin alias Udin, telah tergeletak berlumur darah. 

Hanya beberapa saat setelah sang tamu tadi mengetuk pintu, sang tamu, yang hingga kini masih misterius itu, dalam sekejap menghilang di antara temaram gelapnya malam. Marsiyem pun histeris. Berteriak minta tolong sambil mendekap tubuh suaminya yang tergeletak tak berdaya. Drama tiga menit yang kemudian berujung pada kematian wartawan Harian Bernas itu adalah awal dari sebuah cerita panjang yang sampai kini masih tetap menjadi lorong gelap. 

Mungkin, arwah Udin masih saja belum tenang di alam kuburnya. Bagaimana tidak, kematiannya yang memang misterius pada malam itu menjadikan pekerjaan rumah yang belum terselesaikan oleh pihak-pihak yang berwenang. Atau bahkan mungkin memang tidak akan pernah terselesaikan. Dan menjadikan kasus ini menjadi peti es. Tak pernah ada penyelesaiannya.

Adanya konspirasi pemerintah Bantul 

Sepertinya polisi serta komponen lain mulai dari oknum aparat sampai dengan birokrasi pemerintahan memang tak serius menyelesaikan kasus ini. Jujur saja, memang ada gejala ke arah sana. Setidaknya temuan yang selama ini telah layak dijadikan bukti serta kesaksian yang mencukupi untuk mengungkap kasus ini, masih dianggap tabu untuk proses penguakkan.

“Itu disebabkan karena adanya konspirası banyak pihak daļam kasus Udin ini,” kata Budi Santoso, SH dari LBH Yogyakarta. Pengacara yang sejak awal memang bertugas menangani kematian wartawan Bernas ini menunjuk adanya Konspirasi yang melibatkan banyak pihak. Yang diposisikan sebagai inspirator, pembikin skenario, operator di lapangan eksekutor, dan sebagainya.

Dan bukan tanpa alasan kalau Budi berargumen seperti itu. Karena hasil investigasi (Tim Pencari Fakta)TPF yang membuahkan berbagai bukti di lapangan, secara jelas mengarah pada sebuah konspirasi. “Jadi karena ini merupakan hasil konspirasi, dapat dimungkinkan adanya keterlibatan antar kelompok,” tambah Budi, yang tentu saja saling berkaitan satu dengan yang lainnya. 

Ketika kata konspirasi muncul, timbul pertanyaan, siapa saja yang terlibat di dalamnya? Untuk sementara, birokrasi Bantul masih saja disebut-sebut sebagai pihak yang menghendaki kematian Udin. Aktivitas jurnalistik lelaki yang tak tamat dari Fakultas Tarbiyah UIl ini, tak bisa dilepaskan dengan kematiannya. Hal ini disebabkan karena kekritisan Udin dalam memberitakan segala hal tentang kebijakan pemerintahan di Bantul di bawah Sri Roso Sudarmo selaku bupati saat itu.

Mulai dari penyunatan dana IDT, isu seputar pergantian bupati sampai rencana megaproyek Parangtritis. Berita-beritanya yang transparan tentang kebobrokan birokrasi pimpinan Sri Roso serta kritiknya yang memang pedas, menjadikan pembunuhan sebagai akhir dari riwayatnya sebagai pemburu berita. Dan kini, opini yang terbangun di publik yang telah menjadi rahasia umum, Sri Rosolah yang menjadi dalang kematian Udin.

Kepolisian Ceroboh 

Misteri tak berhenti sampai di situ, saat dalang dan pelaku pembunuhan menghilang bersama angin malam saat kejadian penganiayaan. Ketika dilakukan pelacakan oleh polisi, sepertinya ada hal-hal yang justru makin menambah runyam dan menambah masalah makin jauh dari penyelesaian.

Isu selingkuhnya Udin dengan seorang Wanita Idaman Lain (WIL) malah dihembuskan untuk mengalihkan perhatian dari isu utama, yaitu kegiatan kejurnalistikannya. Ujungnya, justru polisi sendiri, yang terkena getah isu itu. Karena isu selingkuh yang sempat membawa Dwi Sumadji alias Iwik sebagai tersangka pembunuh Udin, tidak terbukti. Dan Iwik pun bebas. 

Bebasnya Iwik, sempat menampar muka kepolisian karena dianggap mengkambinghitamkan Iwik, untuk menutup kasus yang menggemparkan dunia pers internasional ini. Sehingga wajar jika cacian dan makian sempat terarah ke polisi dari masyarakat. 

Satu hal lagi yang sangat mencurigakan, adalah Edy Wuryanto, seorang anggota reserse Polres Bantul yang saat itu berpangkat Serma. Dia menghilangkan barang bukti berupa buku-buku catatan Udin, yang diambilnya saat pertama kali datang ke TKP dan melarung darah Udin ke Pantai Selatan yang katanya untuk mempercepat mengetahui siapa pelaku pembunuhan yang sebenarnya.

Tentu saja itu sebuah tindakan yang cukup ceroboh. Atau mungkin malah mencurigakan. Karena cara melarung darah ke Laut Selatan bukanlah cara yang layak dilakukan oleh birokrasi penegak hukum. Seharusnya, yang dilakukan adalah penyelidikan dengan cara yang rasional. 

Ironisnya, kelakuan Edy Wuryanto itu dianggap wajar oleh Kol.(Pol) Moelyono Soelaiman Kapolda DIY saat itu. Dan dosa Edy itu, juga masih mendapat perlindungan dari para atasan-atasannya termasuk juga Kapolda DIY saat ini yaitu Brigjend.(Pol) Logan Siagian. “Jangan salahkan Edy sepenuhnya,” ujar Logan pada sebuah kesempatan.

Payah sekali memang kerja polisi saat itu. Munculnya anggapan polisi mengaburkan inti permasalahan sangat terlihat sekali saat dimunculkannya Iwik menjadi tersangka. Sejak saat itulah berbagai pihak sampai dengan masyarakat mulai pasang surut kepercayaannya terhadap polisi dalam menangani kasus ini. Apalagi usaha penggiringan opini dari masalah pemberitaan Udin tentang kebobrokan Pemda Bantul ke permasalahan perselingkuhan mulai ramai dibicarakan. Menambah krisis kepercayaan makin melanda kepolisian. Itupun masih ditambah dengan pernyataan Kapolri saat itu Jendral (Pol) Dibyo Widodo yang dengan entengnya menunjuk Iwik memang tersangkanya. Menambah muka polisi yang sudah jelek makin tercoreng. Dan wajarlah kalau banyak pihak yang menyimak kasus ini sejak awal menjadi makin curiga pada polisi, bahwa polisi justru berkonspirasi dengan kelompok pembunuh Udin. 

Tak bisa dipungkiri memang. Karena polisi tak bisa mengeluarkan argumen menolak anggapan itu. Sebab, aparat yang kini terpisah dengan TNI ini terjebak memunculkan nama Dwi Sumadji alias Iwik sebagai tersangka pembunuh Udin dengan alasan selingkuh.

Sampai kini, LBH masih kesulitan melihat keberpihakan polisi dalam kasus ini. Secara tegas polisi masih menolak anggapan adanya konspirasi yang melibatkannya. “Mereka membantah konspirasi itu,” kata Budi. “Dan juga tidak mengakui,” tambah Budi lagi. Polisi hanya mengakui adanya kekurangan data dan informasi serta kesaksian dalam proses awal. 

Tapi fakta yang terlihat adalah ketidakseriusan pihak polisi. Yaitu lambannya dalam menindaklanjuti laporan-laporan serta masukan dari TPF. Alasan lain yang memancing opini publik mempersoalkan kenapa ada indikasi ketidakseriusan polisi adalah tidak adanya political will dari pihak polisi untuk secara tuntas mengungkap kasus ini.

Selain itu, kalau saja ada yang mengatakan kasus ini begitu lamban penyelesaiannya, mungkin itu juga yang sangat dirasakan oleh LBH. Kesan yang terasa adalah bertele- tele. Bagaimana tidak. Sejak awal indikasi kelambanan telah jelas sekali terlihat. Satu contoh saja misalnya ketika polisi terlambat mengamankan TKP. Sebuah awal kesalahan substansial polisi. Yang juga menjadi awal kelambanan proses selanjutnya. TKP yang baru hari ketigabelas diamankan dengan diberi garis batas polisi, menyebabkan banyak alat bukti yang ada di tempat itu teriritasi dan hilang.

Perkembangan Kasus Udin 

Sejak tahun 2000, seiring berjalannya waktu, posisi kasus Udin berkaitan dengan penganiayaan sampai akhirnya Udin tewas sudah pada tahap penyidikan. Polisi sudah mendeteksi dan mencurigai orang-orang di sekeliling mantan bupati, termasuk keluarga mantan bupati Bantul, Sri Roso Sudarmo, Bahkan pemeriksaan dengan bantuan bernama yang alat liedetector —sebuah detektor untuk mengetahui orang itu berbohong atau tidak. Hasilnya pun telah menunjukkan adanya perkembangan dalam mengungkap kasus ini. Hanya saja hal itu belum diikuti dengan selesainya Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Padahal satu hal penting yang diharapkan LBH, adalah segera selesainya BAP kasus ini. Agar dapat sesegera mungkin diajukan ke kejaksaan untuk kemudian proses di pengadilan.

Saat ini tak ada lagi waktu untuk banyak berteori. Tak ada lagi waktu untuk memberi janji-janji. “Harus ada penyelesaian kongkrit,” tegas Budi Santoso. Selain itu Budi juga mengajukan satu cara sederhana untuk memacu polisi bekerja. Yaitu dengan pressure dari masyarakat yang tak pernah lelah. Cara ini menurutnya dianggap paling efektif untuk meminta perhatian dan keseriusan dari pihak kepolisian untuk segera menuntaskan kasus Udin ini. “Tanpa pressure mereka akan berdalih banyak hal lagi,” kata Budi. 

Memang di tingkat janji polisi menyatakan sanggup untuk menyelesaikan kasus ini. Tapi di tingkat operasi ternyata tidak seheroik itu. Bahkan, saat forum dengar pendapat di DPRD Propinsi DIY, Bupati Bantul saat ini pernah mengeluarkan sebuah janji yang sangat mulia. Akan menganggarkan alokasi dana untuk penuntasan kasus Udin ini dari APBD. Sangat suci sekali kedengarannya. Tapi janji tinggallah janji. Dalam pelaksanaan tidak jelas. Apalagi terwujud. 

Waktu terus bergulir. Zaman pun telah berganti. Orde Baru berubah ke Era Reformasi. Millenium baru pun juga telah terlahir. 2001. Tapi Udin yang sekarang sepertinya masih saja Udin yang dulu di tahun 1996. Yaitu seorang wartawan Bernas yang tewas karena tulisan-tulisannya yang dikenal berani. Yang kematiannya masih tetap misterius. Dan mungkin memang akan selalu misterius. Tapi, masih ada harapan untuk terungkapnya kasus ini. Apabila polisi mau melepaskan diri dari konspirasi yang selama ini dituduhkan banyak pihak.

Dan berangkat dari syarat itu, yang harus dicapai hanya sebuah target: misteri harus segera diungkap. Mulai dari apa, mengapa, dan siapa yang bermain dalam kasus Udin ini. Urusan terungkap atau tidak, itu urusan lain. Yang terpenting, mau mengungkap atau tidak. 

Gelar Pendapat. Untuk menuntaskan kasus Udin. Foto: HIMMAH/W Dani K

Keseriusan Kepolisian

Menyimak dari sebuah buku yang diterbitkan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) berjudul Kasus Udin: Liputan Bawah Tanah, tak ada alasan untuk tidak bisa mengungkap kasus Udin. Secara gamblang dan jelas dalam buku itu sudah dijelaskan tentang orang-orang yang dicurigai terlibat dalam penganiayaan Udin hingga menemui ajalnya. Tak hanya itu, dosa besar dalam penyelidikan kasus ini seperti Edi Wuryanto, Ade Subardan—Kapolres Bantul saat itu, ataupun Moelyono Soelaiman—Kapolda DIY kala itu—diungkap habis tanpa ditutup-tutupi. Bahkan lelaki misterius tamu Udin pada malam kejadian yang juga diduga sebagai penganiaya itu, secara transparan diungkapkan dan diceritakan. Cukup sudah fakta yang ada untuk pengungkapan. Tinggal keseriusan dari polisi. 

Kini yang mengharapkan kasus ini segera selesai tak hanya keluarga Udin saja. Tapi juga banyak pihak termasuk juga masyarakat. “Pelaku, pembunuh dan pihak-pihak yang terlibat harus diproses hukum dan diadili sesuai dengan peradilan yang berlaku,” kata Budi Santoso. 

Tak perlu lagi menunggu waktu. Kalau saksi sudah ada, dan bukti juga sudah tersedia, tak ada alasan untuk menunda. Atau memang menghendaki kasus ini tetap menjadi peti es? Tapi kalau semacam ini dibiarkan terus-menerus menjadi peti es, tentu akan banyak Udin-Udin lain yang menjadi kasus peti es.

Dan bukan untuk mengkambinghitamkan polisi kalau saja selama ini masyarakat menganggap polisi tidak becus menghadirkan sang pembunuh dan dalangnya ke pengadilan. Tapi semata-mata memang itulah tugas berat polisi dalam kasus pembunuhan wartawan Udin. Boleh jadi, masyarakat justru akan berubah 180 derajat mengacungi jempol untuk polisi kalau saja polisi bisa mengungkap misteri ini. Sangat berat memang karena harus pula bersentuhan dengan kelompok-kelompok tertentu yang sangat berpengaruh di negeri ini.

Andaikan saja Udin itu di alam kuburnya sekarang bisa diajak bicara, tentu dia akan secara senang hati membantu polisi menunjukkan orang dan dalang yang membunuhnya. Serta memberikan cerita kepada semua orang perihal kematian dirinya. Dan itu akan menutup semua cerita tentang rahasia yang masih tetap menjadi tanda tanya besar tentang dirinya. 

Tapi kemustahilan suara Udin dari kubur, menjadikan banyak pihak tetap banyak berharap pada polisi. Sambil terus memberikan spirit agar polisi tak perlu ragu dan tak perlu takut menyelesaikan kasus ini, apabila benar memang ada muatan politis serta konspirasi dalam kasus ini. Masyarakat dengan senang hati akan membantu. Bahkan akan secara langsung berada di belakang polisi. Tentu demi terungkapnya kasus ini. Tapi sekali lagi, semuanya kembali kepada niat. Akan diselesaikan atau tetap diburamkan seperti temaramnya malam saat penganiayaan Udin malam itu.

Penulis: HIMMAH/Surya Adi Lesmana

Pengalih Media: HIMMAH/Farah Azizah dan R. Aria Chandra Prakosa 

Skip to content