Himmah Online — Tragedi 1965 di Indonesia masih sering terfokus pada masalah yang kurang tepat, seperti misalnya anggapan bahwa tragedi itu disebabkan adanya diskriminasi etnis atau rasisme. Sedangkan menurut Soe Tjen Marching, novelis serta dosen di University of London, etnis Tionghoa dan Pribumi yang sering digaungkan, bisa dikatakan relatif. Begitupun diskriminasi yang sebenarnya bisa dilakukan oleh siapa saja.
“Fokus … seharusnya, menurut saya, ini tentang pelanggaran HAM, bukan tentang etnis,” ujar Soe Tjen.
Kesaksian dari beberapa korban Tragedi 1965 kala itu pun dimuat dalam karya Soe Tjen berjudul “Dari Dalam Kubur”. Novel tersebut mengangkat suara para penyintas tragedi 1965 di Indonesia, yakni para korban perempuan yang mengalami pemerkosaan di masa itu. Bukunya yang berisi kesaksian beberapa korban Tragedi 1965 ini kemudian dikulik lebih dalam selama webinar “Pemerkosaan Perempuan Tionghoa-Indonesia pada ‘65” yang diadakan pada Sabtu, 5 September 2021 oleh Suara Peranakan.
Korban tragedi genosida di Indonesia tahun 1965 sendiri sampai sekarang pun belum diketahui pasti jumlahnya. Sejauh ini, presiden yang berani mengakui tragedi tersebut menurut Soe Tjen hanya Gus Dur. Padahal korban yang kepalanya dipenggal ataupun tubuhnya dimutilasi pun ada buktinya, namun tetap saja tragedi itu tidak diakui sebagai genosida, menurutnya.
Soe Tjen pun tidak membenarkan kesalahan dari para komunis ataupun Partai Komunis Indonesia (PKI) di masa itu, namun menurutnya pemenjaraan dan pembunuhan tanpa proses hukum yang jelas sudah pasti hal yang tidak bisa dibenarkan pula.
Banyak yang menuntut pengakuan berbagai pihak bahwa kala itu PKI adalah yang bersalah, namun mereka melupakan sejarah lainnya bahwa ada jutaan orang yang diduga simpatisan ataupun memang bagian dari PKI yang kemudian dibunuh juga disiksa tanpa proses hukum yang jelas.
“Akui dulu bahwa jutaan PKI sudah dibunuh tanpa proses pengadilan, sudah disiksa, sudah dipenjara. Sesudah itu baru diskusikan kesalahan PKI. Kalau nggak, jangan berani-berani diskusikan kesalahan PKI, kalau anda belum mengakui genosida ‘65 terjadi dan bahwa PKI itu sudah menjadi korban,” sebut Soe Tjen dengan lantang.
Adanya Pemerkosaan Massal
Selain adanya pembunuhan dan penyiksaan yang terjadi pada Tragedi 1965, pemerkosaan massal pun juga terjadi. Namun banyak orang yang mengetahui bahwa tragedi pemerkosaan massal di Indonesia terjadi di tahun 1998 saja, sedangkan sebenarnya pada tahun 1965 tragedi ini terjadi pula.
“… Karena disembunyikan, nggak banyak orang yang tahu,” tambah Soe Tjen dalam webinar malam itu.
Menurut penjelasan Soe Tjen, sebenarnya dalam buku karya Saskia Wieringa yang berjudul “Penghancuran Gerakan Perempuan” pun sudah dibahas mengenai kesaksian para korban tragedi pemerkosaan massal 1965. Kemudian data Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65) pun dapat menguak fakta tersebut.
Ia yang melakukan riset untuk penulisan bukunya terkait tragedi pemerkosaan massal di Indonesia pada 1965 pun menemukan beberapa kesamaan cerita dari beberapa korban yang sempat ia wawancara.
“Wawancara saya ini, … orangnya ada di Jawa, di Sumatra, yang nggak pernah ketemu, tapi ceritanya itu bisa serupa,” tambahnya.
Soe Tjen pun kemudian melanjutkan ceritanya, bagaimana ia menemukan kesamaan pada cerita dari beberapa korban yang ia wawancara. Seperti bagaimana korban menyebutkan bahwa mereka diminta untuk tidak berbusana untuk kemudian dicari tanda atau cap Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) pada tubuhnya.
“Kalau nggak ada (tanda atau cap tersebut), tetap disiksa,” jelas Soe Tjen. Tidak hanya itu, mereka pun juga bercerita kepadanya bahwa mereka juga diperkosa.
Uniknya, mereka yang menjadi narasumber Soe Tjen ada yang berasal dari Jawa, Sumatra, Kalimantan, juga Nusa Tenggara, namun cerita mereka serupa. “Jadi dicari capnya itu sama, ditelanjangi ada, kemudian dilecehkan secara seksual ada. Ini pelecehannya saja yang beda-beda,” imbuhnya.
Jika memang benar tragedi pemerkosaan massal di Indonesia pada tahun 1965 tidak benar-benar terjadi, menurutnya adalah hal yang tidak masuk akal. Meski bukti-bukti yang ia dapatkan dari para korban adalah berbentuk cerita verbal saja dan bukan bentuk bukti visum.
“Ini saya ketahui dari oral, tapi ini, ya itu lah. Tadi kan kita bisa pakai logika, ya. Pentingnya logika di sini. Dari logika, kita bisa mengambil kesimpulan, nggak berbohong orang-orang ini,” tutur Soe Tjen.
Pada tragedi 1965, selain yang menjadi target adalah mereka para komunis; etnis Tionghoa pun juga menjadi sasaran. Ini karena adanya anggapan bahwa Tiongkok yang memengaruhi munculnya komunis di Indonesia. Sehingga pada saat itu, orang yang murni keturunan ataupun dianggap keturunan Tionghoa di Indonesia ikut menjadi target.
Sehingga, selain para perempuan yang termasuk di organisasi Gerwani, perempuan Tionghoa pun menjadi korban. Soe Tjen yang berhasil menemui penyintas menjabarkan bahwa di saat perempuan keturunan Tionghoa bersedia diwawancara, ia hanya menangis dan gemetar, ia tidak mampu berkata-kata.
“Dia menangis sampai gemetar gini, dan saya nggak mau memaksa,” ujar Soe Tjen saat menceritakan pengalamannya bertemu penyintas Tragedi 1965.
Siapa Saja Mereka yang Tergolong Etnis Tionghoa di Indonesia?
Definisi dari etnis Tionghoa di Indonesia pun dipertanyakan oleh Soe Tjen. Mereka yang sering disebut sebagai etnis Tionghoa adalah mereka yang keturunan Tiongkok atau yang bermata sipit dan berkulit putih, padahal nenek moyang dari orang Indonesia salah satunya adalah dari Yunan atau Cina Selatan.
“Etnis itu, bagi saya bisa dipertanyakan. Identitas etnis itu bisa dipertanyakan,” ujar Soe Tjen saat membicarakan mengenai etnis Tionghoa di Indonesia.
Selain itu, ia pun berpendapat bahwa sejatinya ras dan etnis itu adalah rekonstruksi sosial dan ciptaan manusia. Sehingga menurutnya, tidak perlu ada perasaan lebih hebat dan tinggi dari orang lain hanya berdasarkan ras atau etnis.
“… Nggak perlu merasa lebih istimewa, karena ini rekonstruksi sosial, kok,” imbuh Soe Tjen.
Istilah Tionghoa yang sekarang digunakan di Indonesia sendiri sejatinya merupakan pengaruh penguasa Indonesia di zaman Belanda yang memperkenalkan hukum dan istilah kolonial seperti bangsa Pribumi, Oriental, dan Eropa. Di mana sebenarnya perihal identitas etnis dan ras merupakan hal yang kompleks dan tidak bisa dipukul rata karena bukan sesuatu yang sifatnya tunggal.
Soe Tjen pun sedari kecil mau tidak mau belajar apa makna dari kata “Cina” yang dilontarkan kepadanya oleh orang yang sering disebut sebagai “Pribumi”. Ia kemudian bercerita bagaimana pengalamannya saat kecil bertanya kepada ibunya mengenai julukan yang ia terima, kemudian mendapat penjelasan yang menurutnya juga kurang masuk akal.
Saat itu ia yang masih kecil diberi penjelasan bahwa sebutan etnis yang diterimanya itu berarti bahwa etnis itulah yang lebih unggul dibandingkan mereka yang memberikan julukan. Itu pula yang menurutnya salah dan menjadi sumber dari tidak berujungnya masalah diskriminasi ras atau etnis ini.
“Diskriminasi diperangi dengan diskriminasi, dan itu masalahnya,” terang Soe Tjen.
Reporter: Nadya Auriga Daruharti
Editor: M. Rizqy Rosi M.