Merawat Ingatan, Jalan Panjang Mencari Keadilan Munir

Himmah Online – Seeking The Truth Mission Episode 1 dengan tajuk “Munir dalam Ingatan: Perjuangannya Abadi, Nyalinya Tak Pernah Mati” merupakan diskusi publik yang diinisiasi oleh Amnesty Amawa Wikerti, Amnesty Chapter Universitas Jember (UNEJ), dan Amnesty Chapter Universitas Papua (UNIPA) di bawah naungan Amnesty International Indonesia. Diskusi tersebut diselenggarakan pada Sabtu (9/9) melalui aplikasi zoom untuk mengingat sejarah dan jejak Munir.

Andrie Yunus, selaku Kepala Divisi Hukum KontraS dalam diskusi awal menjelaskan mengenai kronologi pembunuhan Munir yang terjadi pada 6 September 2004. Dimana pada saat itu Munir sedang bertolak dari Jakarta menuju Belanda dengan nomor penerbangan GA 974 untuk melanjutkan studinya di Universitas Utrecht, Belanda.

Kemudian, pada 7 September 2004, pesawat yang ditumpangi Munir transit di Bandar Udara Internasional Changi Singapura. Disana Munir singgah di Coffe Bean. Lalu, pukul 01.50 pesawat kembali melanjutkan perjalanan. Munir meminum segelas jus jeruk yang disuguhkan oleh pramugari. Setelah meminum jus jeruk tersebut, Munir justru terlihat bolak-balik ke toilet dan mengeluh sakit dibagian perut. Beberapa  saat kemudian, tepatnya pukul 08.10 Munir menghembuskan nafas terakhirnya.

Dari peristiwa tersebut, terdapat beberapa kejanggalan yang membuat orang-orang berasumsi mengenai motif pembunuhan Munir. Dimana terdapat tiga dugaan motif pembunuhan Munir. 

Pertama, motif berbasis kasus karena selama hidupnya Munir sebagai aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) kerap mengampanyekan perlindungan hak dari masyarakat yang tertindas dan terpinggirkan. 

Hal ini dapat dilihat dari empat kasus besar yang ditangani Munir kala itu, seperti kasus orang hilang, kasus Trisakti dan Semanggi, kasus Timor Timur pasca-jajak pendapat, dan kasus pembunuhan massal di Talangsari.

“Sejak 1998 hingga 2004 beberapa kasus itu berkaitan dan membongkar nama-nama siapa saja yang terlibat,” ucap Andrie.

Kedua, motif berbasis konteks, yang mana berkaitan dengan adanya ajang pemilu yang dilangsungkan untuk pertama kalinya pasca reformasi.

“Ada dugaan muncul rezim otoriter atau rezim seperti Orde Baru yang berkuasa dan menyandera demokrasi Indonesia. Nah, dari motif berbasis konteks ini mendudukan Munir pada calon dari kalangan sipil,” jelas Andrie Yunus.

Ketiga, motif berbasis modus, ini muncul karena adanya beberapa pihak yang menganggap bahwa eksistensi Munir merupakan ancaman yang berbahaya sehingga harus dibinasakan.

“Dari motif-motif inilah kenapa Munir dianggap sebahaya itu oleh berbagai pihak hingga akhirnya harus dilakukan pembunuhan,” ujar Andrie.

Munir Said Thalib merupakan satu dari banyaknya kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh otoritas pemerintahan. Terlibatnya Munir dalam aksi pembelaan HAM ternyata membuat pihak-pihak di negeri ini tidak nyaman.

Banyaknya kejanggalan itu pada akhirnya membuat keluarga korban dan para aktivis mencari jalan keadilan bagi Munir.

Usaha panjang ini dimulai sejak 10 November 2004 dengan langkah awal menanti hasil autopsi dari Institut Forensik Belanda. 

“Institut Forensik Belanda mengatakan bahwa dalam tubuh Munir terdapat senyawa arsenik yang diduga kuat atau dinyatakan sebagai penyebab kematian Munir. Jadi senyawa arseniknya melebihi batas minimum yang masuk ke dalam tubuh,” ucap Andrie.

Kemudian, pada 23 Desember 2004, massa kala itu mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk mengusut kasus pembunuhan Munir. Hingga pada akhirnya Presiden SBY menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres)  No. 11 Tahun 2004 tentang Pembentukan Tim Pencari Fakta.

Setidaknya ada tiga nama yang ditetapkan sebagai tersangka kasus pembunuhan Munir. “Di Desember di tahun yang sama (red-2005) Pollycarpus Budihari Priyanto, mantan pilot Garuda Indonesia. Kemudian pada April 2007, eks dirut (red-Direktur Utama) Garuda, Indra Setiawan. Lalu pada 19 Juni 2008, Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN), Muchdi Purwoprandjono ditetapkan sebagai tersangka,” jelas Andrie.

Sukarnya Mencari Keadilan Bagi Munir

Tampaknya jalan panjang untuk mencari keadilan bagi Munir sangatlah terjal. Dalam kurun waktu hampir dua dekade sejak meninggalnya Munir pemerintah sebagai otoritas tertinggi seakan-akan abai terhadap kasus ini. 

Lika-liku sulitnya mencari keadilan ini nampaknya tidak sebatas karena satu faktor saja, tetapi beberapa faktor menjadi satu kesatuan dengan puncaknya adalah hilangnya seorang aktivis HAM, yakni Munir. 

“Pada mulanya faktor penghambat katakanlah hukum, kedua bersifat teknis, dan baru yang ketiga ketika secara perlahan penghambat hukum dan penghambat teknis itu mulai teratasi ternyata jebakan pada faktor politik,” tegas Usman Hamid (47), selaku Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia.

Kompleksitas dari kasus pembunuhan Munir ini menyebabkan sulitnya menemukan jalan keadilan bagi dirinya. Dimulai dari lamanya proses penyelidikan, pembuktian, hingga politis karena adanya turut serta negara dalam kasus ini.

Lambatnya kinerja HAM dan penyelidikan yang bersifat tertutup dan rahasia yang yang dilakukan oleh Komisi Nasional (Komnas) HAM merupakan satu dari serangkaian kompleksitas tersebut. 

“Proses hukum dalam menghadirkan keadilan bukan hanya hasilnya harus adil, tetapi prosesnya juga harus adil, prosesnya harus terbuka kepada masyarakat,” tegas Usman.

Reporter: Magang Himmah/Rama Hendra Triadmaja

Editor: Jihan Nabilah

Skip to content