Organ Pergerakan Mahasiswa Duduk Bersama Bicara Pemilu

Oleh: Moch. Ari Nasichuddin

Yogyakarta, HIMMAH ONLINE

Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik mengadakan diskusi bertajuk ‘Transisi Pemilu Melalui PEMILU 2014: Urgen atau Tidak?’ pada Kamis (27/02). Diskusi yang bertempat di AR. Fachrudin B lt. 5 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) ini dihadiri oleh organisasi pergerakan mahasiswa Yogyakarta, seperti Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (Kammi), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO), HMI DIPO, Sekretariat Bersama 1965 (Sekber ‘65), Solidaritas untuk Orang Pinggiran dan Perjuangan Kampus (Sopink) UMY, serta Pembebasan. Sedangkan Eko Prasetyo, Direktur Social Movement Institute, berlaku sebagai moderator.

Eko memantik diskusi dengan meminta pandangan tentang tema diskusi kepada setiap perwakilan organisasi terkait. Kammi berpandangan bahwa terpilihnya Soekarno dulu bukan berasal dari sistem, melainkan konflik politik. Rezim Soeharto lahir dari sistem militer yang saat itu sangat kuat. Politik secara konstitusional baru lahir semenjak zaman Habibie. Pada masa reformasi sekarang, korupsi sudah menjamur di lembaga-lembaga tinggi negara. Tetapi terlepas itu semua, Kammi memandang politik itu penting.

Menurut Sopink, pada era pasca reformasi, transisi hanyalah seremonial. Demokrasi tidak hanya karena pemilu. Tapi hal ini kembali lagi pada frame politik di Indonesia. Urgen atau tidak, kita harus tetap memilih.

Sekber ‘65 mengkritisi, tema diskusi tersebut terlalu subjektif. Mereka beranggapan bahwa kegagalan di tahun ’98 adalah tidak adanya konsep yang menelurkan figur. Padahal figur itu yang nantinya akan menjadi calon-calon alternatif.

Pendapat lain juga dilontarkan oleh HMI DIPO. “Kami memandang transisi kepemimpinan sangat urgen. Tapi sebelumnya, pemilu ini penting bagi siapa? Takutnya ini hanya penting bagi golongan-golongan tertentu saja.”

HMI MPO beranggapan lain. “Kami kebingungan terkait tema urgen atau tidak. Kami tidak mau mengarahkan itu penting atau tidak.” Menurut mereka, pemilu bisa dilihat dari dua hal, yaitu transaksional dan mendorong serta menjunjung tinggi kedaulatan rakyat.

IMM berpandangan bahwa pemilu itu hadir pada alam demokrasi. “Kalau memang penting, bagaimana kita menghindari pemilu?” Pemilu adalah alat yang disepakati untuk mentransisikan kepemimpinan. Mereka membenarkan prosedural itu. Jadi, pemilu itu penting karena sudah di depan mata. Akan tetapi, mahasiswa tidak bisa menelan mentah-mentah, melainkan harus memantau substansinya.

Pembebasan sendiri menyatakan bahwa transisi pemilu tidaklah urgen.

HMI MPO menambahkan, pergerakan mahasiswa harus menjaga idealismenya. Pada momentum 2014, mahasiswa akan menjadi controller. Meskipun kita tidak ikut dalam mengambil keputusan secara formal, tapi kita bisa mengontrolnya. Menurut perspektif Islam, Indonesia ini sangat Islam sekali. “Rasulullah mengatakan, sebaik-baiknya perkataan adalah yang membenarkan sesuatu yang salah. Golput itu tidak bisa menjadi solusi. Oleh karena itu kita harus berpartisipasi dalam pemilu,” tegas mereka.

Sekber angkat bicara. Konsep demokrasi memang dari, oleh, dan untuk rakyat. Tapi mahasiswa harus menggarisbawahi kalau ada beberapa calon legislatif yang tidak mempunyai integritas dalam memimpin. Kammi pun tidak mau ketinggalan. Menurut mereka, demokrasi adalah kado dari liberalism dan masyarakat harus menjadi single society.  Seharusnya para mahasiswa dikirim ke pelosok untuk menyadarkan masyarakat. Kammi sendiri  mempunyai program yang menyasar pemilih pemula bernama “Gerakan Lima Menit”. Golput memang pilihan dalam dunia demokrasi. Setiap pemilu, angka pemilihan menurun. Selama ini kita juga tidak pernah bicara soal parpol, padahal sebenarnya data-data itu penting untuk diketahui. “Kalau kita golput, sama saja kita memberikan wakil ke orang-orang yang tidak bertanggung jawab,” imbuh mereka.

Romi Maulana, mahasiswa Fakultas Hukum UMY angkatan 2013 menganggap kepemimpinan yang terlalu lama dapat menyebabkan senioritas. “Sebagai mahasiswa, kita harus bisa membela kebijakan. Kita tidak perlu takut pemimpin yang salah. Rakyat lebih ganas dari pemimpin yang ganas,” tukasnya berapi-api.

Krisnanto, salah satu peserta diskusi, beranggapan bahwa masyarakat harus memilih setan-setan kecil daripada setan-setan besar. Ia mengkritik gerakan mahasiswa yang dianggapnya tidak mampu menggerakkan sistem. Bukan saja berpatokan terhadap sistem yang ada, tapi lebih kepada bagaimana kita memberikan sistem yang benar. Ada riset yang mengatakan, gerakan mahasiswa menjadi perpanjangan tangan partai politik. Sistem yang ada selama ini untuk mendidik, kemudian menghamba pada kekuasaan. Pendidikan tidak hanya untuk menjadi cendekiawan saja, tapi juga untuk menanamkan rasa moral.

HMI DIPO memberikan pernyataan lagi. Menurut mereka, transisi itu ada meskipun realitanya tidak ada perubahan. Kalau bicara golput, di luar sana masyarakat banyak yang memilih golput karena tidak percaya akan perwakilan. HMI DIPO mempertegas diri bahwa mereka tidak hanya berwacana, tapi turut turun bersama untuk perubahan. Mereka tidak memungkiri pentingnya peran mahasiswa. Tapi mereka juga mengakui kalau gerakan mahasiswa mengalami kemunduran. Oleh karena itu HMI DIPO mengingatkan, sebaiknya mahasiswa lekas berbenah.

Pembebasan mempertanyakan mahasiswa ini punya kepentingan untuk siapa. Mahasiswa bisa berperan untuk borjuis ataupun proletar. Langkah konkretnya adalah kita protes dengan mendatangi TPS, kemudian menuliskan tuntutan ke surat suara terkait keresahan kita.

 

 

Skip to content