Pejuang Disabilitas Mental di Tengah Pusaran Stigma

Himmah Online Gangguan mental kerap menjadi momok tersendiri bagi penderitanya. Segala jenis gangguan yang muncul dianggap membawa dampak negatif pada sebagian masyarakat, bahkan bagi beberapa orang dianggap dapat menular.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Sari dkk, (2018) terhadap warga Desa Teluk Kenidai, Kecamatan Tambang, Kabupaten Kampar, dihasilkan data bahwa sebanyak 81,7% masyarakatnya memiliki pandangan negatif terhadap gangguan mental.

Masih dalam penelitian yang sama, Sari menyimpulkan bahwa persepsi negatif yang ditujukan kepada penyintas gangguan mental dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, pengalaman, adat, kebudayaan, bahkan agama.

Topik mengenai pentingnya penerimaan terhadap kondisi mental yang dimiliki coba digaungkan oleh Salma selaku dosen Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro, dan Putri Novita Sari yang merupakan seorang penyintas disabilitas mental dalam gelaran webinar bertajuk  “Mengapa Penerimaan Positif Penting untuk Kesehatan Mental?” pada Sabtu (09/04).

Webinar yang diselenggarakan oleh PJS (Perhimpunan Jiwa Sehat) Yogyakarta ini mengundang kedua narasumber untuk berbagi perspektif dari sudut pandang profesional dan penyintas disabilitas mental.

Salma menuturkan, seringkali masyarakat menganggap kesehatan mental dan gangguan mental sebagai dua kondisi yang tidak mungkin dimiliki dalam satu waktu.

Menurutnya, kesehatan mental digambarkan dengan istilah kesejahteraan subjektif (subjective well-being) yakni kondisi individu yang mentalnya sehat merasa nyaman dengan dirinya sendiri dan mampu mempersepsi dirinya secara positif.

Oleh karena itu, individu dengan gangguan mental tetap bisa memiliki kesehatan mental yang baik di waktu yang bersamaan selama ia mampu menerima kondisinya sekaligus melakukan pengelolaan terhadap gejala gangguan yang muncul.

“Orang yang memiliki gangguan mental dengan kondisi yang sifatnya harus dikelola secara terus menerus, dia tetap bisa memiliki kesehatan mental yang baik, ketika dia mampu menerima kondisinya dan mampu mengelola gejala-gejalanya dengan baik secara aktif,” ujar Salma.

Sebagai salah satu narasumber yang hadir dalam gelaran webinar tersebut, Putri seorang penyintas disabilitas mental mengatakan bahwa ia didiagnosis dengan tiga gangguan mental, yakni PTSD (Post Traumatic Stress Disorder), depresi mayor, dan BPD (Borderline Personality Disorder).

“Saya punya BPD, PTSD, sekaligus depresi mayor, dan saya bangga menjadi pejuang disabilitas mental,” jelas Putri.

Apa Itu PTSD, Depresi Mayor, dan BPD?

Dalam American Psychological Association, PTSD (Post Traumatic Stress Disorder) merupakan gangguan yang diakibatkan oleh paparan langsung maupun tidak langsung terhadap peristiwa traumatis di masa lalu (Suprataba, 2021).

Suardana (2020) menjelaskan individu dengan gangguan PTSD merasa seolah dirinya dibayang-bayangi oleh pengalaman traumatis tersebut, yakni kondisi trauma dan stress yang dialami menyebabkan munculnya perasaan sakit baik fisik maupun mental. Perasaan sakit yang berkepanjangan inilah yang kemudian menimbulkan gangguan emosional dan psikologis di masa depan, seperti yang dialami Putri.

Depresi mayor sendiri adalah gangguan yang bersifat heterogen yang pada penderitanya terjadi perubahan fungsi kognitif, berubahnya pola tidur dan pola makan, muncul rasa bersalah secara terus menerus selama dua minggu, depresi, hingga hilangnya minat terhadap hal-hal yang biasanya sangat disukai (Hadi, 2017).

Hadi (2017) menambahkan bahwa depresi mayor merupakan hasil pengklasifikasian dari jenis-jenis depresi. Dalam depresi mayor, individu mengalami salah satu dari beberapa mood depresi (merasa putus asa, terpuruk, sedih) atau hilangnya minat terhadap beberapa atau semua aktivitas minimal 2 minggu.

Sedangkan BPD (Borderline Personality Disorder) atau gangguan kepribadian ambang merupakan gangguan kompleks yang penderitanya tidak mampu mengelola emosi dengan efektif. Gejala-gejala yang muncul yaitu impulsif, amarah, perasaan takut ditinggalkan, hingga munculnya pemikiran untuk mengakhiri hidup (Maryudhiyanto, 2021).

“Saya berusaha untuk melakukan percobaan bunuh diri yang kesekian kalinya dengan mengonsumsi obat-obatan yang tidak sesuai dengan peruntukannya,” ujar Putri.

Selain percobaan bunuh diri, Putri juga mengalami gejala impulsif berupa perilaku bekerja secara berlebihan. “Saya melakukan overwork, itu empat hari saya nggak tidur… dan karena risiko pekerjaan, itu membuat saya tertekan sekali,” lanjutnya.

Penghapusan Stigma di Masyarakat

Berbagai stigma yang ditujukan kepada penderita disabilitas mental tak jarang justru membuat penderita  memberikan stigma negatif terhadap dirinya sendiri.

Subu’ dkk, (2016) menyimpulkan dampak dari stigmatisasi terhadap gangguan jiwa berpotensi dimanifestasikan dalam bentuk kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat, teman, keluarga, tenaga kesehatan, bahkan penderita itu sendiri.

“Saya mencoba untuk menghapus stigma, bahwa kita sebagai penyandang disabilitas mental itu tidak komunikatif dan egois, yang mereka pikir tuh bahwa kita itu hanya mau dimengerti aja,” ucap Putri.

Sebagai bentuk penyemangat kepada peserta webinar, Putri menuturkan sepatah kalimat yang juga ditujukan sebagai penutup pada gelaran webinar hari itu. 

“Semua manusia itu adil, Tuhan berikan hati, pundak, dan indra. Tapi kita yang berbeda, Tuhan berikan hati yang lebih luas, pundak yang lebih kokoh, dan indra yang lebih peka sebab kita istimewa,” pungkas Putri.

Reporter: Himmah/Firly Prestia Anggraeni

Editor: Zumrotul Ina Ulfiati

Baca juga

Terbaru

Skip to content