Oleh : Moch. Ari Nasichuddin
Sleman, HIMMAH ONLINE
Perbincangan soal Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada sebenarnya sudah lama menjadi perbincangan. Hanya saja sekarang ini kembali menjadi ramai diperbincangkan karena ada kaitannya dengan Koalisi Merah Putih pasca pemilihan presiden. Hal itu diutarakan oleh Jamaluddin saat menjadi pemantik diskusi bertajuk “Menyikapi RUU Pilkada” yang diselenggarakan oleh HMI MPO Koordinator Komisariat (Korkom) UII, pada Sabtu (13/10). Menurut Jamal, ada dua argumen terkait RUU Pilkada, yakni dipilih secara langsung dan dipilih melalui DPRD. Kedua argumentasi itu menurut hukum sama-sama kuat karena sama-sama mengacu pada pasal 18 ayat 4 UUD ’45 yang berbunyi, “Gubernur, Bupati,danWalikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”. Kalimat “dipilih secara demokratis” inilah yang memicu perdebatan karena maknanya implisit, bisa dipilih secara langsung atau melalui DPRD. “Hal ini berbeda dengan pasal yang mengatur tentang pemilihan presiden. Normanya Eksplisit,” jelasnya. Kedua argumentasi terkait pasal di atas pernah ditafsirkan ke Mahkamah Konstitusi (MK). MK menafsirkan intinya Pilkada tidak harus secara langsung.
Mengapa pasal 18 ayat 4 dibuat tidak eksplisit menurut Jamal karena pasal tersebut ada hubungannya dengan Pasal 18 B UUD ’45 yang berbunyi, “Negara mengakui dan meghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur oleh undang-undang”. Satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus itu salah satunya DIY. Karena tidak eksplisit itu maka boleh maju per seorangan (independen).
Jamal mengatakan, dulu rakyat Indonesia mengevaluasi pilkada melalui DPRD banyak terjadi kendala seperti rakyat tidak memilih sesuai hatinya dan terjadi money politic. Tetapi ketika sudah dirubah pemilihan secara langsung money politic itu malah semakin parah. Diluar itu banyak juga terjadi kerusuhan-kerusuhan akibat masyakarakat yang tidak dewasa. “Itu lah salah satu alasan pemerintah mengajukan pemilihan kepala daerah melalui perwakilan, karena kalau langsung biaya sosial ekonominya banyak,” tukas Jamal.
Menurut dosen FH UII ini, karena hukum itu ilmu perspektif maka terserah perspektif mana yang dipilih. Tapi yang paling penting argumentasinya kuat dan dapat menimbulkan pemilihan demokratis. Ia menjelaskan dipilih secara demokratis itu ada 3 kriteria, yakni pra pelaksanakan, ketika pelaksanakan, pasca pelaksanakan. Pra pelaksanaan itu merujuk pada pencalonan. Pemilihan kepala daerah itu demokratis kalau kedua calon mempunyai peluang sama, baik calon dari partai politik maupun independen. Terkait ini, Jamal berpendapat peluang yang sama ini hanya terjadi ketika dipilih secara langsung.
Poin kedua ketika pelaksanakan. Ia menjelaskan pemilihan secara langsung maupun secara keterwakilan aslinya sama-sama demokratis. Namun yang perlu diperhatikan adalah undang-undang kita mengatur kedudukan DPRD dan kepala daerah sama-sama kuat. Kedudukan yang sama ini membutuhkan legitimasi yang sama kuatnya pula. Maka, menurutnya, legitimasi kuat itu bisa didapat kepala daerah jika dipilih secara langsung.
Poin terakhir yakni pasca pelaksanaan. Pemilu yang demokratis itu adalah ketika pemenangnya tidak bisa ditebak dari awal. “Kalau lewat DPRD, yang menang itu bisa ditebak karena mayoritas partai pendukung banyak,” tuturnya. Selain itu sengketa penghitungan suara Pilkada di MK hanya bisa dilakukan dengan pemilihan langsung. Kalau DPRD kemungkinan hampir tidak ada perselisihan karena perbedaan yang terjadi nantinya tidak signifikan.
Diakhir penjelasannya, Jamal mengatakan apapun pemilihannya tapi kesejahteraan khususnya soal ekonomi belum dijamin oleh pemerintah, maka pasti digugat. Karena menurutnya mengutip pernyataan dari Bagir Manan, demokrasi itu ada pra syaratnya, yaitu tingkat pendidikan masyarakat, tingkat ekonomi masyarakat, dan syarat terakhir adalah tegaknya hukum.