Pengelolaan Sampah Tanggung Jawab Semua Pihak, Bukan Hanya Perempuan

Himmah Online – Pra musyawarah keagamaan bertema “Pengelolaan Sampah Bagi Keberlanjutan Lingkungan Hidup dan Keselamatan Perempuan” digelar dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II pada Sabtu pagi (26/11). KUPI menganggap bahwa pengelolaan sampah tanggung jawab semua pihak, bukan hanya perempuan.

Sebelum digelar di Joglo Timur Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari, Bangsri, Jepara, Jawa Tengah, tim penanggung jawab fatwa KUPI telah merumuskan beberapa pertanyaan untuk nantinya dibahas dalam musyawarah.

Sistematika musyawarah KUPI terdiri dari tashawwur (deskripsi masalah), adillah (dasar-dasar keputusan), istidlal (analisis terhadap dasar-dasar keputusan), sikap dan pandangan keagamaan, tazkiyah (rekomendasi), maraji’ (referensi), dan marafiq (lampiran).

Pemutusan jawaban atas rumusan masalah akan didasarkan pada dalil yang ada dalam Al-Qur’an, hadits, aqwalul ulama, dan konstitusi yang diterapkan di Indonesia. Hasil musyawarah ini nantinya akan menjadi sikap keagamaan KUPI dalam masing-masing tema musyawarah, salah satunya tentang permasalahan sampah.

Pertanyaan pertama adalah mengenai hukum pembiaran kerusakan lingkungan hidup akibat polusi sampah. KUPI sendiri memberikan hipotesis bahwa hukumnya adalah haram.

“Menurut saya, hukum pembiaran sampah itu masuk dalam kategori perusakan. Berarti hukumnya haram. Kenapa haram? Karena pembiaran itu salah satu perusakan permukaan bumi,” ujar Muhammad Azzam Muttaqi, pengasuh Pondok Pesantren Sirojul Athfal, Sukabumi, Jawa Barat yang menjadi salah satu peserta musyawarah tersebut.

Pemutusan hukum ini menurut Izzah Nurdiana, perwakilan Kupipedia, harus di-tafsil atau diuraikan secara terperinci, dan tidak bisa digeneralisasi kalau permasalahan yang terkait dengan pembiaran sampah itu haram.

“Tidak bisa kita generalisasi semuanya haram. Tapi harus kita tafsil permasalahannya seperti apa, (masuk) makruh tanzih. Permasalahannya seperti apa, (masuk) makruh tahrim,” tuturnya.

Pertanyaan pertama ini menghasilkan sikap keagamaan pertama KUPI terhadap pengelolaan sampah, yaitu hukumnya haram untuk pelaku langsung atau eksekutor penyebab tidak langsung. Sementara untuk orang yang tidak mempunyai wewenang, tapi melakukan pembiaran sampah, hukumnya makruh tahrim (makruh yang mendekati haram).

Rumusan masalah kedua adalah mengenai hukum pembangunan infrastruktur politik, sosial, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendukung pengelolaan sampah untuk keberlanjutan lingkungan hidup dan keselamatan perempuan. KUPI menilai bahwa penyediaan infrastruktur tersebut hukumnya wajib bagi setiap pemimpin yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab.

Ala’i Nadjib dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, selaku mushohih (orang yang keilmuannya luas sehingga menjadi pedoman untuk diskusi), menyatakan bahwa hukum dari penyediaan infrastruktur tersebut adalah mubah dan wajib.

“Karena apa? Karena itu adalah bagian dari edukasi kita. Tapi kalau ditanya siapa (yang bertanggung jawab), semua, ya, ‘kan? Dari tingkat RT, itu komunitas yang paling kecil. Dibalik RT siapa? Keluarga,” terangnya.

Hasilnya, hukum pembangunan infrastruktur politik, sosial, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi bagi pemerintah bersifat mukhayyar (kewajiban yang tergantung objek hukumnya), bukan muhaddad (kewajiban yang harus sesuai ketentuan). Kewajiban pembangunan infrastruktur tersebut disesuaikan dengan kapasitas kewenangan dan dampak yang timbul dari sampah.

Pertanyaan terakhir adalah mengenai siapa saja yang bertanggung jawab untuk mengelola sampah demi keberlanjutan lingkungan hidup dan keselamatan perempuan.

KUPI merumuskan jawaban awal dengan menegaskan bahwa semua pihak lah yang bertanggung jawab atas pengelolaan sampah sesuai dengan kemampuannya masing-masing.

Setiap individu bertanggung jawab dalam bentuk mengurangi produksi sampah (reduce) dan memanfaatkan kembali sampah (reuse) di semua sektor. Untuk pemerintah, pengusaha, dan pihak-pihak lain yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab dalam bentuk daur ulang (recycle), maka sesuai kemampuan masing-masing.

Ala’i membantah kalau sampah itu identik dengan perempuan. Permasalahan sampah harus menjadi tanggung jawab bersama. “Semua pihak wajib mengelola sampah sesuai dengan kemampuan masing-masing. Terutama pemerintah dalam membangun kesadaran warga akan bahaya sampah dan bagaimana pengelolaannya,” ujar Ala’i.

Sikap keagamaan yang dikeluarkan oleh KUPI untuk pertanyaan terakhir tidak jauh berbeda dengan apa yang diungkapkan Ala’i dan hipotesis awal. Yakni pengelolaan sampah tanggung jawab semua pihak, bukan hanya perempuan.

Pembahasan mengenai pengelolaan sampah ditutup dengan rekomendasi yang dibacakan dalam penutupan KUPI II pada Sabtu siang (26/11). KUPI menegaskan bahwa negara perlu memperlakukan isu sampah sebagai isu penting dan melibatkan semua pihak bahkan sampai ke desa.

Rekomendasi yang dibacakan pada penutupan KUPI II berisi penegasan bahwa sampah bukan semata urusan perempuan, tetapi tanggung jawab semua pihak.

Untuk keberlangsungan lingkungan hidup, KUPI menegaskan dalam rekomendasi pertama soal pengelolaan sampah maka negara perlu memperlakukan isu sampah sebagai isu yang penting dengan merumuskan kebijakan pengelolaan dan melibatkan pengusaha, masyarakat, dan pegawai struktural sampai desa.

Dalam rekomendasi kedua, masyarakat sipil diharapkan mengambil peran dalam pengelolaan sampah. Sedang dalam rekomendasi ketiga, jaringan KUPI dinilai perlu memperkuat masyarakat dengan pandangan keagamaan untuk menanggulangi sampah.

Reporter: Himmah/Qothrunnada Anindya Perwitasari dan Magang Himmah/Nurhayati

Editor: Pranoto

Skip to content