Peringati May Day, Buruh Jogja Berunjuk Rasa

HIMMAH ONLINE, Yogyakarta – Tanggal 1 Mei atau biasa disebut May Day, menjadi momentum hajatan besar kaum buruh dan diperingati sebagai Hari Buruh Internasional. Di Yogyakarta, buruh yang terkumpul dalam Aliansi Buruh Yogyakarta (ABY) memperingatinya melalui aksi. Beberapa elemen gerakan yang tergabung menurut konfirmasi Sekretaris Jenderal ABY, Kirnadi, mencapai 20 simpul gerakan, terdiri dari beberapa Federasi Serikat Pekerja (FSP) dan elemen gerakan buruh lainnya. Beberapa di antaranya adalah Serikat Pekerja Nasional (SPN); Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI); Asosiasi Pekerja (Aspek) Indonesia; FSP Logam, Elektrik, dan Mesin Konfederasi SPSI; Partai Rakyat Demokratik (PRD); dan Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI). Menurut Kirnadi, ada sekitar 500 peserta aksi yang turut serta.

Rangkaian aksi yang dimulai dari Tugu Yogyakarta sampai titik nol kilometer ini diramaikan dengan mimbar terbuka dan long march. Ada beberapa tuntutan dalam aksi tersebut, pencabutan PP No. 78 tahun 2015 tentang Pengupahan, pembebasan 26 aktivis buruh, turunkan harga sembako, jaminan sosial yang layak untuk buruh, perumahan murah untuk buruh, dan pendidikan gratis untuk anak buruh.

Kirnadi mengungkapkan pertimbangan dalam pengajuan salah satu tuntutan, pencabutan PP No. 78 tentang Pengupahan. Dirinya menyesalkan dan kecewa karena peraturan tersebut hanya akan melanggengkan upah murah dan tidak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh kaum buruh. Berdasarkan PP tersebut, formulasi yang digunakan dalam pengupahan hanya mengandalkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Kenaikan upah dibatasi hanya 10%. Daya tawar serikat buruh dalam relasi tripartit antara pengusaha, buruh, dan pemerintah pun dilemahkan dengan adanya PP tersebut. “PP No. 78 tentang Pengupahan telah mereduksi peran serikat pekerja dalam menegosiasikan upahnya. Serikat pekerja juga dibelenggu dengan adanya aturan itu,” tambah Kirnadi.

Rohmat, salah seorang buruh yang tergabung dalam SPSI Kalasan, menganggap bahwa nasib buruh masih dalam posisi yang termarjinalkan. Khusus untuk di Yogyakarta, dia melihat bahwa sampai saat ini banyak buruh yang upahnya masih di bawah Upah Minimum Regional (UMR), yang mana UMR di Yogyakarta sendiri terhitung rendah apabila dibandingkan dengan daerah-daerah lain. “Jaminan sosial yang kita rasakan itu masih di bawah standar, banyak sekali kekurangannya. Contoh di jaminan kesehatan, obat-obat yang diberikan masih di bawah standar. Kita berharap pelayanan jaminan sosial yang lebih baik lagi karena iuran yang ditarik untuk itu (jaminan sosial –red) juga naik,” tutur Rohmat.

Turut hadir pula perwakilan dari buruh Pekerja Rumah Tangga (PRT) untuk menuntut kejelasan mengenai Undang-Undang Perlindungan PRT. Yuli Maheni dari Serikat PRT Tunas Mulia Yogyakarta merasa bahwa haknya sebagai pekerja dirasa masih terkatung-katung, seperti hak berorganisasi, hak libur, upah yang dirasa masih rendah serta jaminan sosial. Yuli ikut serta dalam aksi dan menuntut agar pemerintah segera memberikan kejelasan mengenai UU Perlindungan PRT tersebut.

“Kita tetap mengharapkan adanya UU Perlindungan PRT sehingga ada patokan hukumnya,” tutur Yuli. Yuli menambahkan pula bahwa pihaknya pernah menemui Dewan Perwakilan Rakyat ketika memperjuangkan UU Perlindungan PRT ini. UU tersebut bahkan sempat dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2015. Namun, pada akhirnya UU Perlindungan PRT tidak masuk dalam pembahasan. Menurut penuturan Yuli, tahun 2016 ini DPR menjanjikan UU Perlindungan PRT diikutsertakan dalam pembahasan.

Salah satu peserta aksi yang juga menyampaikan orasinya, Rasyid dari SMI, menganggap bahwa daya tawar buruh sampai saat ini masih lemah. Negara Indonesia saat ini tidak berpihak pada buruh, tetapi pada kaum pemodal. Rasyid juga menilai bahwa sudah saatnya mahasiswa turut membela kaum tertindas. “Kaum tertindas saat ini adalah kaum buruh. Salah satu bentuk kepeloporan mahasiswa adalah dengan aktif terlibat berjuang bersama kaum buruh,” ungkapnya. (Fahmi Ahmad B.)

Skip to content