Saat pasangan milenial memperjuangkan cintanya di hari Valentine, tentara PETA memperjuangkan kemerdekaan di hari Valentine 74 tahun yang lalu.
Bulan Februari identik dengan bulan yang penuh dengan rasa kasih sayang. Namun bulan Februari terasa berbeda pada tahun 1945. Terlebih bertepatan pada tanggal 14 Februari 1945, yaitu hari Valentine. Saat terjadi pemberontakan PETA di Blitar Jawa Timur.
PETA (Pembela Tanah Air) adalah organisasi militer bentukan Jepang yang dilatih langsung oleh tentara Jepang guna mempertahankan wilayah teritorial Indonesia (Pulau Jawa, Bali, dan Sumatera) apabila ada penyerangan dari tentara Sekutu. Diantara banyaknya anggota PETA, terdapat nama Supriyadi. Ia adalah lulusan pertama dari pelatihan PETA di Bogor dan ditempatkan di Blitar. Supriyadi berpangkat Shodancho (Komandan Peleton) yang bertugas untuk mengawasi jalannya romusha. Supriyadi adalah otak dari pemberontakan PETA yang terjadi di Blitar. Lantaran rasa prihatin atas keras dan pedihnya romusha, banyaknya janji-janji Jepang yang tak terpenuhi, wanita-wanita Indonesia yang menjadi pemuas hasrat para tentara Jepang, dan segala kelakuan-kelakuan tentara Jepang, ia mempunyai ide untuk memberontak. Tak hanya Supriyadi saja, masih ada beberapa nama-nama lain dibalik pemberontakan tersebut, diantaranya adalah Shodancho Muradi.
Pada tanggal 14 Februari, diagendakan pertemuan antara pejabat perwira Jepang dan anggota PETA di Blitar. Tanggal ini dipilih oleh Shodancho Supriyadi untuk diadakan pemberontakan karena diharapkan anggota PETA yang datang turut serta menambah pasukan dalam pemberontakan tersebut. Jauh hari sebelum tanggal 14 Februari 1945, Shodancho Supriyadi dan shodancho-shodancho lainnya sudah merencanakan adanya pemberontakan tersebut. Sejak bulan Agustus 1944 hingga Januari 1945, Supriyadi dan Muradi bersama dengan komandan peleton lain melakukan rapat secara rahasia untuk melancarkan aksinya ini. Sebelumnya, Supriyadi juga mengorganisasikan Daidan (Batalyon) di beberapa kota di Jawa Timur untuk ikut dalam pemberontakan. Tetapi, secara diam-diam Kempentai (pasukan rahasia Jepang) telah memata-matai gerak-gerik para shodancho tersebut.
Beberapa waktu sebelum tanggal 14 Februari, Soekarno datang ke Blitar. Supriyadi menyempatkan diri untuk bertemu dengan Soekarno dan membicarakan terkait dengan pemberontakan yang akan dilancarkannya pada 14 Februari tersebut. Soekarno kurang merestui langkah yang akan diambil Supriyadi. Soekarno memberikan alasan terkait dengan kekuatan yang ada pada pasukan PETA. Disamping itu juga, para pasukan harus mempertimbangkan resiko bila mereka ditangkap dan diadili secara militer.
Namun, tak selamanya pemberontakan yang dilakukan oleh rakyat Indonesia terhadap para penjajah berhasil. Lain cerita pada Pemberontakan PETA kali ini. Mendadak pertemuan yang dijadwalkan pada tanggal 14 Februari 1945 tersebut dibatalkan. Tepat pada tanggal 14 Februari pukul 03.00 para pemberontak mulai menembakkan peluru kearah Hotel Sakura yang dijadikan rumah dinas para perwira Jepang. Namun, hotel tersebut terlihat kosong dan sepi tak berpenghuni. Ternyata para perwira Jepang telah mendengar berita bahwa akan terjadi pemberontakan lewat Kempentai. Shodancho Supriyadi beserta pasukannya bingung akan mengambil langkah apa. Jika mundur, maka tentara Jepang akan mengejarnya. Namun jika tetap maju, tidak ada hasilnya, karena lokasi penyerangan telah kosong. Supriyadi tetap maju. Tak lama tentara Jepang datang untuk menghentikan pemberontakan. Karena semakin tertekan, akhirnya pasukan pemberontak menyerah. Kolonel Katagiri pun menemui Shodancho Muradi, memintanya dan para pasukan untuk kembali ke markas. Lalu Shodancho Muradi bernegosiasi kepada Kolonel Katagiri. Ia meminta untuk tidak melucuti senjata para pemberontak dan memintanya berjanji untuk tidak mengadili para pemberontak dikemudian hari. Kolonel Katagiri memberikan pedangnya sebagai jaminan atas janji yang ia berikan. Saat terjadi penangkapan , Shodancho Supriyadi tidak terlihat disana. Shodancho Supriyadi tiba-tiba hilang secara misterius.
Akhirnya 78 orang perwira dan anggota PETA pemberontak yang berasal dari Blitar dijebloskan ke penjara, kemudian mereka diadili di Jakarta. Pada 16 Mei 1945 6 orang divonis hukuman mati, 6 orang divonis dipenjara seumur hidup, lalu sisanya divonis sesuai dengan tingkat kesalahannya masing-masing. Shodancho Muradi dan 5 orang perwira PETA mendapat hukuman mati. Mereka di eksekusi di kawasan Eevereld, yang kini berubah nama menjadi Ancol. Sedangkan nasib Shodancho Supriyadi masih belum diketahui. Banyak yang menganggap Supriyadi hilang. Hingga saat-saat pasca kemerdekaan, Supriyadi tak juga menampakkan dirinya. Ada yang bilang bahwa ia telah tewas ditembak oleh para tentara Jepang. Ada pula cerita bahwa ia mati diterkam binatang buas di hutan. Meskipun banyak rumor menghilangnya Shodancho Supriyadi, Soekarno yang saat itu sudah menjadi Presiden Indonesia mengangkat Supriyadi sebagai Menteri Keamanan Rakyat pada 6 Oktober 1945.
Pada abad ini, Supriyadi dikenal sebagai Pahlawan Nasional Indonesia untuk menghargai keberanian dan jasanya. Dan untuk mengenang peristiwa pemberontakan PETA, dibangunlah Monumen Pemberontakan PETA di Blitar, tepat di lokasi penyerangan. Terdapat 7 patung prajurit sedang dalam sikap menyerang, dan terdapat patung Supriyadi ditengahnya. Bekas asrama PETA saat ini dijadikan bangunan untuk salah satu SMP dan SMA Negeri di Blitar.
Valentine memang terasa manis untuk hati yang sedang berbunga-bunga. Namun valentine 1945 di Blitar terasa tegang dan membara untuk para perwira dan anggota PETA di Blitar saat itu. Inilah salah satu langkah pergerakan menuju kemerdekaan Indonesia di 17 Agustus 1945.
Editor: Zikra Wahyudi