15 Februari 1958: PRRI Menunjukkan Jati Dirinya

Himmah Online – PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) mendeklarasikan dirinya pada 15 Februari 1958, dengan mengangkat Syafruddin Prawiranegara menjadi Perdana Menteri PRRI pada tahun 1958 sampai 1961.

Pemberontakan PRRI yang berasal dari Sumatera Barat ini muncul dilatarbelakangi oleh alokasi dana yang tidak merata oleh pemerintah pusat kepada daerah, dari segi pembangunan infrastruktur.

Salah satu dampak dari peristiwa ini adalah adanya tiga tingkat otonomi pemerintahan dibawah tingkat nasional yaitu provinsi, kabupaten, dan desa.

Ketiga tingkat otonomi pemerintahan tersebut mempunyai kekuasaan untuk mengatur urusan rumah tangga sendiri dalam pembangunan infrastruktur. Diantaranya seperti perbaikan jalan dan pembangunan fasilitas umum. Ketiga otonomi pemerintah tersebut juga mempunyai kekuasaan atas pemanfaatan pemasukan daerah yang berasal dari pertambangan, pertanian, atau kelautan.

Dalam buku Dr. Mestika Zed yang berjudul PRRI Dalam Pergolakan Daerah menjelaskan bahwa adanya tuntutan otonomi daerah luas dalam sistem pemerintahan desentralisasi antara daerah dan pusat. Hal itu sangat erat kaitannya dengan penguasaan sumber ekonomi luar Jawa, Sumatera Tengah, yang keduanya berada dibawah kendali pusat dan hanya disisakan sedikit untuk daerah.

Disamping itu, penyebab terbentuknya PRRI juga berasal dari masalah keretakan Dwitunggal Soekarno-Hatta. Perbedaan gaya kepemimpinan serta mereka berdua (Soekarno-Hatta) berjuang melawan Belanda dengan caranya masing-masing menyebabkan keretakan Dwitunggal Soekarno-Hatta. Puncaknya, Hatta mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden RI pada Desember 1956.

Kebijakan pemerintah pusat yang sewenang-wenang membuat para pemimpin Divisi Banteng dan rakyat di Sumatera Barat merasa tidak dipedulikan lagi. Mereka memandang rezim Jakarta tidak tahu berterima kasih dan cenderung diskriminatif. Tidak heran jika jajaran kelompok tentara di daerah paling merasakannya.

Terlebih lagi ketika upaya pemisahan satuan tentara Dewan Gajah, Dewan Banteng, Dewan Garuda, dan Dewan Manguni di masa perjuangan kemerdekaan yang sangat kuat dan dalam pertempuan melawan Belanda, dianggap sebagai tindakan menghancurkan.

Pada bulan November 1956, sebanyak 600 eks Divisi Banteng berkumpul di Padang. Mereka membicarakan tentang perbaikan tentara Angkatan Darat dan pemimpin negara yang kemudian menyebabkan tebentuknya dewan-dewan di Sumatera dan Sulawesi.

Diantaranya Dewan Gajah dipimpin Kolonel Simbolon, Dewan Banteng dipimpin Ahmad Husein, Dewan Garuda dipimpin Dahlan Djambek, dan Dewan Manguni dipimpin Kolonel Ventje Sumual.

Divisi Banteng juga merupakan akibat dari pembentukan Republik Indonesia Serikat tahun 1949, yang saat itu adanya pengerucutan Divisi Banteng dan hanya menyisakan satu Brigade. Akibatnya, pemimpin Divisi Banteng, Ahmad Husein mengeluarkan ultimatum yaitu dalam waktu 5×24 jam Kabinet Djuanda dan menyerahkan mandat kepada Presiden, atau Presiden mencabut mandat Kabinet Juanda. Kedua, Presiden menugaskan Hatta dan Sultan Hamengkubuwono IX untuk membentuk Zaken kaninet. Dan ketiga, meminta kepada Presiden supaya kembali kepada kedudukannya sebagai Presiden Konstitusional.

Sebelumnya, pada 10 Februari 1958 di pembangunan mercusuar, Divisi Banteng menghasilkan maklumat dengan nama Piagam Perjuangan. Piagam tersebut berisi tuntutan yang supaya Kabinet Juanda mengundurkan diri dan mengembalikan mandatnya kepada Presiden. Kemudian, menuntut Presiden Soekarno membentuk kabinet baru. Penuntutan kabinet baru ingin diberi mandat sepenuhnya untuk bekerja sampai diselenggarakannya pemilu. Hingga tuntutan yang berisi agar Presiden Soekarno membatasi diri dari konstitusi.

Editor: Armarizki Khoirunnisa D.

Skip to content