Himmah Online – Permohonan pengujian Undang-Undang (judicial review) terhadap Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 mengenai Hubungan Kerja dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, telah diajukan ke Mahkamah Agung (MK) dan sudah dilakukan enam kali sidang. Akan tetapi, berbagai upaya ini tidak kunjung memperoleh putusan untuk perlindungan pekerja rumahan di Indonesia.
Oleh karenanya, Trade Union Rights Centre (TURC) mengadakan konferensi pers “Menilik Ulang Perjuangan Perempuan Pekerja Rumahan Melalui Judicial Review” guna merespons urgensi pengakuan dan perlindungan pekerja rumahan di Indonesia, pada Selasa (29/11) melalui media telekonferensi Zoom.
“Pekerja rumahan adalah pekerja. Ini yang perlu kita garis bawahi bila ditinjau dalam Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan. Ini (Red—pekerja rumahan) sudah memenuhi unsur sebagai pekerja karena ada perintah, ada upah, dan menghasilkan barang atau jasa,” tutur Wuwun selaku Koordinator HomeNet Indonesia.
Berbagai upaya telah dilakukan sejak tahun 2005 untuk mendapatkan keadilan dan pengakuan, serta perlindungan di Indonesia. Namun, hingga kini advokasi nasional pada Ranpermen dan advokasi daerah pada Ranperda yang dilakukan oleh mitra Indonesia tidak kunjung membuat pemerintah tergugah.
Akhirnya, pekerja rumahan yang didukung oleh TURC melalui program Informal Workers Covid-19 Response (INCORE) mendaftarkan Permohonan Pengujian UU terhadap Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengatur mengenai definisi hubungan kerja.
Tim kuasa hukum pekerja rumahan, Wilopo Husodo menyebutkan, alasan mengapa mereka masuk ke MK. “Pada dasarnya saya juga melihat ada dasar hukumnya, tetapi itu ada pada konvensi ILO 177 tahun 1996,” kata Wilopo.
Saat itu pemerintah Indonesia tidak meratifikasi konvensi ILO sehingga tidak dapat berlaku di Indonesia. Lantas, tim kuasa hukum pekerja rumahan memutuskan untuk langsung melawan UU No. 13 tentang Ketenagakerjaan.
“Akhirnya setelah menyortir banyaknya pasal, maka kami memutuskan untuk memakai Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 UU No. 13. Di mana Pasal 1 mengenai definisi lingkungan kerja dan Pasal 50 mengenai syarat hubungan kerja,” tutur Wilopo.
Fakta yang harus diketahui bahwa pekerja rumahan mendapatkan pekerjaan melalui perantara yang termasuk ke dalam hubungan kerja. Maka, Wilopo beserta timnya meminta kepada MK agar melakukan tafsir ulang atau revisi mengenai pasal yang diajukan.
“Tadinya kita mau meminta ganti dengan mencoret kata pengusaha. Jadi hanya pemberi kerja, tetapi majelis hakim mempertegas kalau kalian mengganti (Red–menghilangkan pasal) maka struktur UU No. 13 itu akan merubah semuanya,” terang Wilopo.
Saat ini pihak kuasa hukum sedang menunggu putusan dari MK. Wilopo berharap semoga apa yang ia dan pekerja rumahan harapkan dapat dikabulkan oleh pihak MK, dan dapat menjadi pintu masuk bagi pekerja rumahan untuk mencakup dalam UU No. 13 tentang Ketenagakerjaan maupun UU Cipta Kerja yang juga sedang ditinjau untuk perubahan formalnya.
Reporter: Himmah/Zalsa Satyo Putri Utomo
Editor: Zumrotul Ina Ulfiati