In Memoriam Bapak Prof. KH. A. Kahar Muzakkir

*Naskah “In Memoriam Bapak Prof. KH. A. Kahar Muzakkir” sebelumnya terbit di Majalah MUHIBBAH Nomor 4-5/Thn. VII/1973 halaman 53. Redaksi himmahonline.id kembali menerbitkan naskah ini untuk memperingati 49 tahun kepulangan A. Kahar Muzakkir. Naskah yang sebelumnya berbentuk teks cetak ini, dialih media ke teks digital dengan penyesuaian tanda baca dan bahasa tanpa merubah substansi maupun struktur naskah.

Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami. Terbayang kami maju dan berdegap hati tapi adalah kepunyaanmu. Kaulah sekarang yang berkata. (Chairil Anwar)

Di saat-saat udara begitu kelam, di saat pasir dan bambu berserakan di halaman kampus UII, di celah-celah serakan poster-poster, di antara gegap pekik mahasiswa yang menuntut pembaharuan bagi almamaternya, di antara itu semua kita telah kehilangan seorang bapak tokoh pendiri Universitas Islam Indonesia, universitas swasta yang tertua di kawasan Nusantara ini.

Kepergiannya yang begitu mendadak, tanpa pesan dan fatwa bagi yang ditinggalkan. Sehingga banyak orang bertanya-tanya; tak percaya bahwa peristiwa itu memang terjadi nyata—karena begitu mendadak peristiwanya. 

Begitulah pada tanggal 2 Desember 1973, dalam usia hampir menjelang 65 tahun beliau telah wafat meninggalkan kita guna memenuhi panggilan Allahu Rabbi. Tak banyak yang dapat dicatat dari riwayat hidup beliau, tapi dari yang sedikit itu sinar kemilau “Mutiara Kehidupan” lah semata yang nampak. Beliau dilahirkan tahun 1909 di Kotagede, Yogyakarta, hidup dididik dan dibesarkan di lingkungan/perjuangan. Ketika beliau wafat, beliau meninggalkan seorang istri dengan beberapa orang putra, tanpa harta warisan yang berarti.

Dalam hidup beliau, baik semasa remaja hingga wafatnya termasuk tokoh kebenaran dan kejujuran, yang selalu memperjuangkan rakyat yang diombang-ambingkan Belanda, terutama dalam bidang pendidikan.

Dalam usia yang relatif muda, beliau sudah terjun ke bidang agama, sekaligus sebagai pendiri pondok pengajian guna menentang Belanda. Kegiatan ini boleh dikatakan berkembang sejak tahun 1930 sampai berdirinya UII Sebelum kemerdekaan, pernah beliau menyarankan agar pendidikan masyarakat lebih dapat berjalan efektif harus mendirikan pondok, di berbagai tempat di Indonesia ini. Karena sekolah Belanda seperti Hollandsch Inlandsche School (HIS),  Algemene Middelbare School (AMS), sama sekali tidak terjangkau oleh rakyat biasa, kecuali anak Demang, serta golongan Keraton/Kerajaan.

Berarti dalam situasi dan kondisi penjajahan Belanda, beliau lebih mengutamakan moral agama untuk mendobrak nilai penjajahan terhadap rakyat yang tidak mengenal pendidikan sama sekali.

Dalam pola perjuangan kemerdekaan Indonesia, beliau selalu turun ke gelanggang buat membela tanah air demi kemerdekaan. Sebagai realisasi perjuangan ini antara tahun 1942-1945, beliau pernah diutus ke Jepang, sebagai misi untuk membicarakan arti kemerdekaan terhadap rakyat Indonesia, bersama Bapak Prof. Kasmat Bahuwinangun, S.H., bersama dua orang lagi.

Di samping itu menjelang kemerdekaan Indonesia, beliau aktif di dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Di lembaran Ketatanegaraan Republik Indonesia nampak jelas sekali, sebab dalam teks: Piagam Jakarta beliau juga ikut menandatangani piagam tersebut.

Sampai saat akhir hayat beliau, beliau merupakan salah seorang Pimpinan Muhammadiyah Yogyakarta. Beliau juga menjabat sebagai perwakilan perjuangan pembebasan Palestina di Indonesia bersama-sama dengan Bapak Moch. Natsir.

Kepergian Bapak Prof. KH. A. Kahar Muzakkir mungkin tidak berarti banyak bagi orang yang tidak mengenalnya, apalagi bagi golongan yg membenci umat Islam. Beliau dengan Islam adalah ibarat manusia dengan nyawanya, mungkin begitulah gambaran yang tepat untuk beliau. Karena begitulah yang dapat kita lihat dan kita rasakan terhadap peri kehidupan beliau. Sehingga dengan kepergian beliau berarti kita telah kehilangan salah seorang pemimpin umat yang betul-betul pemimpin.

Sejak berdirinya Sekolah Tinggi Islam (STI) pada tanggal 8 Juli 1945 yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan UII sampai saat akhir hayat beliau, beliau adalah orang yang paling aktif membinanya. Bahkan beberapa jam sebelum wafatnya, beliau masih berkesempatan untuk ke percetakan “Persatuan” guna menanyakan kalender pesanan beliau untuk dijadikan dana pembangunan UII. Berkat usaha beliau juga, ijazah Fakultas Ekonomi dan Fakultas Hukum UII dapat disetarakan dengan ijazah negeri.

Beliau, Prof. KH. A. Kahar Muzakkir lebih dikenal mahasiswa sebagai seorang bapak dari pada seorang dosen atau dekan karena begitu besar perhatian dan kecintaan beliau pada mahasiswa, sehingga pintu hati dan pintu rumah beliau selalu terbuka bagi siapa saja untuk mengadukan halnya. Sungguh seorang pemimpin yang sukar dicari gantinya di kampus ini.

Kini beliau telah pergi, meninggalkan bengkalai kerja yang belum usai, di sana berserakan batu-batu pasir, kayu, dan bambu, di sini bertebaran pamflet-pamflet suara mahasiswa. Universitas masih sangat memerlukan pimpinan beliau, mahasiswa sangat membutuhkan bimbingan dan kasih sayang beliau. Umat Islam selalu mendambakan pimpinan dari beliau, tapi Tuhan menghendaki lain, dan terjadilah menurut apa yang telah ditentukan-Nya.

Seorang Mujahid telah pergi, syuhada yang patut digugu dan ditiru, pejuang yang tanpa pamrih.

Kini kita telah ditinggalkan beliau dengan bengkalai kerja yang belum lagi apa-apa.

Di atas pundak kitalah letak tanggung jawab dan bentuk akhir dari cita-cita kita bersama, yaitu sebuah kampus Universitas Islam Indonesia, yang akan menjadi kebanggaan kita bersama, Terlaksana atau tidak, tegak atau runtuhnya cita-cita itu kini mutlak berada di tangan kita. 

Dan satu-satunya cara untuk mencapai cita-cita tersebut adalah dengan jalan berjuang. Sekali lagi, berjuang. Bukan dengan ratap tangis dan sedu sedan atau menunggu khayal penuh angan-angan. Tapi marilah kita teruskan perjuangan yang telah dirintis beliau, dengan satu keyakinan bahwa tiada perjuangan yang tiada menghasilkan buah.

Di tengah kabut duka yang menyungkup jiwa, di antara gema tangis haru yang belum mereda, ingin kami mengetuk hati bapak-bapak Presidium, bapak-bapak di badan wakaf, bapak-bapak dekan dan dosen, serta segenap civitas academica di kampus ini, ingin kami bertanya “Adakah yang akan mampu menggantikan beliau, membina dan memperjuangkan UII ini dengan tanpa pamrih–kecuali ridho Allah semesta“.

Kami menyadari akan beratnya tugas tersebut. Tapi kami juga menyadari betapa mulianya pekerjaan tersebut.

Maka dalam suasana yang prihatin ini, mari kita sama-sama pikirkan siapakah kiranya yang akan dapat memimpin UII, dengan menggunakan akal yang sehat serta yang tulus terlepas dari cekaman emosi dan ambisi.

Dengan melalui tulisan ini kami juga ingin mengetuk hati seluruh civitas academica Universitas Islam Indonesia untuk dapat memberikan pensiunan beliau kepada keluarga yang ditinggalkan, sesuai dengan kemampuan universitas. Memang kami yakin bahwa beliau dan keluarganya tidaklah akan mengharapkan itu semua, tetapi kita sebagai manusia Muslim yang menjadikan akal dan perasaan sebagai neraca di dalam hidup, tentunya tidak akan menutup mata terhadap jasa-jasa beliau pada almamater. Dan bukanlah berarti bahwa pensiunan tersebut merupakan upah atas jasa-jasa beliau untuk UII. Tidak, sekali lagi tidak!

Semua itu hanyalah sekedar tanda terima kasih kita pada beliau, dan sebagai tanda bahwa kita adalah manusia-manusia yang mampu dan mau menghargai jasa orang lain.

Begitu juga kepada Bapak Menteri Pendidikan dan Menteri Agama, Bapak Presiden RI, kami menyarankan agar beliau diangkat sebagai tokoh pendidikan serta tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia, setelah mempertimbangkan jasa-jasa beliau terhadap kepentingan nusa dan bangsa.

Tiada ungkapan kata-kata yang dapat menyampaikan betapa dukanya hati ini atas kepergian beliau. Tiada satu persembahan yang dapat menyatakan betapa besarnya rasa terima kasih kita kepada beliau. Hanya sebuah doa di pekat malam menggema, memohon, dan mengharap kehadirat Ilahi. Semoga amal beliau dapat diterima sebagai amal yang makruf oleh Allah SWT. Begitu pula keluarga yang ditinggalkan agar diberi kekuatan lahir dan batin. Amien.

Jenazah Almarhum Prof. KH. A. Kahar Muzakkir diusung keluar Masjid Agung Kotagede. Dalam gambar di atas nampak dari massa yang mengantar jenazah Alm., ke Makam Buharen, Kotagede.

Penulis: MUHIBBAH/Parlindungan Hutasuhut

Pengalih media: HIMMAH/Lutfi Andrian dan Nadia Tisha Nathania Putri

Skip to content