Polemik Restitusi Versus Kompensasi untuk Pemenuhan Hak Korban Kekerasan Seksual

Himmah Online — Putusan kepada Herry Wirawan atas kasus pemerkosaan terhadap 13 santriwatinya menuai polemik. Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri (PN) Bandung Nomor 989/Pid.Sus/2021/PN Bdg, Herry diganjar pidana penjara seumur hidup serta membayar restitusi sebanyak Rp331.527.186 yang dibebankan ke negara melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA).

Putusan tersebut menjadi topik utama dalam diskusi yang diadakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang bertajuk “Restitusi vs Kompensasi Bagi Korban Kekerasan Seksual” melalui media telekonferensi Zoom pada Rabu (23/02).

Dalam acara tersebut, Staf Ahli Kementerian Hukum dan HAM, Dhahana Putra, menilai bahwa jika Herry tidak bisa membayarkan biaya restitusi, negara akan memenuhi hak korban atas restitusi yang tidak bisa dibayarkan tersebut.

“Apabila Herry tidak bisa membayar, apakah negara akan diam saja? Tentu saja tidak. Menurut saya, kita harus mengembalikan hal tersebut pada hukum positif kita. Walaupun Herry Wirawan adalah pelaku tindakan tersebut (pemerkosaan), terlebih korbannya merupakan 13 orang anak di bawah umur, apakah negara akan membiarkannya saja?” ujarnya.

Senada dengan Dhahana, Harkristuti Harkrisnowo selaku anggota tim penyusun UU 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, menuturkan alasan mengapa negara perlu membayar restitusi.

“Ini masalahnya bukan salah atau tidaknya negara, tetapi negara punya mandat untuk melindungi warganya. Hal ini juga mengacu pada dokumen PBB yang diadopsi pada 1985, yakni Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power,” ujarnya.

Harkristuti menjelaskan bahwa menurut dokumen tersebut, apabila pelaku tidak dapat memberikan ganti rugi, maka negara lah yang harus memberikan ganti rugi pada korban.

Sedang menurut Edwin Partogi Pasaribu, wakil ketua LPSK, pengalihan pembebanan restitusi kepada negara dirasa kurang tepat apabila menilik pengertian dari restitusi dan kompensasi itu sendiri. “Kita hanya perlu menempatkan sesuatu pada tempat yang tepat,” tuturnya.

Edwin merekomendasikan agar hakim mengubah diksi restitusi menjadi kompensasi pada sidang tingkat banding.

“Ganti rugi yang dilakukan oleh negara hanya memungkinkan apabila kita memakai diksi kompensasi dan bukan restitusi. Meskipun keduanya memiliki arti yang sama yakni ganti rugi,” tegasnya.

Menurut PP Nomor 35 Tahun 2020 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban, kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya.

Sementara itu, restitusi diartikan sebagai ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga.

Erasmus Abraham Todo Napitupulu, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), memaparkan laporan LPSK sepanjang 2020 tentang penilaian restitusi.

Hasilnya, LPSK menghitung adanya restitusi yang seharusnya diterima oleh para korban adalah sebanyak Rp7.909.659.387, namun restitusi yang diputuskan hakim sebesar Rp1.345.849.964, dan restitusi yang dibayar oleh pelaku hanya Rp101.714.000.

Erasmus beranggapan bahwa regulasi mengenai restitusi di Indonesia tidak konsisten. “Seharusnya restitusi diatur sebagaimana aturan mengenai ganti rugi. Restitusi adalah respon untuk kerugian korban dan bukan bagian dari pidana,” tegasnya.

Ia juga menjelaskan bahwa dalam peraturan negara, tidak ada satu pun pidana yang mengikutsertakan kerugian korban. Negara menganggap bahwa dengan adanya pidana yang dibebankan pada pelaku, maka korban sudah mendapat keadilannya.

Merujuk hal tersebut, Erasmus mendorong adanya pengadaan dana talangan untuk pemulihan kerugian korban dengan mekanisme Dana Bantuan Korban Tindak Pidana atau Victim Trust Fund (VTF). Mekanisme ini merupakan pengalokasian dana yang diterima negara dari penerimaan bukan pajak untuk pemberian ganti rugi pada korban tindak pidana.

“Kita bisa menyelesaikan masalah ini apabila kita duduk bersama, melihat data, dan berperspektif kepada korban,” ujarnya.

Adapun putusan Majelis Hakim PN Bandung yang membebankan biaya restitusi ke KP3A akan diajukan banding oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Barat (Kejati Jabar). Hal itu karena Kejati Jabar beranggapan perbuatan asusila yang dilakukan oleh Harry bukan kesalahan negara.

“Ini seolah-olah negara kemudian yang salah. Seolah-olah kemudian akan menciptakan bahwa ada pelaku-pelaku lain nanti kalau berbuat kejahatan, itu ada negara yang menanggung (ganti rugi korban),” tutur Asep Mulyana, Kepala Kejati Jabar pada Selasa (22/02) dikutip dari Republika.

Reporter: Qothrunnada Anindya Perwitasari

Editor: Pranoto

Skip to content