Get Back, Perspektif Tandingan Let It Be dalam Melihat The Beatles

Judul: The Beatles: Get Back (2021)

Genre: Dokumenter

Sutradara: Peter Jackson

Durasi: 468 menit

Stadion Candlestick Park, San Fransisco, Amerika Serikat jadi tempat terakhir The Beatles bermain musik di hadapan publik. Hal itu mereka lakukan pada Agustus 1966. Setelahnya, tidak ada lagi jeritan para Beatlemania yang membuat The Beatles kesulitan mendengar musik yang mereka sendiri mainkan.

Studio rekaman menjadi suaka sekaligus ruang kreativitas yang tidak pernah mereka peroleh saat bermain di hadapan publik. Bagi The Beatles, studio rekaman tidak hanya tempat merekam lagu. Namun instrumen musik selain instrumen konvensional seperti gitar, bas, drum, piano, dan sebagainya.

Rubber Soul (1965), Revolver (1966), Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band (1967), dan Magical Mystery Tour (1967) adalah jejak-jejak artistik The Beatles di masa hiatus dari penampilan publik. Tiga tahun setelah konser di Candlestick Park, The Beatles bersepakat untuk kembali ke akar musik mereka: Rock and roll dengan dua gitar, satu bass, dan drum.

Untuk itu, mereka menetapkan syarat yang cukup berat: Mereka membawakan lagu-lagu baru sekaligus merekamnya. Hal ini berat bagi The Beatles karena mereka tidak memiliki stok lagu baru.

Proses penciptaan lagu baru dan latihannya akan direkam. Proses tersebut kemudian akan ditayangkan sebagai program televisi khusus. Termasuk penampilan publik pertama mereka setelah tiga tahun absen manggung. Lagu-lagu baru ini direkam dalam satu album, yang saat itu akan dinamai Get Back.

Program televisi itu gagal. Tetapi satu film panjang dibuat untuk ditayangkan di teater-teater. Film tersebut berjudul Let It Be (1970).

Let It Be—disutradarai oleh Michael Lindsay-Hogg—bukan film menyenangkan. Film itu menampilkan The Beatles dalam kondisi terburuknya. Pertama-tama, proses latihan dilaksanakan di studio film bernama Twickenham. Proses tersebut berlangsung di bulan Januari yang begitu menggigil.

Jadwal rekaman juga berubah 180 derajat. Sebelumnya mereka terbiasa untuk merekam lagu dari siang hingga dini hari. Di Twickenham, mereka harus hadir di pagi hari. The Beatles merasa mereka seperti pekerja kantoran.

Kondisi buruk tersebut bertemu dengan situasi psikologis personel The Beatles yang tidak mendukung suasana latihan kondusif. Paul McCartney (pemain bass) menjadi figur yang dominan, dan George Harrison (gitaris utama) membenci perilaku Paul yang bossy ini.

George, yang sebelumnya bermain dengan Bob Dylan dan merasakan ruang kreativitas yang lebar, merasa semakin tidak bahagia dengan perannya yang terjepit di antara dua raksasa: Paul dan John Lennon (gitar pengiring). John sendiri sibuk dengan pasangannya, Yoko Ono.

Ringo Starr (pemain drum) bersembunyi di balik instrumennya sembari menjaga sikap. Ringo adalah aktor—ia tampak menyadari kehadiran kamera-kamera yang merekam tiap gerakannya. Tetapi, jadwal Twickenham pendek yang hanya sekitar sebulan adalah karena Ringo. Ia akan membintangi film bersama Peter Seller di studio yang sama di bulan berikutnya.

Let It Be adalah film suram dan menangkap sisi terburuk dari hubungan antar personel The Beatles yang tidak harmonis. Ia adalah momok bagi anggota The Beatles hingga hari ini. “Just let it be,” begitu respons Ringo dan Paul jika ditanya wartawan tentang rilis ulang film tersebut.

Alih-alih merilis ulang film tersebut, Ringo dan Paul menghubungi Peter Jackson, sutradara The Lord of The Ring, untuk membuat versi berbeda dengan rekaman video selama enam puluh jam dan rekaman audio sepanjang 150 jam. The Beatles: Get Back adalah hasilnya.

Get Back, ditayangkan di kanal Disney+, adalah film tiga episode berdurasi 468 menit—bandingkan dengan Let It Be yang “hanya” berdurasi 80 menit. Ia menampilkan kegiatan The Beatles berikut dinamika antar anggota dari hari ke hari selama 21 hari. Film diakhiri dengan konser sepanjang 42 menit di atap gedung Apple Corp di Savile Row, London.

Get Back adalah film tentang membuat film. Tentang apa yang sebenarnya berlangsung saat kamera-kamera mengintai tindak-tanduk setiap orang di Twickenham dan studio Apple. Let It Be dan Get Back adalah Cinéma Vérité dalam bentuknya yang sejati.

Dalam kedua film tersebut, kita diperlihatkan perselisihan yang terjadi antara George dan Paul mengenai solo gitar untuk lagu Two of Us, yang tidak berkenan bagi Paul. Atau keengganan diam-diam Paul dan John untuk benar-benar berlatih untuk lagu-lagu George, seperti All Things Must Pass.

Atau berkaitan dengan mitos urban tentang Yoko sebagai salah satu faktor utama penyebab bubarnya band dari Liverpool, Inggris ini. Yoko kerap campur tangan dalam proses latihan dan rekaman The Beatles. Let It Be adalah salah satu alasan yang menebalkan persepsi tersebut.

Tetapi, tayangan-tayangan dalam Get Back sedikitnya memberikan keraguan atas persepsi tersebut. Jika ada campur tangan Yoko dalam proses rekaman The Beatles, maka itu terjadi dalam proses rekaman The Beatles yang lain.

Faktor pemikat dari Let It Be dan Get Back adalah penampilan publik pertama—setelah tiga tahun tidak bermain musik di hadapan publik—dan terakhir dari The Beatles di atap gedung Apple Corp. The Beatles membawakan lagu-lagu baru yang belum pernah dimainkan di depan publik dalam bentuk apa pun. Seperti Get Back, Don’t Let Me Down, One After 909, Dig A Pony, I’ve Got A Feeling, dan lainnya.

Penampilan itu ikonik dalam budaya populer Barat. Begitu ikoniknya sehingga U2 dan Padi menirunya. U2 melakukannya dalam videoklip Where The Streets Have No Name—sebagai bentuk penghargaan. Padi melakukannya di atas McDonald Sarinah, Jakarta—tidak tahu untuk apa.

Get Back tentunya menawarkan banyak hal, mengingat durasinya yang lebih panjang. Paling tidak, ia memberikan perspektif-perspektif berbeda dan lebih utuh. Ini berbeda dengan Let It Be yang perspektifnya cenderung menggantung dan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan.

Dalam Get Back, kita bisa memahami mengapa George tidak suka didikte oleh Paul. Kita bisa juga melihat ekspresi wajah George yang kecewa lagu-lagunya ditanggapi secara dingin oleh John dan Paul.

Merasa sebal dan tidak dihargai, George memutuskan untuk tidak lagi bermain dengan The Beatles. “See you around the clubs,” kata George dengan santai. Karenanya, rapat antara John dan Paul di kantin Apple Corp—yang berlangsung cukup panas—diadakan. Hal-hal seperti ini yang tidak masuk ke dalam Let It Be.

Meskipun keberatan-keberatan dari George dan John tentang betapa dominannya peran Paul dalam The Beatles, Get Back memberikan gambaran kenapa Paul harus mengambil alih kendali atas The Beatles yang semakin tidak jelas arah mana yang harus mereka ambil.

John sebagai pemimpin de facto, lebih senang menghabiskan waktu dengan Yoko. Ia bahkan tidak punya stok lagu yang bisa diberikan kepada teman-temannya. Lebih jauh lagi, John saat itu adalah pengguna heroin.

Get Back juga memberikan indikasi betapa berkuasanya The Beatles: Ia bisa memutuskan televisi mana untuk menayangkan programnya. Atau di mana dan bagaimana mereka akan melakukan pertunjukan langsung.

Atau bagaimana mereka bisa membuat produser sebesar Glyn Johns (pernah menangani Rolling Stones, The Who, dan lainnya) hanya mengiyakan apa yang mereka mau. Atau mengabaikannya saat Glyn secara halus dan sopan mengingatkan John betapa berbahayanya merekrut Allan Klein sebagai pengganti manajer mereka yang telah tiada, Brian Epstein.

Perhatikan pula bagaimana mereka memperlakukan George Martin, produser mereka dari album pertama, Please, Please Me hingga album sebelum latihan di Twickenham dan studio Apple Corp, The Beatles (White Album).

Martin bisa disebut sebagai anggota Beatle kelima (fifth Beatle)—istilah yang digunakan untuk anggota The Beatles—atas perannya untuk The Beatles. Tetapi, dalam Get Back, kita bisa melihat betapa menganggur dirinya dan berapa luang waktunya hingga ia membaca koran di studio sembari berbaring di atas lantai.

Sebaliknya, kita juga menjadi saksi bahwa bibit-bibit perpecahan itu memang telah ada dan itu berdampak pada bagaimana mereka memainkan musik: Permainan musik yang kurang semarak dan kurang hidup, banyak lagu non-The Beatles dimainkan, jam session yang berkepanjangan, ide macet, dan lainnya.

Masuknya Billie Preston (keyboard) mengubah mood musik mereka. “Kau membuat musik kami hidup kembali,” puji John. 

Pada akhirnya, The Beatles: Get Back dan Let It Be menawarkan sudut pandang yang saling melengkapi atas satu realitas yang berlangsung saat proses rekaman dan latihan untuk album Get Back

Perbedaannya adalah Lindsay-Hogg berusaha menampilkan sudut pandang yang lebih realistik, ia mengungkapkan seperti apa kondisi The Beatles saat itu. Lindsay-Hogg tidak mau realitas yang dilihatnya tenggelam dalam kegembiraan-kegembiraan yang saat ini ditampilkan The Beatles: Get Back. Ia tidak salah, karena The Beatles bubar setahun kemudian.

The Beatles: Get Back menampilkan apa yang tidak ditampilkan Lindsay-Hogg. Dalam ketegangan hubungan mereka, The Beatles masih menjadi sahabat bagi satu sama lain, seperti saat mereka remaja di Liverpool dulu. Mereka masih gokil, mereka saling bercanda, tertawa, menyindir, hingga berbahasa slang ala Liverpool.

Mungkin Paul, Ringo, dan Yoko di masa senja mereka ingin memberikan perspektif tandingan untuk menutup wasiat The Beatles. Sesuatu yang mengingatkan mereka dan penggemar mereka bahwa di saat hubungan mereka yang genting dan terasing satu sama lain, mereka masih memiliki kebahagiaan dan keceriaan. 

Pengingat penting lain dari wasiat ini juga adalah penampilan terakhir di atap gedung Apple Corp: The Beatles pertama-tama adalah band rock and roll yang memainkan musik secara langsung.

Jauh sebelum menyebabkan badai Beatlemania, tren psikedelik, dan sihir bagi hati perempuan, The Beatles menghabiskan enam hingga tujuh jam semalam selama tujuh hari dalam seminggu untuk bermain rock and roll. Mereka adalah penakluk para pelaut yang liar, keras, kasar, dan sulit diatur di klub Kaiserkeller di Hamburg, Jerman.

Satu fakta yang tidak terbayangkan dari The Beatles.

Skip to content