PPLP-KP Terus Tumbuh dan Melawan: Syawalan dan Hari Lahir ke-17

Himmah Online, Yogyakarta – Anggota Paguyuban Petani Lahan Pesisir Kulon Progo (PPLP-KP) mengadakan Syawalan sekaligus memperingati hari lahir mereka yang ke-17 pada Minggu (07/05). Mulai dari orang tua hingga anak-anak, turut memeriahkan forum yang difungsikan untuk menyambung napas perjuangan mereka dalam menolak pertambangan pasir besi di kawasan pesisir pantai Kulon Progo.

Kegiatan tahunan ini berlangsung selama dua hari. Hari pertama digunakan untuk pengajian dan mujahadah. Mereka  membaca doa secara serentak, pada Sabtu malam (06/05). Besok paginya, tepat pukul 08.00 WIB, gunungan yang terdiri dari hasil bumi petani diarak mengelilingi desa menggunakan mobil bak terbuka.

Bertajuk “Terus Tumbuh dan Melawan”, kegiatan ini menyedot banyak perhatian warga setelah dua tahun dilakukan secara internal akibat dampak Covid-19. Dalam kegiatan ini, juga turut dihadiri oleh masing-masing perwakilan dari aktivis Bandung, Tumpang Pitu Banyuwangi, petani Pakel, dan petani Wadas.

PPLP-KP Bermula

Wiwit adeg ipun, PPLP sampun nggadahi sedya, nolak tambang pasir besi (sejak berdirinya, PPLP sudah mempunyai niat, menolak tambang pasir besi),” gelegar orasi Supriyadi, koordinator PPLP-KP dalam membuka acara ini.

PPLP-KP telah ada sejak 2006. Awal mula berdirinya diinisiasi sejak adanya isu pertambangan pasir oleh PT. Jogja Magasa Iron, sebuah perusahaan pemegang kontrak penambangan pasir besi di kawasan pesisir pantai Kulon Progo. Beberapa kelompok berkumpul dan bersatu membentuk sebuah organisasi yang dinamakan PPLP-KP. 

“Waktu itu kita dari sekian banyak kelompok tani yang ada di wilayah pesisir bersatu untuk membentuk organisasi, yaitu PPLP-KP yang hari ini kita peringati yang ke-17 tahun itu untuk melakukan rencana penolakan tambang besi, pasir besi itu,” tegas Didi, salah satu anggota PPLP-KP.

Menurut penuturan Supriyadi (58), selain sebagai wadah untuk menyatukan suara penolakan tambang pasir besi, sebagai fungsi awal, PPLP-KP juga membantu petani dalam mengatasi permasalahan yang mereka hadapi, seperti kelangkaan pupuk, harga jatuh, dan sebagainya. Kegiatan utamanya adalah untuk melindungi dan mengamankan keberlangsungan hidup para petani lahan pesisir.

“Tapi yang menjadi persoalan yang menyusul itu kan justru persoalan lahan,” ujar Supriyadi.

Lima Poin Perjanjian

Parno (53), salah satu juru bicara PPLP-KP, mengungkap adanya perjanjian yang dikeluarkan oleh PT. Jogja Magasa Iron (JMI). Ia menuturkan ada lima poin perjanjian yang dilakukan oleh JMI kepada masyarakat.

“Pasal pertama, mengakui tanah PA (Pakualaman). Kalau masyarakat tidak mengakui tanah PA, itu tidak mungkin PA bisa mensertifikat tanah tersebut. Pasal dua, surat rahasia dalam dua tahun dari 2013. Pasal tiga, ikut mengamankan lokasi yang telah dikompensasi dan sekarang dalam beteng. Pasal empat, biaya administrasi ditanggung oleh JMI. Yang bahaya pasal lima ini. Pasal lima, ini isinya bila petani tidak punya bukti hak garap, uang akan diminta kembali oleh JMI,” tutur Parno.

Parno menilai akan ada “tukar guling” yang disebabkan tidak adanya bukti hak garap. Warga yang tidak memiliki bukti hak garap dan tidak memiliki tanah selain di pesisir diharuskan mengembalikan uang kompensasi dari JMI. Jika uang itu tidak mencukupi akan diadakan appraisal (penilaian) pada rumah petani tersebut dan petani akan kehilangan rumahnya. 
“Bila kurang, ya, bagaimana menutupi. Bila lebih, ya, akan dikembalikan pada yang punya rumah tersebut,” ujar Parno.

Surat Keramat PPLP-KP

Puncak acara diisi dengan pembacaan press release dengan judul “Surat Keramat PPLP-KP Terus Tumbuh dan Melawan”. Dalam surat tersebut, PPLP-KP menegaskan sikapnya dalam enam poin.

Pertama, menolak rencana tambang pasir besi di pesisir Kulon Progo. Kedua, menolak Sultan Ground/Paku Alaman Ground (SG/PAG) dan segala rencana sertifikasi dan pendataan tanah pesisir Kulon Progo oleh Kesultanan dan Pakualaman. Ketiga, menolak perampasan ruang hidup dalam bentuk apapun di Indonesia. Keempat, hentikan tindakan kriminalisasi warga yang berjuang mempertahankan ruang hidup. Kelima, bebaskan para petani yang dipenjarakan dengan secara tidak adil. Keenam, menolak undang-undang minerba dan undang-undang cipta kerja.

Sultan Wis Ngendika

Berbagai inovasi dilakukan oleh para petani lahan pesisir kulon progo. Salah satunya adalah dengan uji coba penanaman cabai dengan jenis bibit LABA F1 keluaran Panah Merah. Usaha itu menuai hasil yang memuaskan–mereka panen besar. 

“Kita undang yang berkuasa di Yogyakarta, gubernur ngarso dalem HB (red–Hamengkubuwono) X, kita undang untuk panen raya,” ujar Supriyadi.

Saat itu, ada salah satu warga yang menyampaikan rasa khawatirnya atas adanya rencana pertambangan pasir besi yang akan mengenai lahan sawah mereka kepada Gubernur Yogyakarta.

“Beliaunya ngendika (mengucapkan), ‘Woh… tidak bakalan ada. Tidak akan ada rencana penambangan pasir di Kulon Progo, itu enggak ada. Monggo lahan-lahan yang masih “tidur”, lahan-lahan yang masih belum digarap, silahkan digarap, dioptimalkan. Ke depan akan bisa mengangkat perekonomian masyarakat pesisir ini’,” tutur Supriyadi sambil mengingat ulang peristiwa tersebut.

Perkataan tersebut, menurut Supriyadi, yang menjadi landasan bagi petani lahan pesisir agar tetap menanam dan menggunakan lahan tersebut, untuk kegiatan produktifitas sehari-hari hingga hari ini.

“Di samping itu juga, sabda pandita ratu tan kena wola wali (perkataan raja tidak boleh berubah-ubah). Itu yang dipegang oleh masyarakat sampai saat ini. Makanya, ya, nyuwun sewu, yo wis nek beliaunya sudah ngendikan bedini, ya, masyarakat kan tentrem,” tandas Supriyadi.

Reporter: Himmah/Azzahra Firdausya Caesa Putri, Galuh Nugraheni Hana Pratiwi, Qothrunnada Anindya Perwitasari, R. Aria Chandra Prakosa

Editor: Jihan Nabilah

Skip to content