Himmah Online – Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap minoritas Uighur tak hanya dilatarbelakangi oleh perbedaan agama dan budaya saja. Ada sebuah kepentingan yang berkait dengan wilayah tempat tinggal mereka, yakni Xinjiang.
China memiliki suatu proyek perdagangan dan infrastruktur yang dikenal dengan Belt and Road Initiative (BRI). Proyek ini pertama kali diperkenalkan oleh Xi Jinping pada tahun 2013 di Kazakhstan, dengan istilah One Belt One Road (OBOR). Tujuannya untuk menghubungkan tiga benua (Asia, Afrika, dan Eropa) melalui jalur darat dan laut.
Sebenarnya, proyek besar ini terinspirasi dari konsep Silk Road (Jalur Sutra) yang dibangun oleh Dinasti Han China pada 206 SM hingga 220 M. Dan sejak itu, Xinjiang telah menjadi jalur utama perdagangan China, khususnya sutra.
Xinjiang dipilih karena berbatasan dengan delapan negara tetangga China: Afghanistan, India, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Mongolia, Pakistan, Rusia, dan Tajikistan.
Sejak zaman kuno, China terhubung dengan mitra globalnya melalui enam koridor ekonomi yang tiga di antaranya terletak di provinsi Xinjiang, yaitu (1) New Eurasian Land Bridge Economic Corridor (NELBEC) menghubungkan Xinjiang ke Rusia Barat dan kemudian ke Eropa; (2) China-Central Asia-West Asia Corridor (CCAWEC) menghubungkan Xinjiang ke Turki melalui Asia Tengah dan Barat; dan (3) China Pakistan Economic Corridor (CPEC) menghubungkan Xinjiang ke Laut Arab saat melewati Pakistan.
Letaknya yang sangat efisien ini kembali menjadikan Xinjiang sebagai sasaran jalur utama pada proyek BRI untuk menjangkau pasar Asia Tengah, Timur Tengah dan Eropa.
Pada tahun 2022, pemerintah China memberikan investasi infrastruktur transportasi kepada Xinjiang. Investasi tersebut mencapai 900 miliar yuan (135,09 miliar USD). Keseluruhan investasi aset tetap di Xinjiang mencapai 820 miliar yuan pada tahun 2021, dan terus meningkat 15 persen dari tahun ke tahun.
Namun, saat proyek tersebut berjalan, muncul kekhawatiran akan ketidakstabilan di Xinjiang. Uighur sangat berbeda dengan etnis Han-China. Mereka beragama Islam, bahasa dan budayanya seperti orang Asia Tengah. Perbedaan yang sangat signifikan ini, dianggap akan menghambat proses jalannya proyek BRI.
Partai Komunis China (PKC), khususnya para pemimpin di Beijing, mengkhawatirkan adanya keterkaitan antara Uighur dan gerakan transnasional Islam, yaitu gerakan Islam lintas negara seperti Al-Qaeda. Pasalnya, di tahun 2009, gerakan itu pernah meminta Uighur untuk melakukan jihad mengangkat senjata mereka demi melawan para penindas etnis Uighur.
Selanjutnya, pada tahun 2017, Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) merilis video seorang pejuang Uighur di Irak yang menyuarakan serangan ke China.
Keterlibatan gerakan-gerakan Islam tersebut dianggap berpotensi memengaruhi Uighur untuk melakukan kerusuhan, yang dapat menimbulkan gerakan separatis. Apabila hal ini terjadi, legitimasi PKC dan kehidupan para pemukim Han-China akan terancam, kemudian menghambat proyek-proyek besar China di Xinjiang, khususnya BRI.
Oleh sebab itu, pemerintah China menerapkan berbagai kebijakan kejam untuk mengawasi pergerakan Muslim Uighur, guna menjaga stabilitas politik dan keamanan internal di Xinjiang, sebagai jalur utama proyek BRI.
Kebijakan PKC untuk Uighur
Uighur mendeklarasikan kemerdekaan pada 1933 sebagai Republik Turkestan Timur. Tetapi kemerdekaannya berumur pendek. Negara itu kembali digulingkan pada 1934, setahun setelah merdeka. Dan secara resmi menjadi bagian dari Komunis China.
Sejak 1950-an, PKC menerapkan kebijakan hanifikasi, yaitu pemindahan penduduk Han (etnis mayoritas China) ke Xinjiang untuk melemahkan kedudukan Uighur di wilayah itu secara sosial-ekonomi dan politik. Han-China di wilayah itu, yang mulanya hanya 300.000 pada tahun 1953, meningkat menjadi 6 juta pada 1990.
Kemudian, terjadi hanifikasi besar-besaran kedua pada 1990-an. PKC menawarkan “Big Development of the Northwest“, sebuah program ekonomi insentif. Program tersebut mendorong Han-China miskin dari daerah terbelakang untuk pindah ke Xinjiang. Alhasil, Han-China mencapai 41 persen dari total populasi Xinjiang pada tahun 2020.
Pada September 2021, China pertama kali merilis buku putih mengenai dinamika populasi di Xinjiang. Buku berjudul Xinjiang Population Dynamics and Data tersebut menunjukkan bahwa populasi Uighur telah meningkat dari 3,61 juta pada tahun 1953 menjadi 11,62 juta pada tahun 2020.
Namun, data tersebut dianggap tak sesuai dengan fakta. Rian Thum, seorang sejarawan Islam di China, mengungkapkan bahwa data peningkatan pertumbuhan 2010 hingga 2020 mengabaikan penurunan populasi dari 2017 dan seterusnya. Data disajikan dalam satu blok, sehingga penurunan populasi Uighur 2017-2020 tertutupi oleh tingkat pertumbuhan Uighur yang tinggi pada 2010-2016.
Selain hanifikasi, China juga menerapkan Kebijakan Satu Anak (One Child Policy) untuk menipiskan populasi Uighur. Kemudian mempromosikan Putonghua (Tionghoa Mandarin) sejak 1978 di wilayah Xinjiang, agar Uighur tidak mengembangkan bahasanya.
Para imam diwajibkan menghadiri kamp pendidikan politik yang dijalankan oleh otoritas negara. Mereka dilatih memeluk Islam moderat, layaknya Muslim Hui, muslim minoritas teladan di China, yang mampu beradaptasi dengan budaya dan bahasa Han-China.
Puncak kebijakan ini terjadi saat PKC mendirikan re-education camp (kamp pendidikan ulang) di Xinjiang Uyghur Autonomous Region (XUAR) pada 2014.
PKC menahan puluhan ribu populasi Uighur ke kamp-kamp tersebut. Mereka dipaksa menghapus budaya dan agamanya. Ada pula yang harus menjadi buruh pabrik. Dengan begitu, mereka akan semakin loyal kepada PKC sehingga mengurangi risiko munculnya terorisme.
Beberapa dari mereka yang ditahan berhasil menyelamatkan diri, kemudian muncul ke publik untuk menyuarakan kekejaman PKC terhadap etnis mereka. Mengetahui hal tersebut, pemerintah China menolak segala tuduhan yang disuarakan oleh mantan tahanan kamp dan mengatakan pernyataan itu sebagai fitnah.
Pemerintah China berdalih, kebijakan yang dilakukan adalah sebagai upaya untuk membendung adanya gerakan yang ingin memisahkan diri dengan China.
Akibat Kekerasan Kebijakan PKC
Berbagai kebijakan PKC yang disertai kekerasan telah membuat Uighur merasa terpinggirkan, bahkan di tanah air mereka sendiri. Orang-orang Uighur menyatakan bahwa operasi kekerasan negara seringkali menargetkan etnis mereka yang tidak bersalah di wilayah tersebut.
Proses ini menciptakan ketidakpercayaan antara Uighur dan Han-China, sekaligus Uighur terhadap pemerintah. Akibatnya, muncul gerakan separatis Uighur.
Pada tahun 90-an, terdapat gerakan pemberontak yang ingin mendirikan kembali Turkistan Timur di Xinjiang. Mereka mengklaim pemberontakan itu sebagai produk kekerasan, penindasan, dan ketidakadilan PKC terhadap Uighur.
Salah satu kelompok tersebut adalah Eastern Turkistan Islamic Movement (ETIM). Pada 2002, organisasi ini dianggap sebagai organisasi teroris. Tetapi dihapuskan dari daftar tersebut oleh Amerika Serikat pada 2020. Lantaran tak ada bukti jika organisasi itu masih ada.
Lalu pada 2009, terjadi kerusuhan di ibu kota Xinjiang, Urumqi. Setelah kerusuhan itu, pemerintah China menganggap semua warga Uighur berpotensi menjadi teroris. Di tahun-tahun berikutnya, Uighur disalahkan oleh pihak berwenang atas berbagai serangan yang terjadi.
Sebenarnya kerusuhan tersebut bermula dari protes damai, namun menjadi kekerasan karena keluhan-keluhannya terabaikan. Ditambah lagi, PKC yang tampak tak ingin memberikan otonomi politik kepada Uighur.
Negara-negara mayoritas Muslim sudah seharusnya ikut serta memberikan solusi untuk memecahkan masalah Uighur. Ketidakadilan yang dirasakan Uighur akan terus berlanjut jika komunitas global terus saja diam.
Reporter: Himmah/Nurhayati
Editor: Himmah/R. Aria Chandra Prakosa