Himmah Online – Aksi International Women’s Day kembali digelar dengan tajuk “Mari Kak Kita Rebut Kembali!”. Sejumlah relawan memadati bundaran Universitas Gadjah Mada (UGM), jalan utama daerah Sendowo, Sinduadi, Yogyakarta mulai pukul 11 siang dengan membawa spanduk-spanduk orasi, pada Jumat (08/03).
Dalam aksi tersebut terdapat lima tuntutan umum dan 21 poin tuntutan khusus yang disuarakan. Salah satunya adalah solidaritas dengan setiap kelompok yang mengalami diskriminasi, stigma, represi, dan penjajahan. Mereka menuntut agar kriminalisasi terhadap perempuan dihentikan.
“Situasi perempuan saat ini belum setara loh, dengan gender yang lebih dominan, misalnya, kemudian hak-hak perempuan ini masih terepresi,” ujar DE, salah satu komite penyelenggara acara divisi hubungan masyarakat.
Aksi ini dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang adanya hari perempuan internasional. Sehingga, masyarakat lebih peka terhadap munculnya berbagai permasalahan yang dihadapi perempuan.
“Aksi tuntutannya bisa sampai ke masyarakat, negara. Sasaran yang kita inginkan begitu. Kemudian, bisa meningkatkan kesadaran di masyarakat,” ujar DE.
Tema yang disuarakan pada aksi ini dimaksudkan agar masyarakat dapat turut menyuarakan keresahan-keresahannya, terutama bagi mereka yang mengalami diskriminasi, stigma, represi, dan penjajahan.
Ia juga menambahkan, selama ini dampak yang timbul dari gerakan perjuangan perempuan masih minim. Masih banyak perempuan di berbagai daerah yang tak kunjung mendapatkan hak-haknya.
“Akan tetapi di tempat lain masih banyak perempuan yang tidak bisa baca tulis dan buta huruf,” ujar DE.
DE berharap, aksi International Women’s Day yang digelar setiap tahun selalu ada. Sehingga, para perempuan bisa menyerukan sesuatu yang menurut mereka pantas untuk diperjuangkan bersama.
“Ada loh harga yang perlu kita perjuangkan sama-sama,” ujar DE.
Selain itu, Albert (22), salah satu partisipan aksi, mengatakan tuntutan solidaritas ini sangat diharapkan bisa terwujud. Hal itu disebabkan oleh diskriminasi atas kesetaraan gender, yang membuat perempuan merasa dibedakan dalam beberapa aspek kehidupan.
Aspek yang paling tersorot adalah aktivitas di ruang lingkup akademik. Para perempuan banyak mengalami ketidaknyamanan ketika proses belajar mengajar.
“Terutama di UGM sendiri, ada celah-celah dalam beberapa hal, begitu, yang membuat teman-teman perempuan merasa tidak nyaman ketika belajar dan mengajar dalam lingkungan kampus,” ujar Albert.
Izhar (22), salah satu partisipan aksi, juga menyampaikan harapan serupa. Dengan adanya tuntutan solidaritas ini, perempuan bisa mendapatkan kenyamanan dan keamanan atas diskriminasi, stigma, resepsi, dan penjajahan yang mengganggu.
“Orang-orang mulai makin sadar juga terhadap perempuan dan bagaimana membuat suasana yang nyaman. Kita membangun (kondisi ini) step by step, gitu,” pungkas Izhar.
Reporter: Himmah/Tazkiyani Himatussoba, M. Fazil Habibi Ardiansyah, Agil Hafiz, Ayu Salma Zoraida Kalman
Editor: Abraham Kindi