Himmah Online – Dwifungsi TNI-Polri kembali ramai diperbincangkan pasca Presiden Republik Indonesia Joko Widodo mengesahkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Peraturan tersebut mencabut peraturan sebelumnya yang mengatur tentang jabatan ASN, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014.
Aksi Kamisan bertajuk “Jalan Mundur Demokrasi Pintu Masuk Dwifungsi TNI-Polri” kembali digelar di Tugu Yogyakarta, Kamis (21/03). Turut hadir Zainal Arifin Mochtar atau yang akrab disapa ‘Mas Uceng’, seorang pakar Hukum Tata Negara yang menjadi orator dalam Aksi Kamisan tersebut.
Zainal memaparkan bahwa TNI dan Polri harus dipisahkan dari jabatan sipil karena mereka adalah orang yang bersenjata, sehingga dengan lengannya yang bersenjata dapat menyalahgunakan kewenangan dalam ranah jabatan sipil.
“TNI dan Polri harus dibatasi dari jabatan sipil. Karena itu adalah jabatan sipil, tidak boleh dipegang oleh orang yang bersenjata,” jelas Zainal dalam orasinya.
Selain itu ia menilai masuknya TNI dan Polri ke dalam ranah jabatan sipil melalui UU ASN bukan merupakan hal yang baru. Setidaknya dua tahun ke belakang sudah banyak upaya untuk memasukkan TNI dan Polri ke jabatan sipil.
Maka, upaya yang dapat dilakukan adalah melawan. “Melawan dalam artian bisa ke MK, tapi yang kedua perlawanan yang dilakukan dengan menjaga teknisnya,” tutur Zainal.
Zainal menjelaskan awal mula Dwifungsi ABRI muncul ketika Indonesia baru merdeka. Saat nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing, negara belum memiliki orang yang ahli untuk mengurus aset-aset negara tersebut.
“Makanya kenapa kemudian, pada saat itu semua nasionalisasi diserahkan kepada militer. Itulah yang membuat kenapa jabatan militer merasa punya kewenangan dan andil, bahkan memformalkan dalam doktrin Dwifungsi ABRI/TNI.” jelas Zainal.
Pada tahun 1999 ketika masa awal reformasi, militer mulai dipisahkan dari jabatan sipil. Menurut Zainal, Indonesia termasuk negara yang cukup berhasil meredam Dwifungsi ABRI/TNI.
“Sebenarnya 1999 sampai 2004, kita termasuk negara yang cukup berhasil meredam dwifungsi ABRI/TNI. Sayangnya, terdapat sebuah disertasi yang ditulis oleh Jackwin Beker, judulnya The Rise of Polri. Dia mengatakan, salah satunya adalah Indonesia berhasil meredam ABRI/TNI, tapi ternyata melahirkan Dwifungsi Polri,” jelas Zainal
Namun di sisi lain, upaya meredam Dwifungsi ABRI/TNI justru melahirkan Dwifungsi Polri. Hal itu disebut oleh Zainal berdasarkan pada disertasi Jacqueline Beker yang berjudul “The Rise of Polri“.
Pasca polisi dipisahkan dari TNI pada awal reformasi, peran Polri dalam struktur pemerintahan dan lembaga nonpemerintah semakin menguat.
Polisi memiliki banyak peran untuk ikut mengurus lembaga lain yang tidak memiliki keterkaitan urusan dengan kepolisian, seperti Badan Urusan Logistik (Bulog), kementerian, lembaga atau badan nonpemerintah, hingga kedutaan besar.
Zainal mengungkapkan terdapat kecemburuan dari TNI terhadap Polri, “Karena kemudian seakan-akan ABRI/TNI dibatasi, tapi Polri diberikan ruang yang lebih lebar. Itu yang membuat kenapa mereka mendorong untuk masuk dan akhirnya sekarang terbuka kesempatan itu. Walaupun secara sederhana di UU ASN revisi yang kemarin,” jelas Zainal.
Menurut Zainal jika TNI dan Polri ingin masuk ke jabatan sipil negara, mereka harus lepas senjata dan lepas jabatan di instansi TNI maupun Polri, “Karena senjata melekat sama dia. Kenapa TNI dilarang masuk ke sipil, karena doktrinnya beda, dia bersenjata dan sangat mudah menggunakan senjata. Maka dibuat dahulu (aturan pelaksanaanya), lucuti senjatanya baru kemudian silahkan,” jelas Zainal.
Maka jika dilihat konteksnya adalah UU ASN yang memperbolehkan TNI dan Polri untuk dapat masuk ke jabatan sipil negara, pengawalan terhadap peraturan pelaksananya harus lebih dikuatkan.
“Oke, silahkan masuk tapi harus ada seleksi yang ketat. Sekurang-kurangnya itu yang harus dijaga,” pungkas Zainal.
Reporter: Himmah/Ibrahim, Nurhayati, Abraham Kindi, R. Aria Chandra Prakosa
Editor: Ayu Salma Zoraida Kalman