Himmah Online, Yogyakarta – Ketua paguyuban Pedagang Kaki Lima (PKL) Malioboro, Supriyati, menyampaikan bahwa dari jajak pendapat pada para PKL Malioboro, sebanyak 711 dari 1014 pedagang mengalami penurunan omzet secara drastis setelah relokasi. Hasil jajak pendapat ini sudah dilaporkan pada pemerintah, tapi tidak segera digubris.
“Selama setahun kemarin kami sudah menjalani di Teras Malioboro 2. Terus terang, kami merasakan keprihatinan karena di sana kami mengalami penurunan omzet yang anjlok,” terang Upi dalam diskusi publik bertajuk “Bahagia di Tanah Istimewa? Potret Kemiskinan dan Penyingkiran Rakyat di Yogyakarta” yang diadakan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta pada Selasa (07/02).
Keprihatinan Upi berlanjut pada kondisi Teras Malioboro 2 yang dirasa panas dan bocor tiap hujan turun. Hal ini membuat pengunjung enggan masuk ke Teras Malioboro 2. Selain itu, pedagang yang memiliki lapak di daerah belakang pun tidak bisa terjangkau oleh pengunjung karena posisinya yang tidak strategis.
Perwakilan LBH Yogyakarta, Raka Ramadhan (25), menyebutkan bahwa surat edaran mengenai relokasi yang dikeluarkan oleh pemerintah memiliki kejanggalan.
“Pada saat dikeluarkan, surat edaran tersebut tidak memiliki payung hukum yang kuat di atasnya. Surat edaran yang diterbitkan per 1 Februari itu terdapat kesalahan. Pertama, eksekusi surat edaran tersebut dilaksanakan pada saat hari libur. Kedua, surat edaran yang diterima oleh para pedagang tertanggal 31 Februari 2022, dari mana kita dapat tanggal tersebut?” paparnya.
Ketika surat edaran telah diterbitkan dan relokasi mulai dilakukan oleh aparat, para pedagang mencoba melakukan dialog kepada DPRD Kota dan Pemerintah Kota. Namun, bukannya aspirasi PKL yang didengar, pemerintah malah mencabut Peraturan Walikota (Perwali) Kota Yogyakarta Nomor 37 Tahun 2010, yang merupakan legalitas bagi PKL Malioboro untuk dapat berdagang di sepanjang Jalan Malioboro, melalui Perwali Kota Yogyakarta Nomor 13 Tahun 2022.
“Jadi kalau dari konteks hukumnya, legalitasnya dicabut kemudian diterbitkan alas hak untuk menggusur mereka. Sementara yang menjadi masalah, sudah sejauh mana pemerintah mengajak dialog PKL untuk mencari solusi terbaik,” ujar Raka.
Selain PKL, dampak kebijakan relokasi ini juga berimplikasi pada pendorong gerobak sebagai mitra PKL Malioboro. Pemerintah memberi mereka pekerjaan sebagai petugas kebersihan di sepanjang Jalan Mangkubumi dan Jalan Malioboro. Para pendorong gerobak ini baru mendapatkan pekerjaan kembali setelah empat bulan dilakukannya relokasi.
“Tanggung jawab pemerintah tidak hanya sekadar mencarikan tempat yang baru, namun juga harus dilihat dan diukur besar penghasilannya antara tempat lama dan tempat baru. Ketika dipindahkan, minimal pendapatannya harus sama atau bahkan lebih baik dari tempat sebelumnya,” tutur Raka.
Reporter: Ibrahim, Zalsa Satyo Putri Utomo
Editor: Qothrunnada Anindya Perwitasari