Sejarah Pepera: Menilik Demokrasi Indonesia atas Kemerdekaan Rakyat Papua Barat

Himmah Online — Perbincangan dan konflik terkait masyarakat Irian yang menginginkan kedaulatan dan terlepas dari Indonesia sebenarnya berawal dari liku peristiwa pembebasan Irian Barat pada tahun 1963 silam.

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 mengenai Otonomi Khusus bagi Provinsi Irian menjadi respon dari pemerintah Indonesia terkait isu beberapa masyarakat Irian yang menginginkan Irian berdaulat, yang kemudian membuat keinginan mereka semakin menggema.

Sejak Perjanjian New York resmi disepakati kedua belah pihak dengan persyaratan diselenggarakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) sebelum akhir tahun 1969, Irian resmi bergabung dengan Indonesia setelah sebelumnya berada di bawah Kerajaan Belanda.

Selain diperingati sebagai Hari Buruh, 1 Mei juga bertepatan dengan Hari Pembebasan Irian Barat sejak 58 tahun silam Irian Barat resmi menjadi bagian dari Indonesia yang diusahakan selama kurang lebih 20 tahun untuk membebaskan Irian Barat.

Proses pembebasan Irian Barat menurut Guide Arsip Perjuangan Pembebasan Irian Barat Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), berlangsung dari tahun 1949 hingga tahun 1969. Selama itu pula, begitu banyak liku dan konflik yang dihadapi masyarakat Irian dan juga Indonesia untuk membebaskan Irian Barat dari Kerajaan Belanda.

Ketegangan antara kedua negara dalam memperebutkan Irian Barat yang berlangsung cukup lama pada akhirnya menarik perhatian Amerika Serikat yang saat itu juga sedang perang antara Blok Barat (Amerika Serikat) dengan Blok Timur (Uni Soviet).

Presiden Amerika Serikat saat itu, John F. Kennedy melalui perwakilannya yakni Ellsworth Bunker mengusulkan kepada Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) untuk diadakan pertemuan damai antara Indonesia dengan Belanda dalam rangka merundingkan sengketa Irian Barat, yang kemudian mendapat sebutan sebagai Rencana Bunker.

Menurut penjelasan Rycho Korwa dalam jurnalnya yakni Proses Integrasi Irian Barat ke Dalam NKRI, Belanda mendapat tekanan dari Amerika Serikat sehingga mau menerima usulan Ellsworth Bunker. Kemudian usulan tersebut akhirnya disepakati kedua belah pihak pada 18 Juli 1962.

Meski begitu, Belanda saat itu pun memberi persyaratan sebelum menyetujui usulan Ellsworth Bunker, yakni hak-hak dan jaminan bagi rakyat Irian Barat harus diperhatikan.

New York yang merupakan markas besar PBB saat itu menjadi lokasi diadakannya perjanjian antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Belanda. Tepatnya pada 15 Agustus 1962, perjanjian telah ditandatangani oleh kedua negara yang disaksikan oleh U Thant selaku Sekretaris Jenderal PBB. Perjanjian ini dikenal dengan sebutan Perjanjian New York atau New York Agreement.

Perjanjian New York memuat kesepakatan bahwa Belanda akan menyerahkan kekuasaan atas Irian Barat kepada sebuah badan pemerintahan selama masa peralihan pada 1 Oktober 1962 yakni United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA).

Kemudian UNTEA harus menyerahkan kekuasaan atas Irian Barat kepada Indonesia pada 1 Mei 1963, namun dengan ketentuan bahwa Indonesia sebelum akhir tahun 1969 harus sudah melaksanakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) atau Act of Free Choice di bawah pengawasan PBB untuk rakyat Irian.

Pepera dijadikan salah satu syarat supaya rakyat Irian Barat atau rakyat Papua berkesempatan untuk menentukan nasib mereka sendiri, jika mereka ingin bergabung dengan Indonesia atau berdiri sendiri menjadi suatu negara yang berdaulat.

Setelah Perjanjian New York, pembebasan Irian Barat lalu memasuki fase konsolidasi. Ini merupakan upaya Indonesia untuk menguatkan pengaruh dan posisinya di Irian Barat demi menghadapi Pepera.

Pepera yang terlaksana di seluruh bagian Provinsi Irian dan tidak hanya di Irian Barat, dimulai dari Kabupaten Merauke pada 14 Juli 1969 hingga 2 Agustus 1969 di Kota Jayapura.

Pepera berlangsung pada 8 kota di Provinsi Irian yaitu Kabupaten Merauke, Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Panial, Kabupaten Fakfak, Kabupaten Sorong, Kabupaten Manokwari, Kabupaten Teluk Cendrawasih, dan di Kota Jayapura.

Pelaksanaan Pepera di tahun 1969 dihadiri duta besar Bolivia sebagai utusan PBB yakni Fernando Ortiz-Sanz yang ditunjuk oleh Sekretaris Jenderal PBB untuk menyelenggarakan tugas pelaksanaan Pepera di Irian.

Menurut penjelasan Rycho Korwa dalam jurnalnya, Dewan Musyawarah Pepera (DMP) sebagai perwakilan yang dipilih dan diutus oleh pemerintah Indonesia dalam menentukan nasib rakyat Irian pada saat itu berjumlah 1.025 orang dari total jumlah penduduk Irian pada saat itu yang kurang lebih mencapai 815.906 jiwa.

Hasil akhir Pepera melalui DMP saat itu secara lisan menyatakan setuju terhadap usulan untuk bergabung dengan Indonesia tanpa melalui pemungutan suara atau disebut juga dengan cara aklamasi.

Akan tetapi, selama proses Pepera berlangsung saat itu, timbul pula aksi demonstrasi. Begitu juga saat sikap perwakilan rakyat Irian sudah diambil untuk menyetujui usulan untuk bergabung dengan Indonesia.

Aksi demonstrasi saat itu dipimpin oleh beberapa tokoh pejuang Irian. Salah satunya seperti Herman Wayoi, yang sempat dipenjara selama sembilan bulan karena tuntutannya terkait “satu orang satu suara” dalam Penentuan Pendapat Rakyat pada 1969, seperti dilansir pada portal berita Jubi.

Di antara banyak tuntutan terkait Pepera salah satunya jika dikutip dari jurnal Rycho Korwa memang mengenai prinsip pengambilan suara yang tidak berdasarkan satu orang satu suara, yakni setiap orang memberikan suaranya. Nyatanya, Pepera saat itu menggunakan prinsip perwakilan atau utusan yang berdasarkan musyawarah mufakat.

Selain itu, dalam tuntutannya, sebagian rakyat Irian saat itu juga menyatakan pendapat mereka terkait Pepera yang diatur di dalam Perjanjian New York, di mana menurut mereka keputusan tersebut merupakan keputusan yang sewenang-wenang.

Menurut mereka, Indonesia sebagai negara yang memiliki permasalahan dengan Belanda terkait status dan masa depan rakyat Irian tidak sepatutnya menjadi penyelenggara Pepera itu sendiri, melainkan acara tersebut seharusnya diselenggarakan oleh pihak ketiga yang netral dan sebagai penengah.

Meski begitu, hasil dari Pepera kemudian tetap dibawa ke New York untuk dilaporkan di dalam Sidang Umum PBB ke-24. Kemudian, pada 19 November 1969 seluruh hasil dari Pepera pun diterima dalam Sidang Umum PBB.

Sumber referensi:

  1. Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). (2016). Guide Arsip Perjuangan Pembebasan Irian Barat 1949-1969. Jakarta: Direktorat Pengolahan Arsip Nasional Republik Indonesia.
  2. Jubi, Dominggus Mampioper. (2020). Herman Wayoi, Wakil Ketua DPR GR Irian Barat, pimpin demo Pepera 1969. Diakses pada 28 April 2021.
  3. Korwa, Rycho. (2005). Proses integrasi Irian Barat ke dalam NKRI. Jurnal Politika: Pencerahan Politik untuk Demokrasi, 1(2), 1-9.

Editor: Muhammad Prasetyo

Skip to content