Himmah Online, Yogyakarta – Masifnya kritikan dan penolakan tentang RUU Cipta Kerja melatarbelakangi diskusi publik berjudul “Omnibus Law Cipta Kerja; Dari Cilaka Menjadi Petaka”.
Diskusi ini dimotori oleh Dewan Pemimpin Daerah Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta – Asean Trade Union Council (DPD K. SPSI DIY – ATUC).
Diskusi berlangsung pada Kamis, 27 Februari 2020 di Ruang Paripurna Gedung DPRD DIY, Jalan Malioboro, Sosromenduran Gedongtengen, Yogyakarta.
Prata Jatmiko selaku ketua penyelenggara diskusi publik tersebut mengungkapkan tujuan diskusi ini untuk menilik lebih dalam regulasi yang berat sebelah karena akan membawa konsekuensi berat bagi buruh.
“Di sini kami, secara tegas tidak menolak investasi masuk ke Indonesia. Yang kami tolak adalah diskriminasi, regulasi yang menurut kami akan mengurai hak-hak kami selaku pekerja,” jelas Prata.
Menanggapi RUU Cipta Lapangan Kerja, Ari Hermawan, pembicara dari salah satu pakar ketenagakerjaan UGM, berpendapat akan lebih tepat dinamai RUU Investasi karena konsiderasi lebih berpihak kepada investor.
“Tiga tugas negara (red- seharusnya) adalah yang pertama penyatuan keragaman masyarakat, selanjutnya industrialisasi sebagai perkembangan ekonomi, dan yang terakhir adalah kesejahteraan; meminimalkan dampak dari industrialisasi, “ tambah Ari.
Ari lanjut menjelaskan investor yang berinvestasi biasanya menyukai dua hal, yaitu keamanan dan kenyamanan. Salah satunya berbentuk regulasi.
Sehingga menurut Ari akibatnya jika dalam Industrialisasi negara memihak pada investor, maka kesejahteraan buruh hanya tertuang dalam angan dan mimpi. Analogi sederhananya, buruh sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Menurut Ari, alasan RUU Cipta Kerja mendapat penolakan adalah karena adanya pasal-pasal yang bermasalah dan tidak berpihak kepada serikat pekerja/buruh.
Pasal-pasal tersebut dapat dilihat dalam pasal perizinan tenaga kerja asing yang dipermudah, penghapusan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK), dan menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) menggunakan UMK terendah di provinsi terkait.
Tak luput juga menurutnya, pada sistem pasar tenaga kerja fleksibel (Labour Market Flexibility). Sistem tersebut memungkinkan akan adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sebelah pihak.
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dapat mengakibatkan nasib pekerja alih daya menjadi tak menentu atau outsourcing.
Hingga jam kerja yang dinilai tidak manusiawi, lebih dari 8 jam kerja sehari serta jam lembur lebih dari 3 jam per hari.
Dalam perspektif gender, Budi Wahyuni, pendiri Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan yang juga menjadi salah satu pembicara, kemudian mengemukakan RUU Cipta Kerja bukanlah emansipasi, melainkan eksploitasi terhadap wanita.
“Perusahaan seharusnya memberi fasilitas kesehatan di saat pekerja/buruh wanita yang hamil membutuhkan istirahat,” lanjutnya.
Pemerintah Daerah Tegas Menolak dan Kurang Tahu Selama Proses RUU Cipta Kerja
Dalam lanjutan diskusi, Kirnadi, selaku pembicara dari Sekjen Asosiasi Buruh Yogyakarta dan Ketua DPD Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia DIY, menyampaikan draf RUU Cipta Kerja menjadi pukulan telak bagi serikat pekerja/buruh jika disahkan menjadi undang-undang.
“Rancangan undang-undang ini tidak semata-mata menjadi sebuah petaka bagi temen-temen buruh di pabrik, tetapi ini juga akan menjadi ancaman nyata bagi temen-temen yang dia akan menjadi pekerja atau buruh,” tegas Kirnadi.
Selaku Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DIY, Andung juga menyampaikan dirinya hanya menjadi perpanjangan tangan dari pemerintah pusat dan tidak tahu-menahu tentang pembahasan draf RUU ini.
“Prosesnya sangat cepat, sekitar empat bulan sejak November tahun lalu, sehingga kami di daerah pun sulit memantau pergerakan.”
Huda Tri Yudiana, selaku Pimpinan DPRD D.I Yogyakarta, menyatakan secara pribadi menolak RUU Omnibus Law.
“Faktanya, penopang ekonomi utama DIY adalah UKM-UKM kecil, yang bersistem atau bersifat persahabatan, dimana antara pengusaha dan pekerja saling membutuhkan,” ungkapnya.
Huda juga menambahkan, pentingnya kehadiran negara saat terjadi konflik antara pekerja dan perusahaan sehingga hak-hak pekerja bisa dipertahankan.
Di akhir sesi diskusi, peserta diskusi menandatangani petisi yang akan dikirim ke pemerintahan pusat sebagai tanda penolakan terhadap RUU Cipta Kerja.
Penulis : Acmad Dhiyaul Khaq
Reporter : Acmad Dhiyaul Khaq, Velya Juwita
Editor : Muhammad Prasetyo