Diskusi “Omnimbus Law Cipta Kerja Atau Cipta Masalah?”, Bhima Yudistira: Pemerintah Salah Kaprah

Himmah Online, Yogyakarta – Bhima Yudistira, selaku peneliti dari Institute for Development of Economics and Finances (INDEF) Jakarta, menyoroti masalah RUU Cipta Kerja saat menjadi pembicara di diskusi terbuka KM UII bertema “Omnimbus Law Cipta Kerja Atau Cipta Masalah” yang berlangsung 27 Februari 2020 di Pascasarjana FH UII.

“Permasalahan jam kerja dan lembur yang ditambah ini, pemerintah salah kaprah. Di negara seperti Finlandia misalnya perdana menterinya menginkan empat hari kerja dalam seminggu dan enam jam per harinya”, ucapnya, mengomentari salah satu masalah di RUU Cipta Kerja terkait jam kerja yang ditambah.

Menurut Bhima, jam kerja yang ditambah dari 6 hari menjadi 8-10 jam per hari yang dicanangkan di RUU Cipta Kerja justru mengikuti pola pikir Bangladesh dan Ethiopia, bukan meniru negara maju seperti FInlandia. 

Belum lagi setiap buruh yang dipekerjakan, negara malah menjual upah murah di mana produktivitas dilihat dari jam kerja yang banyak, bukan melihat pada inovasi dan teknologi. Menurutnya, inovasi dan teknologi adalah kunci mendapatkan produktivitas yang maksimal.

Tidak hanya itu, Bhima kemudian mengulas maksud di balik adanya RUU Cipta Kerja ini memang bertujuan untuk meningkatkan investasi besar-besaran. Padahal menurut Bhima, selama ini investasi di Indonesia tidak minus dan mengalami pertumbuhan.

“Analisis yang pertama bahwa Omnimbus Law meningkatkan investasi itu sudah salah. Yang dibutuhkan bukanlah nominal investasi yang baik, melainkan investasi yang berkualitas,” tambahnya. 

Dalam pembahasan kluster pertanian, Omnibus Law menjadikan impor sebagai cadangan nasional itu bertentangan dengan Undang-undang Pangan. Bhima menjelaskan impor itu dilarang kecuali jika produksi nasional tidak mencukupi kebutuhan. 

Bhima menganggap hal itu dapat menjadi cipta kerja untuk para importir dan cipta masalah untuk para petani lokal. Hal itu disebabkan dengan asumsi harga produksi dalam level petani akan murah karena impor dapat dilakukan kapan saja akibat penyamaan dalam aturan Omnimbus Law tersebut. 

Terakhir Bima juga berharap kepada para semua mahasiswa dan para intelektual lainya untuk lebih jeli dan melihat potret besar Omnibus Law untuk menganalisis dan mengkiritisi.

“Buruh para pekerja dan petani tidak punya waktu untuk melototi 15 struk prerizinan dalam RUU Cipta Kerja. Nelayan di tengah laut juga tidak punya waktu untuk membaca draf Omnibus Law di tengah laut. Jadi siapa yang dapat melototi satu satu dan melakukan kritik terhadap Omnibus Law? Satu-satunya jawaban adalah kaum intelektual,” ucap Bhima di akhir sesi diskusinya. 

Penulis: Anggah

Reporter: Anggah, Hersa Ajeng Priska

Editor: Armarizki Khoirunnisa D.

Skip to content