Solidaritas untuk Petani Sukamulya

Himmah Online, Yogyakarta – Rabu, 23 November 2016, Aliansi Solidaritas Perjuangan Agraria untuk Sukamulya (SPAS) melakukan aksi solidaritas. Beberapa gerakan yang tergabung dalam aksi antara lain, Keluarga Pelajar dan Mahasiswa Indramayu (Kapmi) Daerah Istimewa Yogyakarta, Persatuan Perlawanan Rakyat Indonesia (PPRI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon Pembebasan, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Universitas Mercu Buana Yogyakarta, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Pembebasan, dan gerakan lainnya. Aksi dimulai sekitar pukul 12.00 dari tempat parkir Abu Bakar Ali menuju Nol Kilometer Yogyakarta.

Berdasarkan rilis yang mereka keluarkan, aksi ini dilakukan untuk menanggapi kejadian bentrok antara warga desa Sukamulya dengan pihak aparat gabungan dari Polisi, TNI, dan Satuan Polisi Pamong Praja. Bentrok tersebut terjadi karena warga menolak pengukuran tanah untuk pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB). Petani yang menolak kemudian ditembak dengan gas air mata, enam petani dikriminalisasi yang hasilnya tiga orang ditetapkan menjadi tersangka.

Adapun tuntutan dari aksi tersebut yang juga tertuang dalam rilis: pertama, laksanakan reforma agraria sejati. Kedua, batalkan proyek pembangunan BIJB. Ketiga, menolak pengukuran lahan oleh Pansus. Keempat, hentikan keterlibatan TNI-Polri dalam prosesi pembebasan lahan BIJB. Kelima, hentikan kriminalisasi terhadap rakyat dan bebaskan tiga petani Sukamulya yang di tangkap. Keenam, cabut UU No. 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing.

Ketujuh, hentikan mega proyek Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Kedelapan, tarik militer dari Sukamulya dan daerah-daerah lainnya di Indonesia. Kesembilan, hentikan perampasan tanah dan ruang hidup di Kulon Progo, Parangkusumo/Cemara Sewu, dan daerah lainnya di Yogyakarta di bawah legitimasi Undang-Undang Keistimewaan. Kesepuluh, hentikan investasi perkebunan sawit di Kecamatan Gane Timur oleh PT. GNN.

Budianto selaku Koordinator Umum aksi mengatakan bahwa aliansi ini mengutuk keras atas tindakan represifitas dan arogansi dari pihak aparat dalam menggusur secara paksa petani di Sukamulya. Dirinya juga menganggap bahwa pemerintah daerah tidak memberikan solusi yang jelas pada warga Sukamulya. “Mereka tidak memikirkan relokasi, hanya memberikan dana kompensasi saja, artinya secara tidak langsung mereka terusir dari tanahnya, pemerintah tidak memikirkan petani harus tinggal dimana dan mata pencaharian mereka apa setelah itu,” tutur Budianto.

Budianto menambahkan bahwa persoalan seperti ini jika dikontekskan dengan daerah lain akan menjadi persoalan bersama, seperti konflik agraria di Yogyakarta pada pembangunan bandara New Yogyakarta International Airport Kulon Progo. “Hari ini, arah pembangunan yang semakin maju tidak diimbangi dengan rasa kemanusiaan yang ada,” ungkap Budianto.

Asrul Hikmah, peserta aksi dari Pembebasan menuturkan bahwa apa yang terjadi terhadap petani Sukamulya ini merupakan bentuk perampasan ruang hidup. Ia juga menganggap setelah penggusuran dilakukan maka, petani Sukamulya tidak lagi mempunyai akses terhadap mata pencahariannya. “Apa yang akan dilakukan buruh tani setelah tanahnya dirampas, apakah ada ruang untuk mereka nantinya kerja di Bandara? Ya jelas tidak ada,” ujar Asrul.

Senja peserta aksi yang juga dari Pembebasan menganggap bahwa persoalan ini tidak lepas dari sistem yang mengatur saat ini yaitu, keberpihakan pada kaum pemodal. Ia juga mengomentari terkait adanya pihak aparat yang melakukan represi terhadap petani Sukamulya saat melawan dan menyampaikan aspirasi. “Keterlibatan aparat seperti TNI ini juga yang kemudian mencederai aspek demokrasi yang ada, kini TNI menjadi tameng untuk melancarkan pembangunan-pembangunan,” tambah Senja. (Fahmi Ahmad Burhan)

Skip to content