Tameng Kekerasan Masyarakat Yogyakarta

Dalam orasinya salah seorang aktivis yang tergabung dalam Makaryo menuntut penuntasan kasus kekerasan yang terjadi di Yogyakarta. (Foto oleh: Betriq Kindy Arrazy)

Dalam orasinya salah seorang aktivis yang tergabung dalam Makaryo menuntut penuntasan kasus kekerasan yang terjadi di Yogyakarta. (Foto oleh: Betriq Kindy Arrazy (Kontributor))

Oleh: Maya Indah C. Putri

Yogyakarta, Himmah Online

Masyarakat Anti Kekerasan Yogyakarta (Makaryo) menyatakan pendeklarasian gerakan mereka di halaman luar Keraton Yogyakarta. Makaryo terbentuk dari 30 Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan gerakan di Yogyakarta. Diantaranya adalah Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Pusat Studi Hak Asasi Manusia (Pusham) UII, Indonesia Court Monitoring (ICM), Masyarakat Peduli Media (MPM) dan lain-lain.

Gerakan masyarakat ini dibentuk, salah satunya karena terjadi pembubaran diskusi dan penganiayan keluarga Eks Tapol 65 oleh Front Anti Komunis Indonesia (FAKI) pada 27 Oktober 2013 lalu. Dari press release yang ditulis oleh Makaryo, tercatat ada 18 kasus tindak kekerasan di Yogyakarta sejak 1996 hingga Oktober 2013 yang belum terselesaikan.

Salah satunya adalah kasus pembunuhan wartawan Bernas, Udin di tahun 1996 yang memperjuangkan hak tahu dan hak transparansi. Kini 18 tahun sudah berlalu, namun aktor intelektualnya di balik kasus ini tak pernah diungkap.

Beni Susanto selaku Koordinator Umum Makaryo mengungkapkan aparat cenderung lamban dan tidak hadir bahkan mengabaikan berbagai kasus HAM ini. “Orang diskusi dibubarkan, orang meneliti dipukuli, jika ini dibiarkan maka akan jadi presiden buruk,” tegasnya.

Untuk menindaklanjuti aksi siang ini, 12 Nopember 2013 Makaryo akan kembali memperjuangkan gerakan anti kekerasan di DPD Yogyakarta. Mereka menuntut aparat penegak hukum dan pejabat publik mengusut tuntas kasus-kasus kemanusiaan di Yogyakarta. Selain itu mereka juga menuntut pihak Keraton Yogyakarta turut proaktif mengawal kasus kekerasan di Yogyakarta.

Beni juga menambahkan bahwa tindak kekerasan yang tak tuntas ini sangat kontradiksi dengan status keistimewaan yang dimiliki Yogyakarta yang tercantum di UU 13 tahun 2013. Ia mempertanyakan kembali, apa arti keistimewaan Yogyakarta yang sebenarnya.

Reportase bersama: Betriq Kindy Arrazy (Kontributor) dan Yuyun Novia S.

Skip to content