HIMMAH Online, Yogyakarta – Jumat pagi, tepatnya mulai pukul 9 pagi hingga 12 siang, Dewan Pers mengadakan Workshop Pers Mahasiswa di Ballroom Hotel Santika, Yogyakarta pada 22 Januari 2016. Workshop tersebut dihadiri beberapa awak pers mahasiswa (persma) di Yogyakarta. Bagir Maqnan, Ketua Dewan Pers 2016 yang menjadi pemateri pertama saat itu menjelaskan tentang posisi persma seharusnya. Menurutnya, persma tidak diutamakan sebagai bentuk profesi di mana aktivis-aktivis persma diharapkan dapat menjadi pelaku pers nantinya. Malah persma adalah sarana berlatih menanamkan sikap profesional. Profesional yang dimaksudkan di sini meliputi beberapa hal.
Pertama, profesional dalam artian independen, jujur, hati-hati, terbuka, dan dapat dipercaya. Independen sendiri bukan berarti tidak memilih apa-apa. “Independen berarti wujud freedom. Jika berpihak pada sesuatu tapi didasarkan oleh kebebasan yang bertanggungjawab, maka independensi seperti itu diperbolehkan,” tutur Bagir.
Kedua, persma haruslah bekerja dengan prasangka baik. Bagir menjelaskan bahwa harus ada dialog sebagai bentuk demokrasi agar tidak ada prasangka buruk yang muncul. Ketiga, harus ada interaksi internal dan eksternal dari persma itu sendiri. Interaksi internal yang dimaksudkan adalah perlunya penguatan birokrasi kampus untuk mendukung keberadaan persma. “Namun sayangnya persma sepertinya masih belum menunjukkan dirinya ke luar dari kampus,” keluh dosen yang juga mengajar di Universitas Islam Indonesia (UII) ini.
Imam Wahyudi, sebagai salah satu anggota Dewan Pers yang juga menjadi pemateri kedua di workshop ini menyatakan bahwa ada 3 elemen persma yang tak bisa dipisahkan, yaitu audiens, birokrasi kampus, dan persma itu sendiri. Imam merasa persma lebih banyak berpendapat bahwa mereka terganggu di perizinan kampus dan dana. “Persma lebih banyak mengandalkan biaya dari kampus lalu apa bedanya persma dengan pers umum yang dananya dari pemerintah?” tegas Imam. Belum lagi menurutnya, karena dituntut lulus maksimal 5 tahun, mahasiswa sekarang tidak mempunyai banyak waktu untuk mengaplikasikan pelajaran jurnalistiknya. Lalu bagaimana solusinya?
Imam menyarankan agar persma dapat lebih akrab lagi dengan perkembangan teknologi dan mengkaji bagaimana mengefektifkan media dalam jaringan (daring), sehingga tidak lagi bergantung pada dana untuk menerbitkan media cetak yang dewasa ini kurang dikonsumsi masyarakat. Karena menurut data yang diambil oleh pemateri, pengguna internet Indonesia saat ini sudah meningkat drastis dari tahun 2012 yang hanya 63 juta orang menjadi 89 juta di tahun 2015.
Dinamakan ‘Strategi Semut Mengepung Gajah’, Imam mengajak awak persma untuk mengembangkan jaringan mereka menjadi satu. Tidak lagi berdiri di universitas mereka masing-masing, tetapi membuat satu situs yang isinya berisi suara atau pemikiran mahasiswa dan awak persma di berbagai universitas tentang isu yang sedang hangat misalnya, sehingga dapat menjadi media alternatif. “Bangun sesuatu sehingga penghargaan dan nama pada persma akan datang sendirinya. Teman-teman jurnalis dapat memanfaatkan platform dan teknologi yang berkembang dengan isi media daring yang berkualitas,” papar Imam.
Melanjutkan materi Imam tentang media daring, Nezar Patria yang juga anggota Dewan Pers memberikan materi ketiga tentang bagaimana pengaruh internet pada lanskap media saat ini. Nezar menjelaskan dengan adanya perkembangan teknologi, siklus penyebaran berita dalam media daring menjadi lebih cepat. Reporter hanya tinggal menuliskan lewat smartphone kemudian menjadi berita, diedit, dan di publish ke media daring. Dari media daring, menjadi berita dalam televisi, lalu dibahas lebih mendalam dalam print media, dan disebarkan melalu social media.
Wulan, salah satu peserta workshop menyatakan bahwa persma butuh Undang-Undang (UU) yang jelas tentang seperti apa pemberitaaan yang dapat disiarkan dan untuk dapat diakui secara struktural, tak hanya kultural. Sehingga tidak akan ada lagi kasus pembredelan persma atau semacamnya.
Menurit Nezar, asalkan wartawan tetap melakukan verifikasi, cek dan ricek, memberikan informasi yang bisa dipertanggungjawabkan dan buka fitnah, maka berita tersebut dapat ditulis.
“Selama kita menggunakan wadah berekspresi dengan niat untuk memaparkan kebenaran, maka tulislah, tak usah takut. Pada akhirnya bila apa yang kita tulis dapat dipertanggungjawabkan, maka perkara banyaknya kejadian pembredelan dan pemberhentian dana akan diurus belakangan,” lanjutnya.
Dewan Pers sendiri hanya bisa melakukan advokasi dan mengkritik keras birokrasi kampus. Jika masih dibredel, maka pilihannya ada dua. Tetap mengalah atau keluar menjadi pers yang tidak berada di bawah naungan institusi. Karena permintaan perlindungan terhadap persma, hanya bisa jika persma keluar dari ranah kampus menjadi pers umum yang kemudian otomatis berada di bawah proteksi UU Pers No.40 Tahun 1999 dan pers nasional tidak akan dibredel.
Lalu menanggapi banyaknya media yang terus menerus berlomba menyajikan berita sensasional, meskipun klarifikasi datanya belum pasti, maka Widyanti dari Lembaga Pers Mahasiswa Poros Universitas Ahmad Dahlan (LPM Poros UAD) bertanya bagaimana Dewan Pers menilai fenomena tersebut.
Imam mencoba menjawab pertanyaan tersebut berdasarkan ‘Pedoman Pemberitaan Media Cyber’ yang dibuat oleh Dewan Pers khusus untuk media daring yang diturunkan dari kode etik dan UU Pers 4 tahun lalu. Di mana jika ada pemberitaan informasi yang sangat penting dan mendesak untuk diberitakan pada publik, dimungkinkan pemberitaan tersebut tidak berimbang dengan catatan karena sangat mendesak, dan narasumber yang dimintakan informasinya tidak ada di tempat atau tidak dapat dihubungi. Kemudian harus mencatumkan bahwa berita ini masih belum dikonfirmasi dengan jenis huruf miring dan kemudian ada tautan ke berita yang belum dikonfirmasi. “Ini menjamin agar media tidak berlaku semena-mena. Dan yang penting dari media adalah dia selalu skeptis, selalu mempertanyakan sesuatu,” jelasnya. (Dian Indriyani)