Himmah Online, Yogyakarta – Data Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menunjukan dalam rentang 2005 hingga 2020 terdapat 2.332 kasus kekerasan terhadap pekerja rumah tangga (PRT). Sedang pada 2021, terdapat 17 kasus. Angka tersebut menunjukan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) perlu segera disahkan.
Andy Yentriyani, komisioner Komnas Perempuan, menuturkan kekerasan yang terjadi terhadap PRT terdiri dari kekerasan ekonomi, fisik, seksual dan psikis.
“Kasus tersebut meliputi kekerasan ekonomi, fisik, seksual dan psikis. Hal ini semakin menunjukan bahwa RUU PPRT semakin dibutuhkan,” tutur Andy dalam diskusi bertajuk “Panggung Ekspresi: Rekatkan Dukungan Sahkan RUU PPRT” pada Selasa (21/06).
Diskusi yang digelar Institute for Humanities and Development Studies (InHIDES) bersama dengan Komnas Perempuan dan Yayasan Pupa tersebut sebagai dukungan untuk mendorong pengesahan RUU PPRT yang belum disahkan sejak pertama kali diusulkan pada 18 tahun lalu.
Bagi Andy, daya tawar PRT bergantung pada kebijakan pemerintah. Terkhusus dalam segi ekonomi, penegakan hukum, hingga pendidikan.
“Ada situasi yang justru memungkinkan seseorang khususnya perempuan untuk bekerja menjadi pekerja rumah tangga, baik di dalam maupun di luar negeri. Kondisi ini dipengaruhi oleh kapasitas tata kelola pemerintahan khususnya ekonomi, dan juga dalam hal penegakan hukum termasuk pendidikan,” tutur Andy dalam diskusi yang digelar melalui saluran Zoom tersebut.
Senada dengan Andy, Usin Abdiansyah Putra Sembiring, anggota DPRD Provinsi Bengkulu, mengungkapkan banyak kasus kekerasan terhadap PRT yang belum terungkap.
“Banyak kasus yang belum terungkap dan bahkan terlewatkan sebagai bagian dari perlindungan negara atas nyawa, kesehatan, keselamatan serta martabatnya dalam melaksanakan pekerjaan sebagai PRT,” ungkap Usin.
Usin menambahkan, belum disahkannya RUU PPRT di DPR RI tidak menghalangi pemerintah daerah untuk tetap melaksanakan perlindungan terhadap PRT. Pemerintah daerah dapat menggunakan sejumlah peraturan yang berlaku.
“Pemerintah pusat memberikan wewenang kepada pemerintah daerah dalam hal perlindungan pekerja rumah tangga melalui Permenaker Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah Pemerintahan Daerah Provinsi Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten Kota,” ucap Usin.
Mickael Bobby Hoelman, ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) turut menyatakan sikap dukungan perlindungan dan pemenuhan hak PRT
“DJSN mendukung upaya perlindungan serta pemenuhan hak atas perlindungan yang layak bagi pekerja rumah tangga, salah satunya dilakukan melalui jaminan sosial,” tutur Hoelman.
Ia juga menambahkan, untuk sampai dalam tahap pengakuan, ada dua cara yang bisa dijalankan.
“Ada beberapa peluang yang harus dilakukan atau ditelusuri agar sampai di tahap pengakuan. Yang pertama, adanya UU akan lebih memudahkan pengakuan terutama dari pemberi kerja. Kedua, dalam hal tidak adanya UU, perlindungan di Indonesia tidak sama dengan pekerja migrasi,” pungkas Hoelman.
Reporter: Himmah/Ani Chalwa Isnani
Editor: Pranoto