Eko Riyadi: Tugas Intelektual Memproduksi Pengetahuan dan Membela yang Terzalimi

“Akademisi adalah intelektual. Intelektual itu tugasnya dua, memproduksi pengetahuan dan memberikan pembelaan kepada mereka yang terzalimi.”

Himmah Online – Konflik struktural antara pemerintah dan masyarakat kerap terjadi di Indonesia. Hal tersebut kerap terjadi di sektor agraria. Sepanjang tahun 2021, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) melaporkan terjadi 207 konflik agraria di 32 provinsi. Salah satunya terjadi di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Purworejo, Jawa Tengah.

Di setiap pusaran konflik, pemerintah acapkali menjadikan aparat sebagai kaki tangannya yang justru tidak memberikan rasa aman dan nyaman kepada masyarakat. Namun, seringkali berujung pada kekerasan.

Pada Selasa 8 Februari 2022 lalu di Wadas, misalnya, aparat gabungan yang terdiri dari pihak Kepolisian, TNI, dan Satpol PP datang ke Wadas guna mengawal jalannya pengukuran tanah yang dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Pengawalan tersebut justru berujung pembatasan akses hingga penangkapan.

Merespons hal tersebut, sebanyak 55 akademisi yang tergabung dalam koalisi Akademisi Peduli Wadas mendesak untuk dilakukannya peninjauan ulang terkait Proyek Strategis Nasional (PSN) Bendungan Bener. Salah dua akademisi yang tergabung di dalam koalisi tersebut berasal dari Universitas Islam Indonesia (UII), yakni Eko Riyadi dan Idul Rishan. Keduanya merupakan dosen di Fakultas Hukum.

Reporter himmahonline.id berkesempatan menemui Eko Riyadi untuk melakukan wawancara. Dalam kurang lebih 40 menit wawancara, kami menanyakan keterlibatannya di koalisi Akademisi Peduli Wadas, penyebab konflik struktural yang kerap terjadi di Indonesia, hingga keberpihakan akademisi di setiap konflik struktural.

Dosen dengan fokus studi Hukum Hak Asasi Manusia (HAM) yang juga menjabat sebagai direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia (PUSHAM) UII tersebut, kami temui di Kantor PUSHAM UII, Gang Bakung, Nomor 517 A, Banguntapan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta pada Selasa (14/06) lalu.

Mengapa konflik struktural kerap terjadi di Indonesia?

Skema makronya itu negara tidak clear memisahkan antara fully kepentingan publik, dia setengah publik dan setengah privat, ataukah dia fully kepentingan privat.

Jadi, gambaran besarnya ya, kalau di negara-negara yang lebih mapan, negara itu mempunyai standar: ini adalah kepentingan umum, ini kepentingan privat, ini kolaborasi antara kepentingan umum dan kepentingan privat. Dan bagaimana hal itu dikelola, bagaimana rambu-rambunya, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh.

Di Indonesia seringkali tidak jelas pembagian antara tiga hal itu, maka kita sering menemukan data dan kebijakan yang menunjukan bahwa pemerintah mengatakan seakan-akan proyek itu adalah kepentingan umum. Padahal sebenarnya kalau kita telisik lebih dalam, kita bisa membuktikan bahwa proyek itu dibungkus oleh kepentingan publik padahal sebenarnya ada kepentingan privat yang sangat dominan di sana.

Ketika kepentingan privat, saya sebut sebagai kapital, kepentingan kelompok-kelompok modal sudah sangat besar, seringkali pemerintah gagal untuk membendung kepentingan itu dan mengafirmasi kepentingan publik yang lebih luas.

Ending-nya karena pemerintahnya sendiri gagal membendung kepentingan modal, akhirnya pemerintah memanfaatkan aparatur negara yang sebenarnya ia harus berpijak pada kepentingan publik tetapi dimanfaatkan oleh aparatur pemerintah itu.

Sehingga Anda bisa wawancara lebih jauh, misalnya seringkali aparatur yang di daerah tidak setuju dengan kebijakan itu, tetapi mereka tidak punya bahasa lain kecuali ‘siap’, karena mereka bagian dari pemerintah.

Maka dalam konflik-konflik agraria sebenarnya yang terjadi adalah membenturkan antara masyarakat sebagai pemangku hak atas tanah, atas air, dan sebagainya dengan polisi yang bisa jadi polisi juga menjadi korban kebijakan yang sudah didesain di atas, itu kira-kira gambaran besarnya.

Dengan kondisi seperti ini, berarti kemungkinan besar Indonesia mengusung pendekatan yang lebih humanis masih sulit untuk dicapai?

Sepanjang paradigma negaranya tidak digeser menjadi ke demokrasi substantif, menurut saya agak sulit. Demokrasi kita kan prosedural, maka yang dinilai adalah apakah prosedurnya terpenuhi atau tidak.

Nah, demokrasi yang prosedural hanya melahirkan pemimpin-pemimpin yang formal prosedural juga. Jadi mereka seakan-akan mendapat legitimasi dari masyarakat, dari rakyat, tapi legitimasi itu seringkali didapatkan dengan cara membeli saja. Maka demokrasinya harus didorong menjadi demokrasi yang lebih substantif.

Bagaimana cara membedakan demokrasi prosedural dengan demokrasi substantif? Yang paling mudah kalau demokrasi prosedural yang berkuasa adalah elit, sedangkan demokrasi substantif yang berdaulat adalah rakyat. Nah kita sangat punya problem yang sangat serius di situ. Rakyatnya tidak berdaulat, maka demokrasi bukan menjadi partisipasi tetapi mobilisasi, itulah yang terjadi pada negeri ini.

Kami baca di Tempo, Anda bergabung dengan koalisi Akademisi Peduli Wadas. Berkaitan dengan hal tersebut, sebetulnya seberapa besar peran akademisi terhadap konflik struktural yang terjadi antara masyarakat dengan pemerintah?

Saya memaknai akademisi sebagai intelektual. Intelektual itu indikatornya yang paling penting ada dua, yang pertama adalah dia mampu merasakan penderitaan yang dialami oleh rakyatnya, yang kedua adalah dia menemukan solusi pengetahuan untuk mengatasi itu. Itulah yang disebut sebagai akademisi.

Jadi saya memaknai akademisi adalah intelektual yang indikatornya dua, dia adalah produsen pengetahuan, yang kedua dia harus membela orang yang menderita.

Menderita itu sebenarnya ada dua, menderita secara kultural dan menderita secara struktural. Menderita kultural itu misal miskin karena memang miskin, personally kita harus membantu mereka, tapi itu sangat personal dan tidak ada hubungannya dengan status kita sebagai intelektual.

Tapi ada orang yang menderita karena struktural, kasus Wadas, kasus penggusuran di mana-mana, itu mereka menderita karena problem struktural. Akademisi harusnya hadir di situ, karena akademisi adalah sekelompok orang yang memiliki keistimewaan karena bisa mengakses pengetahuan.

Dalam konstruksi sosial kita, status sosial akademisi cukup tinggi sehingga dia harus mampu menyuarakan kepentingan publik secara jernih dan tidak boleh terkooptasi dengan kepentingan apa pun.

Jadi apakah peran seorang intelektual itu penting? Iya, karena intelektual itu harus menjaga jarak dari kepentingan praktis, dari politik praktis, dan dari modal yang menjarah kepentingan-kepentingan publik itu.

Intelektual harus mempunyai sense of crisis, melihat apa yang dirasakan oleh publik. Nah, maka itulah ada sekelompok akademisi yang selalu turun dalam perkara-perkara struktural. Soal keterlibatannya seperti apa itu bisa bermacam-macam, tapi setidaknya seorang intelektual harus selalu menyuarakan apa yang dianggapnya sebagai sebuah kezaliman struktural.

Dalam praktiknya, action akademisi di lapangan seperti apa?

Ada banyak peran yang bisa dilakukan oleh seorang intelektual. Satu, memproduksi pengetahuan, misalnya, yang bisa membuktikan bahwa kerusakan alam akan menghasilkan bencana yang lebih dahsyat, itu adalah akademisi.

Akademisi mempunyai kemampuan untuk menilai dan menganalisis apakah tindakan, misalnya eksploitasi pegunungan tertentu itu bisa menyebabkan bencana alam atau tidak, itu akademisi yang bisa melakukan itu. Artinya, pengetahuan digunakan untuk itu. 

Yang kedua, yang bisa dilakukan adalah advokasi. Advokasi itu apa? Advokasi artinya ada dua, pertama mendorong perubahan kebijakan, dan yang kedua membela hak-hak para korban. Nah, akademisi bisa di dua-duanya, dia bisa mengadvokasi agar kebijakan itu berubah. Kita harus buktikan bahwa kebijakan itu keliru sehingga kebijakan itu harus diubah. Di sisi lain kita bisa turun untuk membela hak-hak korban, misalnya melalui mekanisme pengadilan, itu juga bisa.

Nah yang ketiga, saya menyebutnya dengan peran transformatif. Akademisi juga harus mendorong, berperan untuk mengedukasi publik, untuk menyadarkan kepada publik bahwa potensi kerusakan yang akan terjadi dalam ranah yang lebih kecil.

Posisi saya di PUSHAM, misalnya, kita harus membantu masyarakat kita untuk tahu hak-haknya sendiri. Masyarakat kita banyak yang tidak mengerti (kalo mereka) punya hak, sehingga kalo diambil itu ya ngalah aja, padahal itu hak dia.

Misalnya dalam kasus yang terjadi di Wadas, clear bahwa Wadas itu tidak masuk skema Proyek Strategis Nasional (PSN). Jadi Wadas itu tidak ada izin, tidak masuk di skema proyek, tidak masuk di skema PSN, tidak ada izinnya, tidak ada amdalnya. Jadi itu betul-betul yang kebijakan tanpa dasar hukum.

Kalau itu dibiarkan, menurut saya itu mengerikan sekali, di sebuah negara hukum terjadi perampasan hak-hak privat dengan cara seperti itu.

Jadi sekarang apa kabar koalisi Akademisi Peduli Wadas tersebut, apakah masih berlangsung sampai sekarang?

Sekarang kami bekerja pada ruang dan jalurnya masing-masing. Temen-temen yang aktif di Muhammadiyah, mereka bergabung di tim yang dibentuk oleh Muhammadiyah. Policy brief Muhammadiyah itu sudah dibuat, sudah cukup lengkap.

Ada yang bergabung dengan NU (Nahdlatul Ulama) melalui pusat bantuan hukumnya NU. Ada yang mendorongnya ke Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia). Saya sendiri sekarang sedang menjadi semacam ahli yang dilibatkan Komnas HAM untuk membuat policy brief terhadap kasus Wadas.

Jadi sekarang kita menyebar, memanfaatkan jejaring dan peluang yang kita punya masing-masing. Karena akhir-akhir ini, di negeri ini, suara publik itu sering kali sudah tidak lagi didengar, berapa ribu tanda tangan pun yang kita kirimkan.

Akhir-akhir ini kita punya cerita soal kasus KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), Undang-Undang Cipta Kerja, Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, kita punya bukti bahwa memang suara publik hari-hari ini tidak mendapatkan penghormatan yang layak.

Jika terjadi konflik struktural, siapa yang seharusnya bertanggung jawab?

Kenapa terjadi konflik struktural? Itu karena struktur tidak hadir. Andai kata struktur hadir, tidak akan terjadi konflik itu. Maka kalau saya ditanya siapa yang harus bertanggung jawab? Ya struktur. Struktur itu siapa? Struktur ya penguasa, bahasa hukumnya pemerintah.

Siapa yang memerintahkan polisi untuk pergi ke Wadas? Pemerintah. Pertanyaannya, mereka beralibi bahwa pemerintah akan melakukan pengukuran. Oke, sejak kapan melakukan pengukuran itu membutuhkan 1.500 polisi?

Andai kata proses pembuatan kebijakan itu secara partisipatif dan humanis, serta memberi ruang bagi masyarakat untuk terlibat sejak awal. Tidak perlu polisi yang datang, masyarakat juga akan dengan sukarela, sepanjang mitigasi dilakukan, dan hak-hak mereka dipenuhi. Ini pembicaraan belum selesai, batas-batas tanah belum selesai, skema ganti rugi belum dibicarakan, semua belum dilakukan, tiba-tiba 1.500 polisi datang.

Jadi, betapa mengerikannya kalo kita biarkan itu. Nanti akan banyak masyarakat kita yang selalu menghadapi polisinya sendiri. Polisi ini kan milik rakyat, kan? Seragam polisi, gaji polisi, polisi-polisi itu sendiri kan bagian dari rakyat Indonesia. Tetapi polisi selalu jadi alat untuk kepentingan-kepentingan seperti ini. Itu bahaya sekali.

Anda juga mengajar di kelas, bagaimana Anda menyampaikan hal-hal tersebut di ruang kelas?

Hari ini ya, pengetahuan itu bisa dibaca di mana saja kan? Anda dengan handphone sudah bisa ke mana pun, membaca apa saja yang ada di situ. Pengetahuan dalam makna informasi, itu ada, kita bisa dapatkan di mana-mana.

Maka, kelas itu justru harus digunakan untuk menajamkan spirit pembelaan, menajamkan analisis sosial, memperkuat argumentasi hukum, karena saya mengajar hukum. Maka, kasus itu menjadi penting, studi kasus menjadi penting.

Yang belum berhasil saya lakukan adalah studi lapangan. Dulu beberapa kali, sudah saya lakukan di kelas saya. Mahasiswa menemui langsung korban-korban kasus konflik struktural, kemudian mereka datang ke kelas, kemudian mempresentasikan hasil studi lapangan itu.

Model seperti ini sudah cukup bagus, tetapi masih ada lubangnya karena mereka yang serius bisa mendapatkan spirit. Bahkan saya ketemu beberapa kasus di mana mahasiswa ketika mempresentasikan temuannya, itu bahkan sangat emosional, bahkan ada yang menangis di kelas saat menceritakan ulang apa yang didapatkan dari masyarakat yang diwawancarai.

Itu akan jauh lebih ngena sebenarnya kalau mahasiswa dibawa langsung ketemu dengan masyarakat. Mendengarkan kata perkara dan kasus-kasus yang mereka hadapi. Di situ lah kemudian sebenarnya yang, menurut saya, KKN (Kuliah Kerja Nyata) itu harus didorong ke situ.

Lantas apa hambatannya dalam memaparkan hal-hal tersebut di ruang kelas?

Saya akan jawab apa adanya. Kalian boleh simplifikasi, atau juga boleh tulis apa adanya. Kita ketemu dengan mahasiswa yang, apa ya istilahnya yang lebih tepat, let’s see saya menggunakan istilah mahasiswa kita asosial.

Mereka tidak peduli apa yang terjadi pada orang lain, mereka hanya peduli pada dirinya sendiri. Itu problem mahasiswa kita sekarang. Jadi mereka sibuk dengan gincu dan bedaknya, mereka sibuk dengan mobil dan motornya, tapi mereka tidak ngerti apa yang dihadapi oleh publik, yang dihadapi oleh masyarakat.

Saya berani bertaruh, kita ketemu dengan generasi mahasiswa yang 80-an persen begitu. Ayo kita survei. Silakan survei. Kalian biar bisa kritik ke mahasiswa itu sendiri juga. Berapa sih mahasiswa yang mengerti peristiwa Wadas? Coba, berapa persen? 

Silakan survei mahasiswa Fakultas Hukum (UII) saja deh. Berapa persen mahasiswa Fakultas Hukum itu yang menaruh perhatian dengan peristiwa Wadas, misalnya, saya tidak yakin ada 10 persen. Karena sibuk dengan dirinya sendiri.

Mahasiswa kita itu orang mabuk, dia itu mabuk dengan dengan utopianya sendiri. Mereka sebagian besar tidak menginjak bumi, tapi menginjak mobil dan menginjak motor. Itu tantangan serius, dan kenapa saya sebut itu sebagai sebuah tantangan? Kalo saya cerita kasus, mahasiswa di kelas yang nyambung paling satu atau dua. Kalo dosen cerita kasus, yang mengerti itu satu atau dua dari 70-an mahasiswa. Sakit kepala kita dosen.

Begitu, jadi kita ketemu dengan mahasiswa kayak gitu sekarang. Kalo kita fair, kalian ini kan minoritas? Coba benar tidak, kalian ini minoritas. Ada anak akuntansi ngomong Wadas, kan jangan-jangan satu-satunya. Anak teknik kimia ngomong Wadas, itu satu-satunya.

Jadi, walaupun yang minoritas itu selalu oke, saya sih no problem. Tetapi, kampus kita itu terlalu parah, ketidakpeduliannya kepada urusan publik itu serius banget, itu catatan banget itu.

Apa yang dapat dilakukan untuk membangun kembali kepedulian teman-teman mahasiswa yang asosial?

Hidupkan organisasi, itu alternatif yang paling mungkin. Baik intra maupun ekstra, apa pun, karena pengetahuan yang didapatkan di kelas itu sebenarnya sedikit banget, sedikit banget. Mahasiswa itu, kuliah hanya datang ke kelas, tidak membaca buku, tidak ikut organisasi, dapat apa?

Kenapa kalian tau Wadas? Karena dipaksa oleh organisasi kan? Karena ada perbincangan di organisasi mengenai kasus ini kan? Karena kalian harus keluar dari spektrum sebelumnya. Yang sebelumnya ngitungin 123 kemudian dipaksa untuk melihat ada kasus lain. Akhirnya kamu harus bicara hukum, harus bicara politik, harus bicara psikologi, harus bicara sosiologi, harus bicara antropologi, harus bicara macam-macam.

Ada pesan tersendiri untuk mahasiswa, masyarakat korban konflik struktural, dan bagi pemangku kebijakan?

Satu, saya ingin mengulangi lagi ya, akademisi adalah intelektual. Intelektual itu tugasnya dua, memproduksi pengetahuan dan memberikan pembelaan kepada mereka yang terzalimi, itu fix. Kita bisa pakai dasar apa pun, agama mengajarkan itu, teori-teori sosial juga mengajarkan itu.

Yang kedua, kepada pemangku kekuasaan, mereka harus ingat bahwa daulat itu daulat rakyat, bukan daulat penguasa. Oleh karena itu, semua kebijakan harus didasarkan pada kepentingan masyarakat, bukan kepentingan elite pemodal, bukan kepentingan elite kekuasaan.

Kepada masyarakat, saya ingin menyampaikan bahwa kalian punya hak yang harus diperjuangkan. Jadi kalau hak-hak itu direnggut secara paksa, maka harus dilawan. Karena, pemilik daulat adalah mereka, mereka juga adalah pemilik hak dan kita harus memperjuangkan hak itu agar tidak diambil secara paksa oleh siapa pun.

Mahasiswa aktiflah di organisasi, keluarlah dari kelas, datanglah ke masyarakat, dengarkan keluh kesah publik, dengarkan keluh kesah mereka yang mengalami kesulitan. Dari situ empati sosial itu akan terbangun.

Dan terakhir, organisasi mahasiswa hidupkan kembali, karena di situlah ruang dialektika, ruang diskursus, bahkan ruang pertarungan. Saya selalu punya filosofi ini: Ronaldo, pemain bola, itu dianggap sebagai pemain keren karena lawannya Messi. Messi juga dianggap pemain keren karena lawannya Ronaldo. Jadi battle seperti ini harus selalu ada.

Untuk mengetahui bahwa kita ini orang keren apa tidak ya harus ada lawannya dong. Nah kalo tidak ada battle, tidak ada pertarungan, kemampuan kita juga tidak naik, klaim kita bahwa kita oke juga tidak bisa dibuktikan. Jadi organisasi harus dikuatkan terus menerus.

Reporter: Himmah/Fawwas Aufa Taqiyyah Prastiwi, Hanifah Dhiya Ulhaq, Nawang Wulan, Qothrunnada Anindya Perwitasari

Editor: Pranoto

Skip to content