Editorial: Saatnya Melipatgandakan Pemberian Hak Kelola Kawasan Hutan untuk Masyarakat

Pada 2016 lalu Presiden Joko Widodo mencanangkan program perhutanan sosial sebagai program prioritas nasional. Program ini sebenarnya bukan suatu hal baru. Program ini telah dimulai pada pertengahan tahun 1990-an dengan berbagai nomenklatur.

Melalui program ini masyarakat di sekitar hutan diberi kesempatan untuk mengajukan hak pengelolaan area hutan kepada pemerintah. Setelah disetujui, maka masyarakat dapat mengolah dan mengambil manfaat dari kawasan hutan tersebut.

Program ini terdiri dari lima skema, yaitu Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR/IPHPS), Hutan Adat (HA), dan Kemitraan Kehutanan.

Seluas 12,7 juta hektare hutan ditargetkan dapat dikelola oleh masyarakat melalui program tersebut. Namun hingga 3 November 2022, ditinjau melalui laman GoKUPS, sebuah sistem informasi real time terkait perhutanan sosial milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), hak kelola hutan bagi masyarakat melalui program ini baru menyentuh angka 5.087.754 hektare. Kurang dari separuh dari angka yang ditargetkan Jokowi.

Capaian tersebut juga masih terpaut jauh dengan luasan hak kelola kawasan hutan yang diberikan ke korporasi.

Berdasarkan laporan berjudul Indonesia Tanah Air Siapa: Kuasa Korporasi di Bumi Pertiwi yang diterbitkan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan Auriga Nusantara pada September 2022 lalu. Hak kelola kawasan hutan untuk korporasi mencapai 36,8 juta hektare.

Angka tersebut terdiri dari 19 juta hektare diberikan kepada konsesi logging, 11,3 juta hektare kepada konsesi kebun kayu, 0,5 juta hektare untuk izin pinjam pakai kegiatan pertambangan, dan 6 juta hektare yang dilepaskan untuk perkebunan sawit. Sehingga persentase hak kelola kawasan hutan untuk korporasi mencapai 92%, sedang untuk rakyat hanya sebesar 8%. 

Alokasi penguasaan kawasan hutan oleh korporasi mayoritas berada di Pulau Kalimantan dengan persentase mencapai 46% dari total seluruh alokasi pengelolaan kawasan hutan di seluruh Indonesia. Di Pulau Kalimantan, wilayah hutan yang dikelola korporasi angkanya mencapai 24.735.733 hektare. Sedang pengelolaan kawasan hutan yang diberikan kepada rakyat luasnya hanya 1.070.350 hektare.

Kondisi tersebut menunjukan ketimpangan yang sangat signifikan antara hak kelola kawasan hutan untuk korporasi dengan rakyat.

Meskipun tak semenggiurkan perputaran nilai ekonomi jika hak kelola kawasan hutan diberikan ke korporasi, namun pemberian hak kelola kawasan hutan kepada masyarakat nyatanya tetap memberikan nilai ekonomi. Utamanya bagi masyarakat sekitar hutan itu sendiri, masyarakat yang jarang mendapat sentuhan dari negara.

Per 3 November 2022, GoKUPS mencatat nilai transaksi ekonomi dari Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) pada tahun ini mencapai Rp8.739.050.078.

Tak hanya memiliki nilai ekonomi, pemberian hak kelola kawasan hutan juga membuat masyarakat memiliki kendali untuk memanfaatkan potensi hutan, menjaga wilayah hutannya dari kerusakan hingga serobotan korporasi.

Apalagi, desa yang berada di tepi kawasan hutan atau di dalam kawasan hutan jumlahnya tidak sedikit.

Berdasarkan laporan Identifikasi dan Analisis Desa di Sekitar Kawasan Hutan Berbasis Spasial Tahun 2019 yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS), hasil matching antara data Pendataan Potensi Desa (Podes) 2018 dan Tumpangsusun/Overlay menunjukan desa yang ada di Indonesia berjumlah 83.724.

Dari total 83.724 desa, terdapat 41.253 desa (49,27 persen) terletak di luar kawasan hutan, lalu sebanyak 39.147 desa (46,76 persen) terletak di tepi kawasan hutan, dan sisanya sebanyak 3.324 desa (3,97 persen) terletak di dalam kawasan hutan.

Sehingga program perhutanan sosial perlu segera digenjot untuk memperluas kebermanfaatan dan melibatkan lebih banyak masyarakat dalam pengelolaan kawasan hutan.

Negara perlu ringan tangan–dengan tetap memperhatikan standar dan pedoman yang telah ada–untuk melipatgandakan hak kelola kawasan hutan kepada masyarakat. Seringan memberikan hak kelola kawasan hutan untuk para korporasi.

*Editorial ini berkaitan dengan penerbitan naskah laporan utama berjudul Riwayat Masyarakat Tampelas: Dahulu Pembalak Liar, Kini Penjaga Hutan.

Skip to content