McCartney 3,2,1: Api Kreativitas Paul McCartney yang Tidak Padam

Judul: McCartney 3,2,1 (2021)

Genre: Dokumenter

Sutradara: Rick Rubin

Durasi: 27-31 menit per episode

Usia panjang adalah berkah; hanya sedikit orang yang memperolehnya. Lebih sedikit lagi jumlah mereka yang berusia panjang dan berkarya. Salah satu dari yang sedikit itu adalah Paul McCartney.

Tanggal 18 Juni lalu, ia berumur delapan puluh tahun. Enam puluh tahun lalu ia, John Lennon (gitaris), George Harrison (gitaris), dan Ringo Starr (drummer) bermain musik bersama dalam band bernama The Beatles. 

Dunia pun dalam genggaman mereka. Lagu-lagu mereka bagai mantra, membius dan mengikat pendengar mereka.

Di penghujung dekade 1960-an, mereka tidak lagi ingin bersama. Masing-masing Beatle–sebutan untuk personil The Beatlesingin menapaki jalan mereka masing-masing. The Beatles memang berakhir, tetapi sihir mereka tidak memadam. Ia menguat, meluas, terwariskan, dan diwariskan. Generasi ke generasi masih terikat dan tersihir oleh musik mereka. 

Sebagian sebab tentu karena sihir itu dipelihara dan dirawat. Namun, tidak semata itu: ada keahlian, keterampilan, kecerdasan, kreativitas, permainan, impian, hasrat, keselarasan, dan persahabatan di balik mantra mereka. 

Tidak dipungkiri ada keterbatasan, kelemahan, egoisme, rintangan, hambatan, dan ketidakselarasan, yang akhirnya merapuhkan dan mengoyak kebersamaan empat pemuda dari Liverpool, Inggris ini.

Setiap musisi dan band adalah anak zamannya dan musik era 1960-an memiliki semangat untuk membesarkan ruang kreativitas. Mereka berusaha mendorong mundur sekat-sekat kreativitas beberapa langkah,The Beatles pun demikian. 

Hal yang membedakan mereka dan band-band kontemporer lain adalah mereka melampaui sekat ruang kreativitas itu.

Salah satu motor pendorong kreativitas itu, tidak bisa dipungkiri, adalah Paul McCartney di saat api dalam diri ketiga rekannya mulai padam. 

Film Get Back (2021) menunjukkan peran besar Paul—mungkin terlalu besar mengingat secara de facto Lennon adalah pemimpin band—dalam memantik api kreativitas The Beatles. Sebelum film tersebut dirilis, Paul kerap dianggap sebab dari bubarnya The Beatles.

Paul memang kerap diasosiasikan dengan sifat, karakter, kisah, maupun mitos yang kurang menguntungkan posisinya di dunia musik kontemporer. Selain sebagai sebab bubarnya The Beatles, ia dianggap pencipta lagu-lagu “manis” dan lunak. Untuk lagu seperti ini, “granny song” (lagu nenek-nenek) adalah istilah yang disematkan oleh Lennon untuk Paul.

Sebaliknya, Lennon menikmati posisi yang terhormat: jenius, pemikir, aktivis, wordsmith (terampil dengan mengolah kata). Lagu-lagunya ritmis, keras, pesimistik, dan suram. 

Api kreativitas itu masih terjaga bersama beban bahwa Paul tidak sejenius, sekreatif, dan se-eksperimental Lennon. Paul mungkin masih dihantui olehnya, meskipun dua puluh enam album telah dirilisnya. Album terakhirnya, McCartney III (2020) bertengger di tangga album teratas di Inggris dan mencapai nomor dua di tangga album Amerika Serikat.

Ia pun kini merilis film dokumenter berformat miniseri berjudul McCartney 3,2,1 (2021). Terdiri dari enam episode, McCartney 3,2,1 memperbincangkan musikalitas Paul. Kanal Hulu menjadi mitra tayang dokumenter Paul. 

McCartney 3,2,1 membedah lagu-lagu The Beatles, Wings (band Paul setelah The Beatles),l serta mengungkapkan apa yang bersembunyi di balik bebunyian instrumen-instrumen. 

Dapat dikatakan, McCartney 3,2,1 adalah sejarah teknis rekaman dalam perspektif Paul. 

Seseorang lain dibutuhkan untuk mengungkapkan yang tersembunyi tersebut; seseorang berkaliber yang mengetahui dan mengarahkan proses dan hasil rekaman. Seorang produser musik. Karenanya, Rick Rubin menjadi teman diskusi Paul dalam film ini. 

Rick Rubin adalah produser musik yang dianggap berhasil mengorbitkan Red Hot Chili Peppers, Beastie Boys, Johnny Cash, dan masih banyak lagi. Yang terpenting adalah Rubin penggemar The Beatles.  

Tugas Rubin tidak ringan; ia harus mampu membangun, mengembangkan, dan memandu diskusi sehingga musikalitas Paul terungkap. Rubin pun harus melihat sudut-sudut yang kurang/tidak tersentuh selama ini oleh biografi The Beatles atau Paul dan mengangkatnya. 

Profesinya sebagai produser membantu tugasnya dalam film ini. Dengan menggunakan control board, ia memilah dan memisahkan suara dan instrumen, termasuk menyembunyikan dan mematikan suara serta instrumen tertentu.

Apa yang dilakukannya tentu tidak unik sebagai produser musik, tetapi menjadi berbeda jika ditampilkan sebagai metode dalam suatu film dokumenter musik. Dengan metode ini, penonjolan suara dan instrumen menjadi bidang analisis dan dikonfirmasi langsung oleh subjek (Paul).

While My Guitar Gently Weeps” dalam episode pertama bisa menjadi contoh. Setelah menonjolkan suara bassnya, lagu ini memiliki suara bass yang khas, kasar, dan agresif. Tetapi dengan menimbulkan hanya suara gitar akustik dan vokal Harrison, “While My Guitar Weeps” seperti fusi dari dua lagu berbeda. Ini satu kelebihan dari McCartney 3,2,1. 

Kelebihan lain adalah film dokumenter ini hendak mengungkapkan bahwa karya the Beatles yang abadi itu terkadang bukan persoalan teknis semata. 

David Mason adalah seorang pemain trumpet piccolo yang handal. Ia biasa bermain dalam orkestra yang memainkan musik klasik. Pemain musik klasik biasa bermain musik dalam batas-batas. Musik populer sebaliknya. Ia mempertanyakan batas itu, dan, jika mungkin, meruntuhkannya.

Mason diminta oleh Paul untuk bermain solo dalam “Penny Lane”. Setelah menyimak solo seperti apa yang diinginkan Paul, Mason mencari nada dan melatihnya. Yang ia ragu adalah permintaan Paul mencapai nada tertinggi bisa dicapai oleh piccolo. 

“Itu resminya di luar jangkauan suara trumpet piccolo,” begitu tanggapan Mason. “Kau bisa melakukannya,” desak Paul. Pada akhirnya, nada yang tidak mungkin dimainkan tersebut menjadi nada terakhir dalam solo “Penny Lane”.

Dua puluh enam album plus, sedikitnya tiga ratus lagu direkam oleh The Beatles menjadi wajah-wajah dari diri Paul. Karya-karyanya menjadi kesaksian atas perjalanan kreatif Paul. Dari mana ia berasal, apa saja yang telah ia lakukan, keberhasilan yang telah dicapai, kegagalan yang telah dilewati adalah sejarah kreativitasnya.

Secara esensial, Paul tidak dapat dibatasi dan dipenjara dalam satu karakter, sifat, kisah, genre, aliran, atau keterampilan bermusik. Ia menggunakan instrumen-instrumen musik dan memanipulasinya sedemikian rupa demi harmoni, melodi, dan aransemen yang ingin dicapai. 

Singkatnya, ia telah melakukan semua. Pertanyaan untuknya adalah hendak ke mana ia setelah ini semua?

Pertanyaan ini mungkin tidak dapat dijawab oleh McCartney 3,2,1. Bagaimanapun, film dokumenter adalah film tentang sejarah sesuatu, selonggar apa pun kita menggunakan definisi sejarah.

McCartney 3,2,1 adalah film dokumenter, dan berbicara banyak tentang sejarah Paul. Ia berbicara sejarah dirinya, orang tuanya, pertemuannya dengan Lennon dan Beatle lain. 

McCartney 3,2,1 berbicara tentang The Beatles dan prestasi-prestasi mereka yang tergolong sulit disamai oleh artis dan band lain. Ia juga berbicara tentang periode solo dan Wings.

Selain itu, film tersebut juga berbicara tentang aspek teknis dari karya-karya yang melibatkan Paul. Tidak ketinggalan, ia juga menyinggung permainan bass Paul yang dipandang sebelah mata. 

“[…] Saya adalah penggemar berat permainan bass (bassline)nya (Paul),” ujar Geddy Lee, pemain bass dari Rush dalam satu wawancara.” Beberapa bassline dari The Beatles betul-betul inventif, betul-betul tidak biasa, dan, mempertimbangkan musik mereka adalah musik pop, tergolong “sibuk”.

Meskipun begitu, film dokumenter ini tidak berbicara apa yang hendak Paul lakukan setelah semua yang telah ia lakukan. Ia sepertinya masuk ke dalam jebakan kreativitas berulang. Apa yang ia lakukan adalah pengulangan. 

Misal, secara konseptual, McCartney III yang ide dasarnya adalah merekam lagu-lagu di rumah dengan memainkan sendiri seluruh instrumen. Ide tersebut juga berada di belakang album McCartney (1970), Ram (1971), McCartney II (1980), dan Chaos and Creation in the Backyard (2005). 

Begitu pula film ini. Dengan dirilisnya The Beatles Anthology (1995), bentuk DVD dari proyek kolosal itu memiliki 10 episode. Tidak sedikit topik yang dibahas dalam film ini telah dibahas dalam The Beatles Anthology.

Karena banyak menyinggung The Beatles, dan tentu itu berharga, film ini kurang menyentuh proyek-proyek non-Beatles Paul. Sebagai contoh adalah album ini menyinggung salah satu album terbaik Paul, Band on the Run. Sayangnya, ia tidak membahas salah satu album favorit penggemar Paul, Ram

Tidak juga proyek eksperimental Paul, seperti The Fireman (kolaborasi dengan Youth), atau proyek musik klasik, seperti album Paul McCartney’s Liverpool Oratorio (1991), Standing Stone (1997), Working Classical (1999), dan album sejenis lainnya.

Hal lain yang patut disorot adalah interaksi antara Paul dan Rubin. Rubin memang membawakan perannya dengan sangat baik. Tidak ada keraguan tentang itu. Apa yang menjadi isu di sini adalah bagaimana kamera, latar, dan pembawaan Rubin terhadap Paul membentuk interaksi tidak setara. 

Dalam beberapa adegan yang sejenis, Paul duduk di atas sofa bercerita sembari memeluk gitar akustik. Sementara itu, Rubin bersila di atas lantai. Visualisasi ini seperti seorang kakek sedang mendongengi anaknya. Suara Rubin yang lunak (soft-spoken) serta bahasa tubuh yang menghargai kedudukan Paul juga menyumbang interaksi tidak setara ini.

Paul memang berusia lebih tua daripada Rubin yang lahir 12 hari sebelum album pertama The Beatles, Please Please Me dirilis. Karier Rubin sendiri melejit saat The Beastie Boys melepas album pertama mereka, License to Ill (1986). Karier Paul sendiri dimulai saat single pertama The Beatles, Love Me Do (1962) dirilis. 

Namun, film dokumenter ini membutuhkan karakter kritis terhadap sejarah teknis Paul. Orang-orang dengan karakter seperti George Martin (produser The Beatles) atau Nigel Godrich (produser Radiohead dan album Chaos and Creation) sebenarnya dapat dipertimbangkan,  

Mungkin bukan itu yang dibutuhkan oleh Paul untuk dokumenternya (Paul adalah produser eksekutif untuk dokumenter ini bersama Rubin). Mungkin ia butuh menegaskan perannya di dunia musik kontemporer; wasiatnya bukan sekedar lagu nenek-nenek. 

Paul seorang multi-instrumentalis dan bisa menciptakan musik dengan genre apa pun. Ia sejenius mitra menulis lagu The Beatles, John Lennon. 

Mungkin ia butuh meluruskan sejarah. Mungkin ia butuh wasiatnya diperteguh.

Jika benar, maka akan menariknya reaksi Paul terhadap kabar terbaru di mana satu film biopik tentang John Lennon sedang dipersiapkan. Anthony McCarten, penulis naskah Bohemian Rhapsody (2018), telah menyelesaikan skenarionya.

Jika begitu adanya, api kreativitas Paul kelihatannya belum hendak padam.

Skip to content