Editorial: 20 Tahun Reformasi: Konsolidasi Gerakan Progresif dan Keberanian Pemuda

Berhentinya Soeharto dari kursi presiden pada 21 Mei 1998 merupakan titik akumulasi aspirasi dan kemarahan rakyat Indonesia yang menginginkan kehidupan demokrasi, ekonomi, politik, dan keadilan sosial yang lebih baik. Puncaknya adalah ledakan massa di bulan Mei 1998 di berbagai kota sampai menduduki gedung MPR/DPR.

Ada enam tuntutan yang digaungkan para mahasiswa dalam usahanya membangkitkan reformasi yaitu penegakan supremasi hukum, pemberantasan KKN, mengadili Soeharto dan kroninya, amandemen konstitusi, pencabutan dwifungsi TNI/Polri, serta pemberian otonomi daerah seluas-luasnya.

Kini, setiap 21 Mei selalu diperingati sebagai hari lahir reformasi. Namun, saat ini, setelah dua dekade reformasi, bagaimana kondisi Indonesia saat ini?

Sebelum Soeharto dengan orde barunya lahir, proses transisi pergantian kekuasaan orde lama menuju orde baru masih menjadi pekerjaan rumah yang belum selesai. Dari putusnya gerakan progresif Indonesia, pembantaian simpatisan PKI, dan sejarah yang masih selalu disesuaikan dengan kehendak penguasa.

Selanjutnya, ditambah otoritarian dan represif Soeharto dalam menjaga kekuasaannya selama 32 tahun juga menambah catatan kelam dalam kehidupan demokrasi, ekonomi, politik, dan keadilan sosial di Indonesia.

Pengusutan pelanggaran hak asasi manusia selama orde baru dan saat proses transisi masih mandeg. Atau kita dapat melihat minimal dari kurang maksimal atau tidak tercapainya enam tuntutan para mahasiswa yang menginginkan reformasi. Hal ini pula yang menyebabkan masih banyak perkara yang belum tercapai bahkan setelah dua dekade reformasi.

Kekuatan tunggal yang terjadi di orde baru kini tergantikan dengan kekuatan oligarkis dari elite lama maupun baru yang mengisi lokus lembaga-lembaga negara di era reformasi. Kekuatan oligarki mengandalkan politik uang, kekerasan, dan politik identitas untuk mempertahankan dan atau merebut kekuasaan serta keuntungan ekonomi.

Adanya mantan aktivis reformasi dalam struktur kenegaraan juga masih belum mampu mereformasi sistem pemerintahan demi kesejahteraan rakyat Indonesia. Malahan terjerumus dalam politik predatoris demi menjaga kepentingan segelintir pihak.

Akibatnya, dapat kita lihat sekarang: menguatnya sektarianisme atas nama agama, intoleransi, diskriminasi, dan kekerasan kelompok minoritas, meningkatnya konflik agraria, ketimpangan jurang antara si kaya dan miskin. Tentu, ini adalah sebuah ironi.

Haris Samsuddin dalam analisisnya Mengenang Reformasi Sebagai Proyek Gagal mengatakan bahwa reformasi gagal karena disorganisasi gerakan civil society pascareformasi. Terdapat lima faktor yang menyebabkan kekuatan masyarakat sipil pasca reformasi mengalami disorganisasi dan proyek reformasi mengalami kemacetan.

Pertama, anasir gerakan masyarakat sipil yang memelopori gerakan reformasi tidak disatukan oleh sebuah visi kolektif. Kedua, gerakan reformasi cenderung didorong oleh faktor pragmatisme di kalangan masyarakat sipil. Ketiga, gerakan reformasi tidak disertai oleh pembentukan kelompok oposisi politik yang kokoh dan padu. Keempat, penghancuran gerakan masyarakat sipil oleh kekuatan oligarki. Kelima, pembiaran atas dikuasainya lembaga otoritas publik serta institusi demokrasi di tangan kekuatan elit politik lama.

Abdul Mughis Mudhoffir dan Andi Rahman Alamsyah dalam analisisnya Buasnya Sistem Politik Indonesia Halangi Upaya Reformasi dari Dalam oleh Mantan Aktivis juga mengatakan program kegagalan reformasi berpangkal pada tidak adanya gerakan-gerakan progresif terorganisasi.

Pendidikan politik masyarakat dilanjutkan dengan konsolidasi gerakan progresif dari berbagai elemen harus mampu membentuk suatu lembaga otonom yang berfokus pada kesejahteraan rakyat. Dua upaya penguatan ini diharapkan mampu menyelesaikan tujuan reformasi dan bahkan tercapainya cita-cita kemerdekaan Indonesia.

Pendidikan politik masyarakat ini harus disiapkan sejak saat ini. Apalagi Indonesia akan mengalamai bonus demografi pemuda di tahun 2045. Dalam sejarahnya, para pemuda turut berperan besar dalam perjalanan bangsa Indonesia. Pada akhirnya, kita bisa mendengar pesan Pramoedya Anata Toer untuk pemuda:

Jangan belagak tidak mengerti, kalian itu cukup mengerti apa yang kalian lakukan, lakukan yang terbaik untuk Indonesia dan untuk diri kalian sendiri. Jangan belagak bodoh, kalian cukup pandai, kalian cukup punya keberanian, kalian cukup punya keahlian mempersatukan semua angkatan muda. Bergerak, terus, sampai tercapai tujuan, dan selamat!”

Skip to content