EDITORIAL: Bias Kelas Aksi Penolakan Kenaikan Harga BBM

Indonesia sedang memanas. Kenaikan harga BBM adalah pemicunya. Selasa, 18 November 2014 harga premium yang semula 6500 menjadi 8500 sedang solar yang semula 5500 menjadi 7500. Penolakan terjadi dimana-mana. Demo yang dilakukan mahasiswa sampai saat ini masih belum membuahkan hasil.

Mahasiswa yang disebut sebagai agent of change ternyata selalu mentok ketika melakukan protes kenaikan harga BBM. Setidaknya dari awal tahun 2000 sampai sekarang aksi jalanan yang dilakukan oleh mahasiswa tak dapat mengubah keputusan pemerintah untuk menaikkan harga BBM.

Data dari Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia menunjukkan bahwa pemakai BBM 53 persennya adalah mobil pribadi, 40 persen sepeda motor, dan sisanya adalah angkutan. Inilah kemudian yang menjadikan bias kelas atas aksi yang dilakukan oleh mahasiswa. Untuk siapa kemudian aksi itu? Apakah aksi itu untuk kelas menengah ke atas? Harusnya pertanyaan itu yang lebih dahulu dijawab oleh mahasiswa agar dapat melakukan gerakan yang lebih strategis.

Selain itu dalam aksi yang dilakukan mahasiswa terkesan tidak sistematis dan cenderung reaksioner. Sentimen masyarakat yang selama ini terbentuk karena pemblokiran jalan dan kadang berakhir anarkis cenderung membuat masyarakat tidak simpatik.

Mahasiswa seharusnya berkonsolidasi dan berinteraksi terlebih dahulu dengan masyarakat sekitar untuk menemukan apa yang sebenarnya yang menjadi akar masalah atas dampak kenaikan BBM. Kemudian mencari solusi yang tepat dan mengimplementasikannya.

Mengorganisir masyarakat untuk kemudian menciptakan kemandirian adalah lebih strategis, jika hanya sekedar aksi reaksioner yang tidak mampu menggerakkan seluruh lapisan masyarakat. Contohnya seperti untuk para nelayan yang pastinya semakin tercekik dengan kenaikan harga BBM. Mahasiswa kemudian bersama nelayan mengembangkan bahan bakar alternatif seperti biodiesel untuk mengganti BBM dengan memanfaatkan lahan di sekitar pantai untuk menanam pohon Jarak.

Skip to content