Editorial: MEA 2015, Pertanian Indonesia belum Siap

Ditengah maraknya perdebatan mengenai kabinet maupun UU pilkada, masih ada hal lain yang perlu diperhatikan yaitu Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015. MEA 2015 merupakan sebuah kawasan ekonomi terintegrasi yang terdiri dari negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Negara-negara di kawasan Asia Tenggara ini akan dijadikan sebuah wilayah kesatuan pasar dengan 12 sektor usaha yang akan dibuka bebas baik barang maupun jasa. Meski didepan mata, namun masih banyak sektor yang belum siap menghadapi MEA 2015 salah satunya adalah sektor pertanian.

Menurut Deputi Bidang Statistik Produksi BPS Adi Lumaksono dalam Sosialisasi Hasil Sensus Pertanian 2013, Produk Domestik Bruto (PDB) sektor pertanian terhadap PDB nasional menurun dari 15,19% ditahun 2003 menjadi 14,43% ditahun 2013. Selain itu Badan Pusat Statistik mencatat nilai impor produk pertanian melonjak 346% selama periode 2003-2013 dengan jumlah penduduk pada tahun 2003 sekitar 214 juta orang dan tahun 2013 sekitar 252 juta orang. Hal ini menjadikan sektor pertanian membutuhkan perhatian khusus dalam menghadapi MEA 2015 mengingat impor produk pertanian semakin meningkat sedang PDB menurun. Apabila tidak, entahlah nantinya bagaimana nasib pertanian di negara ini terutama nasib Rumah Tangga Petani (RTP) yang hanya Rp 1,03 juta per bulan.

Tanpa melihat hal-hal diatas, secara langsung dapat dilihat beralihnya lahan petanian menjadi pabrik maupun perumahan. Mudah ditemukannya hasil pertanian mulai dari beras hingga buah-buahan impor yang bahkan lebih diminati masyarakat karena kualitasnya yang lebih bagus. Selain itu gagal panen entah karena hama, pengairan, maupun bibit yang kurang unggul masih terus berlanjut di beberapa daerah di Jawa Barat seperti di Indramayu yang dikarenakan kemarau yang berkepanjangan.

Indonesia adalah negara agraris dimana 34.4% tenaga kerja diserap sektor pertanian. Namum sayangnya 80% penduduk miskin Indonesia bergantung pada lahan pertanian. Di MEA kedepan mereka jelas terancam mengingat perdagangan lebih bebas antar negara-negara ASEAN. MEA mungkin memang menguntungkan untuk beberapa sektor seperti sektor pariwisata, namun untuk sektor pertanian saat ini masih berjalan tertatih. Pemerintah terkesan tak begitu memperhatikan sektor yang satu ini padahal sektor pertanian memiliki potensi pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Hal ini dibuktikan dengan ekspor produk pertanian dalam 10 tahun terakhir dari 3,69 miliar dolar AS pada tahun 2003 menjadi 4,21 miliar dolar AS pada tahun 2013. Selain itu bukan rahasia umum Indonesia memiliki tanah yang subur beriklim tropis yang cocok untuk bercocok tanam.

Masalah yang dialami sektor pertanian ini bukan hanya masalah kuantitas produk namum juga kualitas produk pertanian. Target kuantitas produksi tak seharusnya menjadi fokus utama pengembangan pertanian namum juga kualitas produknya sehingga dapat bersaing dengan negara-negara tetangga. Bibit unggul sangat dibutuhkan. Perairan, pupuk, dan pengendalian hama sama pentingnya dengan bibit. Tak hanya kegiatan tanam-panen saja yang perlu diperhatikan, namum juga kegiatan pasca panen seperti harga jual hasil panen.

MEA benar-benar didepan mata, hanya menghitung bulan. Pemerintah harus mengambil langkah untuk memajukan pertanian Indonesia sehingga kesejahteraan petani tidak semakin terpuruk di MEA nantinya. Transisi kepemimpinan yang sedang dialami Indonesia seharusnya tidak mengurangi fokus pemerintah menghadapi MEA kedepan. Pejabat baru harus segera bertindak. Semua bisa saja terlambat yang akan semakin susah diatasi. Bolehlah berharap dan berspekulasi MEA akan mendatangkan keuntungan besar, namun jangan juga menutup mata untuk sektor pertanian. Jangan juga hanya berdiam dan menunggu.

Serial Laporan Khusus:

Skip to content