Himmah Berbicara : Tinjauan Kritis Visi Maritim Jokowi

Minggu lalu (7/10) “Himmah Berbicara” mencoba mendiskusikan gagasan Joko Widodo terkait rencana pembangunan tol laut pada Desember 2014. Akan ada 24 pelabuhan di 50 kota di Indonesia yang disertai dengan pengadaan dan pembelian 609 kapal (kapal container, perintis dan kapal-kapal kecil) untuk mendukung jalannya konektivitas antar pulau. Hal ini untuk mewujudkan visi Jokowi yang mengusung arah gerak pembangunan Indonesia yang baru sebagai poros maritim dunia.

Dilihat dari sisi ekonomi dan pembangunan, Redaktur Artistik Himmah, Muhammad Hanif Alwasi sebagai pemantik diskusi kali ini mengutarakan bahwa tujuan pembangunan tol laut adalah untuk efektivitas biaya logistik. Karena dalam prakteknya, terjadi ketimpangan harga kebutuhan pokok antar wilayah Indonesia “Umpamanya di Papua bisa sampai 500 ribu. Padahal di Jawa ga sampai 500 ribu. Tapi apapun itu, yang namanya pembangunan perlu untuk dikritisi, jangan sampai kita terlena dengan gagasan yang sekiranya wah.” ungkapnya.

Menurutnya, proses pembangunan ini perlu ditinjau agar tidak mengorbankan rakyat kecil. Jangan sampai pembangunan malah justru menjadi produk elit dan hanya segelintir orang yang bisa merasakan manfaatnya. Yang ditakutkan nantinya adalah terjadinya developmentalisme yaitu pembangunan sebagai satu-satunya jalan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengatasi kemiskinan. Cara ini cenderung mengabaikan pemerataan ekonomi dan tidak memperhatikan keadilan sosialnya karena pembangunan dianggap solusi satu-satunya dalam menyelesaikan masalah kemiskinan.

Robert Chambers, mengatakan ada lima hal yang perlu diperhatikan dari kemiskinan yakni kemiskinan itu sendiri, kelemahan fisik, keterasingan, kerentanan, dengan ketidakberdayaan. Di sini Hanif lebih menekankan konteks keterasingan dan kerentanan. Dari segi keterasingan, masyarakat pesisir Indonesia terisolasi karena tidak adanya konektifitas yang memadai dan tol laut mungkin dapat menjawab hal itu. Lalu kerentanan adalah bagaimana nantinya kita dapat mengatasi terjadinya bencana dan musim panceklik. Seperti yang kita tahu, musim hujan adalah musim panen para nelayan, tapi tidak dengan musim kemarau. Mungkin ada usaha lain yang bisa diterapkan untuk menambal duit mereka. Hanif pun mewanti-wanti jangan sampai hal ini menjadi dalih untuk pemerintah kembali menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk membayar pembangunan tol laut

Arieo Prakoso, Staf Redaksi Himmah mencoba memandang dari aspek politik dimana menurutnya kebijakan Jokowi untuk memfokuskan tujuannya ke arah maritim ini cukup unik. Arieo berpendapat bahwa Jokowi perlu waktu yang sangat panjang untuk mempersiapkan ini agar tidak menguntungkan satu pihak saja. Ia seharusnya melakukan kajian tentang aspek-aspek apa saja yang perlu dilindungi. Harus ada sistem dan kebijakan yang jelas untuk mengatur dan melindungi agar masyarakat pesisir punya kapasitas yang besar untuk mendapatkan keuntungan.

“Kita jangan sampai dipolitisasi dengan visi Jokowi. Rasionalkah pembangunan ini?” Mochammad Ari Nasichudin sebagai Pemimpin Umum Himmah menanggapi. Menurutnya, visi Jokowi menimbulkan beberapa implikasi. Yaitu ke dalam aspek politik, lingkungan, dan pendidikan. Ada pergeseran sistem politik dimana awalnya masyarakat menganut sistem feodal atau kolonial. Dan pola ini tidak bisa dijalankan jika Indonesia belum cocok dengan kemaritiman itu. Hal ini menjadi tugas pemerintah untuk mengarahkan budaya politik Indonesia menjadi poros maritim dunia.

Selain itu, masalah kependidikan adalah yang paling mendasar. “Yang perlu dibangun bukan masalah fasilitasnya, tapi bagaimana membuat masyarakat Indonesia paham bahwa negara kita adalah negara maritim. Niat pemerintah ini bagus tapi sayang belum dipahami oleh masyarakat.” ucap Ari. Sosialisasi seharusnya mulai digencarkan dengan membangun pola pikir masyarakat bahwa Indonesia adalah negara matirim. Pembangunan itu mudah, tapi mengembangkan mindset-nya yang sulit. Begitu pula dengan lingkungan. Ketika masyarakat kita tidak paham dengan memanfaatkan lingkungan kemaritiman ini, imbasnya maka akan terjadi eksploitasi. Timbul pertanyaan sebenarnya apa saja indikator sebuah negara dikatakan maritim?

Hanif berpandangan bahwa idealnya suatu negara dapat dikatakan negara maritim tergantung dari kondisi geografis yakni wilayah lautannya lebih mendominasi daripada daratannya. Dan juga faktor sejarahnya dimana suatu negara dulunya memiliki angkatan laut yang kuat. Selain itu, poros maritim juga berarti menguasai perdagangan di sektor maritim itu sendiri seperti perikanan dan distribusi barang. Contohnya saja Sriwijaya. Hubungan Sriwijaya dengan antar negara yang dipisahkan dapat disatukan dengan armada laut yang kuat.

Hanif menceritakan bagaimana sebuah faktor sejarah membuat Indonesia melupakan laut. Dahulu, semenjak Belanda datang mereka membentengi dan menguasai pelabuhan. Pelayaran-pelayaran bahkan tiap kapal yang berlayar di Bali diteror, di bom oleh Belanda agar tidak melayar. Akhirnya kebutuhan pokok beralih ke sektor daratan dan ini yang menjadi momentum perubahan Indonesia menjadi negara agraris.

“Padahal wilayah laut lebih luas daripada darat, otomatis sumber daya ada di lautan. Dan kita tak akan cukup memenuhi kebutuhan dengan hanya mengandalkan sektor daratan. Karena daratan juga untuk pemukiman dan pembangunan lainnya. Namun kita jangan terlena oleh sebutan Indonesia menjadi negara agraris, kalau perlu pertanian tinggalkan bila tidak layak. Memang benar Jokowi perlu bangun mindset kemaritiman sebagai pondasi kebijakan berikutnya. Percuma jika punya mimpi gagasan tol laut tapi paradigma masyarakat berbeda, tidak satu paham.” tegas Hanif.

Sependapat dengan keduanya, Arieo kembali menuturkan bahwa pemerintah harus dapat menyamaratakan pendidikan masyarakat agar tahu bahwa Indonesia adalah negara maritim. Dan untuk menjadi poros maritim maka Indonesia perlu membangun konektivitas. Mungkin di jaman Sriwijaya, dia membangun konektivitas antar negara sehingga dapat berkuasa di wilayah Asia. Tapi dilihat dari sekarang, armada Indonesia belum banyak jumlahnya dan kebanyakan sektor kelautan kita dikuasai oleh orang asing. Arieo berharap pembangunan maritim ini bisa terealisasikan dalam jangka panjang. “Yang terpenting adalah semua masyarakat Indonesia harus paham dulu potensinya baru kita menyentuh akar sektornya itu.” jelasnya. Arieo menambahkan bahwa kemantapan ideologi juga merupakan kunci keberhasilan negara kita dimana tujuan awal pancasila serta faktor historisnya di kuasai oleh masyarkat luas.

Ari pun menyarankan agar hakekat kita sebagai negara maritim dimasukkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Sehingga nantinya visi ini dapat menjadi tanggung jawab dan acuan setiap pemerintahan. “Harus ada regulasi yang dipatenkan karena hitam diatas putih itu penting. Dan presiden sendiri kan menjalankan RPJPN. Semisal kita koreksi, yang perlu dibenahi RPJPN nya bukan Jokowi.” sambungnya.

Terlepas dari aturan, menyikapi saran Ari dengan pemberlakuan visi di RPJPN, Hanif merasa yang paling penting untuk disadari adalah dari segi filosofis, Indonesia adalah negara maritim dan landasan idealisnya adalah pancasila bahwa pancasila mengandung keadilan sosial. Tugas Jokowi adalah bagaimana mengaitkan maritim dengan pancasila dan bagaimana membangun penerapan ideologinya dan pemantapan ideologinya agar pembangunan ini menjadi pembangunan berkelanjutan.

Staf Pelita, Al-Aina Radiyah yang menjadi moderator pada diskusi ini, menyimpulkan bahwa program tol laut diharapkan dapat mengefisiensikan biaya logistik dan dapat menyelesaikan masalah keterisolasian khususnya bagi masyarakat kepulauan.

Serial Laporan Khusus:

Skip to content