The Mahuzes, Kami Tidak Butuh Beras

HIMMAH ONLINE, Kampus Terpadu – The Mahuzes merupakan film dokumenter mengenai bagaimana Papua yang direncanakan oleh pemerintah menjadi lumbung pangan Indonesia dan sumber energi. Program pemerintah tersebut diwujudkan dengan menjadikan lebih dari 1.2 hektare hutan menjadi sawah yang ditanami padi. Selain itu banyak pula pembukaan lahan untuk ditanami kelapa sawit. Hal tersebut tentu sangat berlawanan dengan kondisi lingkungan dan masyarakat Papua, dimana masyarakat papua mengonsumsi sagu, bukannya beras atau kelapa sawit. Selain itu, hutan adalah sumber kehidupan masyarakat Papua, dimana banyak pohon dan hewan yang dapat dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Bahan makanan yang biasanya mereka ambil gratis dan cepat dari hutan akan hilang, dan diganti dengan tanaman padi yang harus dikelola dan memerlukan waktu lama untuk panen. Masyarakat Papua banyak yang melakukan perlawanan. Mulai dari negosiasi, berdoa kepada sesepuh, tanam kepala babi, hingga pemasangan tulisan yang menyatakan bahwa tanah tersebut tanah mereka namun berujung perusakan. Pemerintah tetap diam dan menutup mata.

Bertempat di basement luar Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Islam Indonesia (UII), Minggu, 20 September 2015 lalu, nonton bersama dan diskusi film The Mahuzes ini dimulai dengan tanggapan dari salah satu peserta yang berasal dari Universitas Ahmad Dahlan yang menjabarkan tujuan pemerintah. Tujuan pemerintah menggodok agraria adalah karena reformasi agraria, dimana tanah tidak dikelola oleh individu namun kelompok. Hal tersebut dikarenakan, apabila tanah dikelola individu maka hasilnya untuk individu, sedangkan apabila tanah dikelola oleh kelompok maka hasilnya dapat didistribusikan. Yang difikirkan pemerintah adalah bagimana cara menstabilkan pangan nasional.

Melihat kasus di Nusa Tenggara Timur (NTT), bagaimana di sana pemerintah menjadikan NTT sebagai lumbung lebu, padahal masyarakat NTT khususnya Pulau Aru makanan pokoknya bukan tebu. Begitu juga dengan Papua. Digambarkan bahwa Papua adalah daerah yang kaya namun miskin. Ketika Papua dijadikan lumbung pangan nasional (padi dan kelapa sawit, sedang Papua produksi utamanya adalah sagu –red), apakah kita harus merampas hak mereka? Masalah di Indonesia bagian timur tidak hanya terjadi di Papua, namun juga daerah lain. Mereka (masyarakat Indonesia bagian timur – red) melakukan kekerasan karena hak mereka dirampas. Pemerintah seharusnya melakukan sosialisasi kepada masyarakat timur, bukan memberikan izin kepada investor dan membuat para investor kenyang. Masyarakat Papua yang selama ini dinilai bodoh sebenarnya tidak bodoh. Mereka tahu apa yang terjadi di tanah mereka dan mereka berani melawan.

Menanggapi hal itu, Mirza Iqbal, mahasiswa Psikologi UII berpendapat bahwa pada dasarnya pemerintah tidak memperhatikan psikologi lintas sosial. Hal tersebut dikarenakan pemerintah ingin menyamaratakan konsumsi masyarakat Indonesia, yaitu nasi. Seharusnya pemerintah mengembangkan apa yang ada di daerah masing-masing.

Desi, mahasiswa Farmasi UII dari Ambon, ikut menambahkan bahwa di daerah asalnya sebenarnya adalah daerah berpenghasilan sagu, namun sekarang sagu adalah makanan pokok musiman yang tidak setiap waktu ada. Banyak pohon sagu yang ditebang karena dinilai tidak mendatangkan uang. Mirisnya, banyak kepentingan-kepentingan yang masuk untuk membunuh adat-adat timur tersebut. Dapat dilihat bahwa pembuat film ingin mengatakan lucunya negeri ini, dimana daerah yang tidak membutuhkan padi justru ditanami padi, sedang daerah yang membutuhkan padi justru diberi semen (dalam kasus Rembang dan karawang maupun beberapa daerah lain). Di akhir penyampaiannya Desi mengajak mahasiswa untuk berkontribusi langsung dengan melakukan analisis dan memetakan kebutuhan masyarakat sehingga tidak hanya melakukan perlawanan saja.

Lalu Ary, alumni UII, mempertanyakan mengapa isu agraria begitu penting untuk dibahas ditengah banyaknya isu di sekitar kita. Hal itu menurutnya karena kebanyakan masyarakat hanya memperhatikan isu di sekitar mereka yang berhubungan dengan kepentingan mereka, terutama isu perkotaan. Isu agraria bisa dibilang isu desa, buka kota. Apabila Papua menjadi lumbung padi dan Jogja menjadi lumbung industri, maka akan menimbulkan konflik karena tidak sesuai dengan daerahnya (potensi-red). Kita sebagai mahasiswa jangan sampai terjebak dengan isu pemerintah yang alit dan koperatif.

Di sisi lain, Tegar, Mahasiswa Teknik Lingkungan UII mencoba sedikit menengok mengenai Amdal (analisis dampak lingkungan) PT Semen Indonesia di Rembang. Masalah amdal bukan hanya mengenai perusakan lingkungan saja, namun juga aspek lain, seperti aspek sosial, ekonomi, hingga kimia. Amdal jangan disalahgunakan seperti yang banyak terjadi saat ini seperti di Rembang. Di Papua banyak terdapat hutan adat. Sesuai Mahkamah Konstitusi No. 35 hutan adat bukanlah hutan negara. Sayangnya hutan adat ada yang berpindah dari tangan menjadi dikuasai negara lain seperti Amerika. Sejenak menengok kasus asap di Riau yang jelas-jelas ada kepentingan oknum tertentu disana demi membuka lahan untuk menanam kelapa sawit. Memang terlihat proyeksi masa depan yang bagus, namun tidak memperhatikan dampak lingkungannya. Untuk itulah Tegar mengajak untuk membangkitkan Indonesia, menguasai Indonesia, dan menguasai dunia.

Indra, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, mencoba melihat kembali pembahasan awal, yaitu masalah Papua. Menurutnya dalam melihat masalah seperti ini sebaiknya jangan hanya terfokus dengan masa Jokowi. Pada tahun 1982 transmigrasi telah dilakukan. Soeharto mengusir secara halus orang Jawa dengan tujuan menasionalisasikan beras. Mengapa kita harus memakan beras? Karena begitulah keinginan Soeharto. Pada 1986 Indonesia melakukan swasembada pangan yang puncaknya adalah, daerah yang tidak mengonsumsi beras dipaksa mengonsumsi beras. Selama ini yang dilihat hanya manusia yang terkena dampaknya, bukan sistem yang mengakibatkan dampak tersebut. Oleh karena itu banyak aksi mahasiswa yang menjadikan masyarakat sebagai obyek, dimana mahasiswa mengajak masyarakat yang terkena masalah untuk berdemo. Untuk itu, jangan memandang masyarakat sebagai obyek, namun pandanglah masyarakat secara obyektif dengan memandang berdasarkan apa yang mereka lakukan. Ketika masyarakat dipandang sebagai obyek, itu menyalahi kaidah-kaidah sosial, tanggap peserta lainnya.

Kemudian Indra kembali menyampaikan pemikirannya bahwa dengan melihat banyaknya tanah yang semena-mena dikelola oleh pemerintah seperti di Papua, maka dapat dikatakan bahwa konsep tanah yang dikelola oleh masyarakat dan pemerintah sebagai administrator saja, sudah terbalik, dimana semua tanah adalah milik pemerintah.

Evra, mahasiswa yang berasal dari Papua bertanya, “Kenapa tidak sagu yang diperkenalkan di sini (Jawa-red)? Ketika semua hutan sudah ditebang, air sudah teracuni, kita akan sadar bahwa uang tidak dapat dimakan.” Indra menanggapi bahwa menurutnya isu agraria sudah kompleks di Indonesia. Sudah 5000 konflik terjadi namun perlu ditanyakan lagi, apa yang mahasiswa lakukan? Mahasiswa sebaiknya membangun terlebih dahulu pengetahuan, membuang liberalisme, dan memeriksa lagi pengetahuan masing-masing akan permasalahan seperti ini.

Diskusi yang dibuka dengan pembacaan puisi oleh Indra sekitar pukul 20.00 WIB ini kemudian ditutup pula dengan pembacaan puisi oleh Novita sekitar pukul 23.30 WIB. Kesimpulan dari diskusi yang dihadiri kurang lebih 50 peserta dari berbagai universitas ini adalah bahwa tak hanya Papua saja yang mempunyai masalah dan membutuhkan bantuan, tapi banyak juga daerah lain yang bernasib sama. Selain mengkritik program maupun kebijakan yang dijalankan pemerintah, sistem pemerintahan yang berlaku juga perlu untuk kita kritisi. Mahasiswa sebaiknya ikut berkontribusi langsung dalam melakukan perubahan, bukan hanya dengan melakukan demo saja. (Siti N. Qoyimah)

Skip to content