Prinsip Jurnalistik pada Media Dalam Jaringan

HIMMAH ONLINE, Yogyakarta – Senin, 28 September 2015 Himmah mengadakan diskusi dengan Direktur Remotivi, Muhammad Heychael. Dalam diskusi tersebut membahas media dalam jaringan atau sering disebut media daring. Heychael menjelaskan bahwa Remotivi sebagai media watch (pemantau media) pada awalnya hanya fokus pada televisi. Namun, semenjak dia menjadi Direktur Remotivi bergerak dalam media umum yang memiliki fokus pada riset, media dan advokasi. Berbicara media mengenai online dia mengungkapkan bahwa ada hal menarik terkait penerapan prinsip jurnalistik.

Arieo Prakoso, Staf PSDM Himmah, menanggapi apa yang dipaparkan oleh Heychael. Menurutnya yang menjadi permasalahan adalah fungsi berita yang seharusnya memberikan rasa aman dan informasi yang benar justru menambah masalah ketika dimediumkan dalam media. Dia juga memandang permasalahan tersebut dalam sisi dunia informatika, dimana informasi sekarang ini sudah sulit untuk dibendung. Langkah yang mungkin dilakukan adalah menerapkan etika-etika jurnalistik dalam instansi tersebut.

Kemudian, Heychael mengontekskan prinsip jurnalistik dengan buku 9 elemen jurnalisme yang ditulis oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel. Bagaimana menerapkan etika tersebut dalam pengertian paling tradisional. Seperti salah satu media online yang beritanya diminta sangat cepat. Apakah masih mungkin menerapkan sembilan elemen dalam konteks medium yang menuntut kecepatan seperti itu.

Kholid Anwar, Pemimpin Redaksi Himmah, memberikan pandangan bahwa permasalahannya masuk dalam etika profesi dalam komunikasi sendiri. Ketika berbicara media online, seolah-olah ada pemakluman untuk tidak menerapkan kode etik jurnalistik. Permasalahan serupa berawal dari suatu media online dan pernah dipermasalahkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Dia juga memberikan usulan terkait bagaimana menerapkan etika jurnalistik. Dia mengatakan berita bisa dituntut cepat asalkan dapat meng-cover isi berita. Permasalahan itu muncul ketika apa yang diberitakan tidak ditindaklanjuti. Seharusnya ada verifikasi secara bertahap hingga berita itu benar-benar layak. Masalah lain pun muncul, ketika nilai berita yang dipasarkan membawa orientasi dari masalah pemilik media sendiri. Sedangkan orientasi yang dibawa oleh pemilik media hanya berpaku pada satu nilai berita.

Heychael menanggapi bahwa permasalahannya terletak di sana, secara teknologi media online memungkinkan cepat dan begitu juga dengan ekonomi politiknya. Dalam media pasti terdapat ekonomi politik untuk mencari laba. Sebagai contoh di salah satu media online, satu wartawan diminta untuk membuat 5 berita dalam satu hari, dalam logika memang tidak mungkin. Sehingga, wartawan menjadikan satu narasumber untuk membuat 2 berita.

Heychael melanjutkan dengan membandingkan bahwa proses di kelas dan di lapangan adalah dua hal yang berbeda. Ketika di kelas berbicara hal normatif, maka di lapangan merupakan sesuatu yang real. Oleh karena itu diharuskan untuk keluar dari normatif dan menghadapi kenyataan. Dia berpendapat bahwa harus ada dua hal yang berubah, bukan cuma media online mengikuti norma-norma jurnalisme tapi norma-norma jurnalisme juga harus mengubah dirinya agar adaptif terhadap media yang mengutamakan kecepatan.

“Ada tidak suatu formula yang memungkinkan hal seperti itu? Ada tidak formula yang bisa mendamaikan kecepatan dengan nilai berita dengan prinsip jurnalistik secara umum?” tanya Heychael kepada teman-teman Himmah. Di Remotivi hal tersebut juga menjadi persoalan, bagaimana menyatukan kecepatan dengan nilai-nilai jurnalistik mengingat situasinya sudah berubah dan terus berubah.

Nurcholis Ainul Rafiq Tri, Staf Jaringan Kerja Himmah, memberikan solusi konkret terkait pertanyaan tersebut. “Hal itu mungkin saja asalkan masyarakat mengerti terkait berita,” ungkapnya. Masyarakat harus memahami, diberikan pembelajaran seperti media literasi. Mereka harus bisa melakukan verifikasi terhadap kebenaran berita. “Kalau kita gak memberikan pembelajaran kepada pembaca sama aja bohong, mereka gak tahu kalau ada verifikasi lebih lanjut, “ katanya. Realitas media yang mencari keuntungan, membuat masyarakatnya yang harus diubah, mereka harus mengerti terkait verifikasi.

Nurcholis Ma’arif, Staf Penelitian dan Pustaka Himmah, juga memandang hal tersebut dari sudut pandang yang berbeda. Dia melihat media di Inggris seperti The Guardian, bahwa seorang wartawan yang menulis di media online harus bergelut dalam media cetak selama 4-5 tahun.

Heychael mendukung pernyataan Ma’arif bahwa wartawan tidak bisa hanya dijadikan sebagai penjaga. Satu-satunya solusi adalah memberikan masyarakat kemampuan yang setara dengan wartawan. Literasi media bisa dijadikan sebagai alat namun yang menjadi pertanyaan Haychael “Bagaimana menerapkan literasi media di masyarakat?” tanyanya. Di Remotivi sendiri yang berjumlah kurang lebih 10 orang sulit untuk menerapkan literasi media kepada masyarakat,” ungkap Heychael.

Berdasarkan kajian komunikasi, hal ini berkaitan dengan masalah kompetensi wartawan sendiri. Banyak wartawan yang tidak mengetahui kode etik jurnalistik. “Tidak semua wartawan yang sudah bergerak dalam media paham terkait itu,” papar Kholid.

Dalam media online tidak ada analitik hanya sekedar informasi. Di mana, wartawan itu hanya menulis informasi yang bersifat menjawab apa atau kapan tanpa adanya penjelasan seperti kenapa karena adanya ruang yang terbatas. Berdasarkan buku Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam bukunya Blur mengembangkankan jaringan pembaca dengan sistem kontributor. Di Amerika Serikat sudah menerapkan sistem kontributor, di mana kantor berita menyebarkan kontributornya di setiap daerah. Meskipun kontributor bukan seorang wartawan, mereka tetap dilibatkan dalam proses penulisan berita. “Mungkinkah Indonesia menerapkan sistem tersebut?” tanya Heychael.

Menanggapi hal terebut, Arieo memandangnya dari sisi kapasitas pengetahuan masyarakat yang kurang. Dia mencontohkan dalam kegiatannya menjalankan Kuliah Kerja Nyata dalam melakukan media literasi kepada petani di Desa Piyungan. Hal tersebut sulit untuk dilakukan.

Ketika berbicara media literasi, kebanyakan terjebak pada media penyuluhan. Media literasi bukanlah media penyuluhan yang bersifat komunikasi satu arah. Jika ingin melakukan media literasi kepada petani, hal yang harus diperhatikan adalah mengetahui apa yang paling dekat dengan petani dari media.

Wean Guspa U. juga menanggapi terkait media literasi pada petani. Menurutnya petani belajar dari pengalaman bukan dari media. Dia mencontohkan, ketika menggunakan pupuk A setelah menunggu hasilnya ketika pupuk A tidak berhasil maka petani akan beralih ke pupuk B.

Heychael menjelaskan bahwa untuk melihat berbagai dampak media khususnya televisi bagi petani, langkah yang dilakukan adalah mengindentifikasi dampaknya terlebih dahulu. Misalkan saja pengaruh sinetron terhadap petani. “Apa yang kita risaukan belum tentu menjadi suatu masalah atau berpengaruh dalam kegiatan sehari-hari petani, karena itulah kita perlu mengkroscek kebenarannya,” tutur Heychael. Sedangkan dampak televisi bagi anak, dapat dikurangi dengan menjadikan orang tua sebagai pemantau.

Heychael melanjutkan terkait media literasi yang berfungsi membereskan efek-efek yang mengarah pada horizontal, sedangkan masalah vertikal terkait masalah sentralisasi. Memang kedua hal tersebut haruslah beriringan. Arah gerakan media literasi dalah advokasi yang memfasilitasi. (Rabiatul Adawiyah)

Skip to content