Menutup hidung, itu yang pertama kali saya lakukan begitu tiba di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Piyungan, Bantul. Di depan, tampak gunungan sampah menyambut. TPA Piyungan merupakan tempat penampungan sampah terakhir di Jogjakarta. Setiap hari, tak kurang dari 60 truk bermuatan 4 ton sampah datang dari seluruh penjuru kota.
Luas TPA tersebut sekitar 10 hektar, terbagi menjadi tiga zona. Zona pertama luasnya 3 hektar, zona kedua seluas 4 hektar, dan zona ketiga memiliki luas 3 hektar. Di sekitar tumpukan sampah, terlihat banyak sapi. Sapi-sapi itu memakan sisa-sisa makanan di antara tumpukan sampah untuk bertahan hidup.
Selain sapi, terlihat pula banyak pemulung. Kurang lebih, 600 orang pemulung mengais rezeki di TPA Piyungan setiap harinya. Mereka tidak hanya berasal dari Jogjakarta, tetapi juga dari Sragen, Wonosari, dan daerah lainnya. Mereka memulung di TPA Piyungan karena sampah di sana cukup melimpah dan lebih mudah dipilah.
Terik matahari dan bau tak sedap sudah jadi teman setia. Pun kebersihan ikut dikesampingkan. Bagi pemulung-pemulung itu, yang terpenting adalah bisa membeli sesuap nasi untuk perut mereka yang minta diisi makanan.
Tidak semua sampah dipungut para pemulung. Semua tergantung dari pesanan juragan. Sebelum disetor, sampah yang telah terkumpul dipilah terlebih dulu. Sampah dikelompokkan menurut jenisnya, kemudian dikemas dalam bundelan-bundelan. Satu bundelan beratnya sekitar 15 kg, dengan harga Rp700,- untuk 1 kg plastik dan Rp400,- untuk 1 kg atom.
Setelah menyetor, uangnya tidak langsung diberikan juragan kepada pemulung. Mereka hanya mendapatkan secarik kertas yang berisi catatan hasil penjualan. Catatan-catatan itu diakumulasikan tiap sebulan satu kali.
Kini, TPA Piyungan menghadapi ancaman kelebihan muatan. Tumpukan sampah semakin menjulang. Sebabnya, tidak ada pemusnahan sampah yang sudah tidak punya nilai ekonomi. Tentunya, ini jadi persoalan yang butuh jawaban segera.
Narasi oleh: Revangga Twin T.
Sampah dari Jogya | Revangga Twin T.
Baru Bagi Mereka | Robithu Hukama
Tak Menyurutkan Nyali | Robithu Hukama