Erman tidak mau berleha-leha meski anaknya sudah berkecukupan.
Oleh: Galuh Ayu P.
ERMAN memakai kemeja putih rapi, celana kain berwarna biru, dan sandal bermerk “Swallow”. Bapak yang sudah beruban dan berumur 55 tahun ini, dengan ramah menawarkan barang dagangannya kepada orang-orang yang berhenti di depan lapaknya. Erman berharap ada orang yang berkenan membeli. Di lapaknya, Erman menjual poci, alat yang biasanya digunakan untuk menyeduh teh.
Poci-poci itu bukan Erman sendiri yang membuat. Ia membeli dari saudaranya, kemudian ia jualnya kembali. Erman membeli poci dari saudaranya dengan harga lima ribu rupiah per buahnya. Poci yang ia jual terbuat dari tanah liat pilihan.
Untuk membuat sebuah poci, tanah liat tersebut harus direndam dahulu. Sesudahnya disaring, baru diangkat dan kemudian dijemur hingga tanahnya menjadi agak kering. Jika hari sedang cerah, cukup diperlukan waktu selama dua hari untuk menjemurnya. Namun bila musim penghujan datang, waktu yang dibutuhkan bisa sampai satu minggu.
Setelah agak kering, barulah tanah tersebut dibentuk menjadi sebuah poci menggunakan mesin putar. Diperlukan keterampilan dan keluwesan tangan untuk membentuk tanah liat sampai menjadi sebuah poci. Kemudian jika sudah jadi, poci dipanggang menggunakan LPG agar mengeras dan siap dipasarkan.
Kekhasan poci yang dijual oleh Erman terletak pada tanah liat yang dipakai untuk membuat pocinya. Tanah liat yang digunakan benar-benar masih alami karena tidak dicampuri dengan bahan penguat ataupun pewarna. “Menggunakan bahan-bahan tersebut dapat mempengaruhi aroma dan cita rasa teh yang nantinya diseduh di dalam poci,” jelas Erman.
Rumah Erman bertempat di Kec. Klampok, Kab. Banjarnegara. Lelaki asli Tasikmalaya ini tinggal bersama istri dan satu cucu perempuannya yang sedang duduk di sekolah dasar. Istrinya mempunyai sebuah usaha catering. Dua orang anak perempuan dan satu anak laki-lakinya merantau ke Jakarta dan sudah bekerja di sana.
***.
MALAM itu alun-alun Wates, Kulonporgo sedang ada pasar malam. Alun-alun ini berada tepat di sebelah utara Stasiun Wates- dua puluh lima kilometer dari kota Jogja. Sudah satu minggu pasar malam terselenggara di sana. Ramai suara mesin-mesin permainan terdengar. Ada perahu kora-kora, kincir angin, odong-odong, dan beberapa permainan lainnya. Selain itu banyak penjual yang membuka lapak, mereka berlomba-lomba menawarkan barang dagangannya. Salah satunya lapak milik Erman, ia meletakkan poci-pocinya di atas sebuah meja kecil. Erman mulai membuka lapaknya dari jam lima sore sampai jam sembilan atau jam sepuluh malam.
Dari tahun 1998 Erman mulai berjualan poci. Erman biasanya berjualan poci dari satu pasar malam ke pasar malam lainnya. Pernah ia berjualan di pasar malam di Wonosari, Bantul, alun-alun Jogja, Solo, hingga Wonogiri. Erman membawa poci-pocinya dengan sebuah kardus dan menempuh perjalanan dengan menggunakan bis
Meskipun jenis barang yang dijual berbeda dari lapak yang lainnya, poci Erman cukup membuat beberapa pengunjung pasar malam tertarik untuk membelinya. Erman tidak mematok harga yang terlalu mahal. Dengan harga sekitar dua puluh ribu hingga tiga puluh ribu rupiah, sebuah poci sudah bisa berada di tangan pembeli. Jika sang pembeli pintar menawar, poci bisa didapatkan dengan harga yang lebih murah. “Yang penting sudah dapat untung,” ujar Erman. Poci Erman mala mini cukup laku.
Erman tidak ada kerabat di Wates. Setelah pasar malam tutup tiap harinya, Erman menutup lapak dan pergi ke Masjid Jami’. Ia tidur di sana. Sebelumnya ia sudah meminta izin terlebih dahulu kepada penjaga masjid.
Ketika adzan subuh berkumandang, Erman bangun dan menunaikan sholat. Setelah sholat Erman bersih-bersih masjid. Kemudian pergi ke pasar membeli sarapan. Kembali ke masjid dan menunaikan sholat Dhuha. Kadang sesudah itu Erman kembali tidur lagi, atau sekedar mengobrol dengan orang yang ada di masjid. Itulah kegiatan Erman selama di Wates sembari menunggu jam lima sore, ketika ia mulai membuka lapaknya kembali.
Meskipun harus berjualan dan tidur di masjid, Erman senang dengan usahanya. Dengan berjualan poci itulah Erman mampu menyekolahkan anak-anaknya, hingga mereka mendapatkan pekerjaan seperti sekarang ini. Hanya saja ada beberapa kendala yang kadang dialami Erman ketika membawa poci-poci dari rumahnya.
“Kadang capek, harus angkat junjung barang, soalnya berat. Apalagi kalau ada yang pecah di jalan. Ya itu tetap saya laporkan pihak pabrik. Diganti yaa alhamdulillah, kalau nggak yaa saya nggak papa. Rezeki ada di tangan Allah. Terus kendalanya kalau musim hujan itu repot, pasar malamnya jadi sepi,” jelas bapak berkulit putih ini.
“Pak, anak-anak bapak kan sudah mapan semua. Kenapa bapak masih susah-susah berjualan poci di pasar malam?” tanya salah seorang teman saya, Kholid.
“Sebenarnya anak-anak sudah melarang saya. Yaa saya jawab iya-iya saja. Tapi saya nekat. Itung-itung buat kegiatan sama hiburan, soalnya kalau terus-terusan di rumah saya jenuh. Omset jualan poci juga bagus, konsumennya banyak. Malah sama pemerintah disuruh memperbesar usahanya. Cuma karyawannya kurang, jarang ada yang bisa bikin poci. Terus kalau semisal nggak ada pasar malem yaa saya di rumah. Bantu-bantu istri jualan catering. Tapi saya seneng kok jualan poci di pasar malem. Soalnya di sini rame, jadinya bisa nambah banyak temen,” jawab Erman dengan tersenyum.