“Salah satu hal yang kita lakukan sampai sekarang adalah bagaimana mengalihkan kegiatan ekstraktif perburuan ini dengan kegiatan ekonomi produktif, ini yang kita lakukan untuk beberapa lokasi di Petungkriyono.”
Himmah Online–Owa Jawa (Hylobates moloch) merupakan primata endemik yang terancam punah. Berdasarkan International Union for Conservation of Nature (IUCN), Owa Jawa masuk ke dalam daftar merah dengan kategori endangered (terancam).
Primata yang sebagian besar hidupnya dihabiskan di atas pepohonan ini memiliki banyak keunikan. Salah satunya, Owa Jawa menjadi penyebar alami biji buah yang ia makan sehingga dapat menumbuhkan pohon baru untuk menunjang kesehatan hutan.
Selain itu, Owa Jawa merupakan hewan yang setia. Jika salah satu pasangannya mati, ia tidak akan mencari pasangan baru. Karena itu, populasi Owa Jawa sulit berkembang.
Primata endemik Pulau Jawa ini masuk ke dalam satwa yang dilindungi berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.
Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, populasi Owa Jawa hanya tersisa sekitar 2000-4000 ekor yang tersebar di beberapa kawasan konservasi dan hutan lindung di Jawa Barat dan sebagian kawasan hutan lindung di Jawa Tengah.
Berdasarkan buku “Bioekologi dan Konservasi Owa Jawa”, ancaman terbesar yang didapatkan oleh Owa Jawa berasal dari kerusakan habitat dan perburuan untuk dijadikan satwa peliharaan.
Minimnya populasi dan tingginya ancaman terhadap keberadaan Owa Jawa tersebut mendorong lahirnya Swara Owa, sebuah yayasan yang melakukan konservasi di Hutan Sokokembang, Kecamatan Petungkriyono, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah.
Reporter himmahonline.id berkesempatan mewawancarai Arif Setiawan sebagai Project Director Yayasan Swara Owa. Selama kurang lebih 40 menit, kami menanyakan awal mula lahirnya Swara Owa, upaya yang telah dilakukan dalam kegiatan konservasi dan pelestarian Owa Jawa, hingga tantangan yang akan dihadapi ke depannya.
Pria yang akrab disapa Wawan tersebut kami temui di Owa Coffee yang terletak di Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta pada Senin (18/07).
Sejak kapan Yayasan Swara Owa berdiri?
Secara official legal hukum itu, kita tahun 2017 dapat status yayasan dari Kemenkumham (Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia).
Tapi sebelum 2017, sebenarnya project atau kegiatan kita sudah mulai dari tahun 2006, itu penelitian, fokus di primata di Jawa. Nah, 2012 kita mulai project kopi dan konservasi primata yang (menjadi) cikal bakal Swara Owa.
Apa yang melatarbelakangi lahirnya Swara Owa?
Swara Owa itu visinya kita ya pengen menyuarakan kelestarian Owa, dan latar belakangnya memang dari jenis primata yang terancam punah di Jawa, Owa Jawa itu. Itu yang jadi inspirasi kita.
Dari banyaknya spesies yang ada di Jawa, mengapa memilih Owa Jawa?
Nah kenapa kita ambil Owa, karena bisa dikatakan jenis Owa ini tidak semua tempat ada. Hanya ada di tempat-tempat tertentu, ia habitatnya juga spesifik di kondisi hutan yang masih alami. Jadi tidak semua hutan itu bisa (menjadi) tempat hidup Owa.
Kenapa kita pilih Owa, karena biasanya kalau ada Owa, semua primata yang lain ada. Jadi ini bisa jadi salah satu indikator spesies juga, atau bisa kita istilahkan umbrella species gitu, jenis yang memayungi yang lain. Atau flagship (spesies yang khas) juga, karena ini (Owa Jawa) karakteristiknya ya unik dan hanya ada di Jawa.
Terus ia juga punya peran penting dalam ekologi sebagai penyebar pohon-pohon hutan alam. Jadi ia pemakan buah, terus salah satu fungsi Owa di hutan ya itu, menyebarkan biji-biji pohon hutan, membantu regenerasi hutan secara alami. Nah itu kenapa kita pilih Owa, karena dia bisa jadi indikator kesehatan hutan, kurang lebih seperti itu.
Mengapa kegiatan konservasi difokuskan di Hutan Sokokembang, Petungkriyono, Pekalongan?
Kenapa pilih di Petungkriyono, karena waktu itu, hasil penelitian kita menunjukkan bahwa populasi Owa di Jawa Tengah di situ paling padat. Dan ancamannya termasuk tinggi karena bukan kawasan yang dilindungi, bukan kawasan konservasi, jadi orang bisa kemanapun masuk tanpa ada pengawasan.
Nah kita pilih lokasi tertinggi populasinya dan ancamannya tertinggi, di situ kita pilih Petungkriyono.
Apa saja yang telah dilakukan Swara Owa untuk konservasi Owa Jawa?
Kalau ditanya konservasi ya, mulai dari penelitian, edukasi juga ada, yang lebih kita tekankan sekarang melibatkan warga sekitar hutan itu untuk menjaga hutan seperti apa, melalui peningkatan ekonomi sekitar hutan masyarakat sekaligus mendukung upaya pelestarian itu sendiri.
Nah itu yang kita lakukan di sini, jadi ya penelitian ada, edukasinya setiap tahun kita bikin acara short course atau pelatihan, jadi khusus meningkatkan regenerasi peneliti primata lah, seperti itu.
Jadi kita punya kelas khusus untuk mahasiswa yang tertarik penelitian Owa dan primata, nah kita sudah ada pelatihan khusus tentang itu. Terus kemudian kalau community development ya bagaimana menambah nilai dari produk-produk hutan yang ada di sana, itu yang kita lakukan.
Dari mana dana yang didapatkan Yayasan Swara Owa sehingga mampu melaksanakan kegiatan konservasi?
Oke, dana ini sebenarnya cukup penting dalam sebuah gerakan pelestarian alam di Indonesia, dan kita sendiri juga masih terbatas dengan hal ini.
Saat ini kita punya donatur tetap yang berdonasi untuk kegiatan ini, salah satunya ada dari Mandai Nature, itu di Singapura. Terus ada kebun binatang di Amerika, Fort Wayne Children’s Zoom, itu kebun binatang yang punya Owa Jawa juga.
Terus di Ostrava, Republik Ceko, itu donatur tetap kita yang tiap tahun ngasih donasi lah untuk kegiatan. Ada yang kita membuat proposal juga ada, dikirim ke beberapa lembaga seperti Mandai Nature, itu kita kirim proposal.
Mulai tahun 2014, kita mencoba mandiri dalam pendanaan, dan ini yang jadi concern kita saat ini, bagaimana kegiatan kita juga bisa memperoleh dana sendiri selain dari donatur dan membuat proposal.
Ada beberapa produk hutan, misalnya ada Kopi Owa, ini yang kita gunakan untuk fundraising atau sumber pendanaan. Banyak, ada kopi, ada madu, ada gula aren, kita juga bikin merchandise dan buku.
Kendala yang dijumpai selama melakukan konservasi?
Kalau di lapangan ya pasti kendala ada ya. Jadi memang kita mungkin keterbatasan resource misalnya. Ada beberapa warga sekitar hutan itu pengen, ‘Oh ini saya pengen mengolah ini [hasil hutan]’, tapi kita kan enggak tau caranya, enggak tau ahlinya siapa. Sementara kita sendiri background-nya dari peneliti semua.
Jadi kadang hal-hal yang di luar pengalaman kita itu yang benar-benar harus kita improvisasi dan mencari solusi yang praktis itu seperti apa.
Kalau di lapangan asyik aja. Tapi ya memang komunikasi dengan orang di sekitar hutan itu yang harus kita bangun. Kalau enggak intens, hanya ketemu sekali terus baru tiga bulan datang lagi ya itu kendala. Akan jadi masalah nanti, komunikasinya gak lancar gitu.
Tapi saya dan teman-teman mencoba kalau berkunjung enggak hanya saat kegiatan project, tapi urusan sehari-hari juga kita sering ke sana. Jadi itu, masalah komunikasi aja sebenarnya.
Bagaimana kondisi perburuan Owa Jawa saat ini?
Kalau bisa dibilang menurun, iya. Tapi belum berhenti seratus persen. Seperti kegiatan-kegiatan semacam penegakan hukum sudah banyak dilakukan oleh instansi pemerintah dan di level paling bawah.
Misalnya, kita ada Owa yang dipelihara pasti kita lapor ke yang berwenang, seperti polisi atau Polhut (Polisi Kehutanan) pasti akan direspon, dan itu juga ada dampaknya sebenarnya, bagus.
Perburuan untuk Owa sendiri yang sampai sekarang masih terjadi ya karena untuk binatang peliharaan karena anaknya lucu, seperti bayi kan. Perburuan Owa biasanya untuk diambil anaknya ini.
Nah untuk ambil anaknya ini, biasanya harus membunuh induknya. Jadi karena anaknya yang masih kecil itu dari 0-3 tahun itu akan selalu digendong, dia enggak bisa kayak langsung jalan sendiri. Owa ini kan kera, kera itu ya hampir sama dengan manusia, evolusinya itu sudah hampir seperti manusia.
Jadi untuk mendapatkan anak ini bisa dikatakan membunuh satu keluarga Owa, dan ini masih terjadi karena ini hutan di Jawa Tengah terutama, kan enggak ada kawasan konservasinya.
Sebaran Owa ini semua sangat terbatas sekali perlindungannya, dan orang bisa masuk karena enggak ada jalur patroli khusus. Orang bisa masuk ke hutan dari manapun. Nah ini yang mungkin masih terjadi.
Bagaimana Swara Owa mengedukasi para pemburu di sekitar Hutan Petungkriyono?
Salah satu hal yang kita lakukan sampai sekarang adalah bagaimana mengalihkan kegiatan ekstraktif perburuan ini dengan kegiatan ekonomi produktif, ini yang kita lakukan untuk beberapa lokasi di Petungkriyono.
Awalnya, kita berkomunikasi baik dengan para pemburu itu. Karena saat awal-awal kegiatan, kita memang butuh orang yang tahu hutan itu. Pemburu itu sebagai guide (pemandu) penelitian kita, untuk survei kita. Tapi secara tidak langsung, ini menjadi salah satu pendekatan kita untuk mengalihkan pekerjaan berburu.
Jadi mereka kita gunakan pengetahuannya, pengalamannya untuk ke hutan, tapi tidak dengan memburu, melainkan dengan menjadi penunjuk jalan di hutan untuk penelitian dan identifikasi pohon. Untuk lokasi yang banyak (Owa Jawa) ini kan pemburu tau semua, dari situlah muncul kegiatan yang lebih produktif.
Selain membantu penelitian, kita coba mencari pekerjaan apa yang sebenarnya terkait dengan hutan, terkait dengan Owa. Tapi bisa jadi alternatif mata pencaharian untuk mereka.
Salah satunya ketemu dengan beberapa produk hutan yang sebenarnya itu punya nilai ekonomi, nilai jual yang baguslah di pasar. Kita berangkat dari situ.
Ini yang kita coba dorong beberapa komoditi yang sekitar hutan itu untuk dikelola. Kalau itu sudah diapresiasi oleh orang dari luar, otomatis pemburu-pemburu ini akan berhenti berburu karena sudah ada pekerjaan, sudah ada sumber ekonomi.
Respons para pemburu?
Penolakan pasti ada, karena itu sudah jadi kegiatan yang dilakukan sejak lama. Namun, kita punya cara bagaimana berkomunikasi dengan mereka, lalu solusi apa yang sebenarnya bisa kita peroleh kalo berhenti berburu.
Ini masalah perut gitu kan, kalau orang belum makan ya gimana mau kita ajak menyelamatkan Owa Jawa. Simpelnya seperti itu bahasanya, ya pelan-pelan lah. Kita harus bisa membuktikan kalau misalkan enggak berburu, apa yang menghasilkan kegiatan untuk ekonomi.
Terkait kegiatan perdagangan Owa Jawa, bagaimana Swara Owa menanggulangi hal tersebut?
Karena ini rantainya kadang juga kompleks, kita berfokus bagaimana warga ini selain tinggal, juga sebagai ‘polisi diri’. Nilai penting keberadaan Owa di kandang atau dipelihara di hutan ini seperti apa. Nah, ini yang kita tekankan pada warga kenapa harus menjaga Owa.
Misalnya banyak orang, tamu-tamu dari luar, pengen lihat Owa. Mereka bisa merasakan manfaat Owa itu dari misalkan turis yang melihat Owa. Dia dapat manfaat ketika turis menginap di kampung, ada guide yang digunakan apa membantu pengamatan.
Nah, ini salah satu solusi kita untuk mengatasi hal itu. Jadi, bagaimana supaya warga ini juga merasakan nilai manfaat keberadaan Owa Jawa.
Apakah Swara Owa juga melakukan konservasi terhadap ekosistem tempat tinggal Owa Jawa tersebut?
Nah, ini lebih kalau ekosistem itu mungkin lebih luas lagi ya dari tatanan spesies. Jadi, upaya kita memang ini konservasi pelestarian spesies ini ya memang kita harus melibatkan, meng-include dan memasukkan secara keseluruhan ekosistem itu, atau bisa dibilang landscape.
Mulai dari level ketinggian bawah sampai pegunungan. Karena ini satu rangkaian dan sebenarnya kalau di Petungkriyono itu kawasan tangkapan air juga untuk kawasan di bawahnya.
Ekosistem yang luas pasti akan banyak manfaat yang bisa diperoleh dengan melestarikan itu dan kita juga berkoordinasi dengan pemerintah daerah, dengan pihak-pihak terkait untuk yang ngajak sama-sama menjaga dalam level yang lebih luas lagi. Landscape lah istilahnya.
Tidak hanya di Petungkriyono, tapi sudah melibatkan banyak pihak, banyak dinas, banyak kepentingan di sana kan. Ini yang coba kita dorong juga di sana.
Kerja sama apa yang dilakukan Swara Owa dengan organisasi atau instansi lain dalam konservasi Owa Jawa ini?
Salah satu yang kita tempuh di Petungkriyono ini adalah mendorong terbentuknya satu pengelolaan bersama. Kolaboratif pengelolaan hutan secara bersama-sama dengan banyak pihak yang terkait di sana.
Bagaimana menerapkan pembangunan yang kira-kira bisa dikatakan ramah terhadap hutan, ramah terhadap Owa. Pihak-pihak ini kita dorong untuk menerapkan kebijakan yang melindungi hutan Owa itu.
Kondisi Owa Jawa di Petungkriyono apakah bisa dikatakan cukup baik dibanding daerah lain?
Kalau dari hasil penelitian kita di seluruh Dieng ini ada 800 individu Owa Jawa itu tahun 2012. Mungkin sekarang ada perbedaan lagi, mungkin ini juga lagi disurvei ulang, tapi hasilnya belum ketemu.
Tapi dari tren apa yang kita amati di Sokokembang sendiri yang kita fokus ke sana, populasi bisa dibilang relatif stabil. Jadi dari awal yang kita sebut survei tahun 2012 sampai terakhir kita lakukan 2021 itu bisa dikatakan stabil lah, ada kenaikan ada turun gitu, tapi relatif stabil untuk populasi.
Dari satu kepunahan inikan bisa disebabkan banyak faktor, misalnya kondisi fisik hutannya. Misalnya semakin sempit, semakin berkurang kualitasnya. Mungkin eksternal ada perburuan dan lain-lain.
Ini yang mungkin bisa terjadi, karena ini kawasan Petungkriyono kan kawasan berkembang. Jadi banyak kegiatan atau aktifitas yang sedang dibangun di sana. Salah satunya wisata.
Pasti ada dampaknya ke populasi, apalagi kalau kita tidak hati-hati ke depan akan jadi seperti apa di Petungkriyono. Misalnya wisatanya apa ada yang wisata massal atau mau dibuka semua untuk tempat selfie itu otomatis akan hilang hutannya. Nah, ya ini yang jadi tantangan ke depannya, itu bisa jadi mempercepat kepunahan kalau enggak hati-hati.
Apa pesan Swara Owa kepada masyarakat dan pemerintah untuk mendukung upaya konservasi Owa Jawa?
Secara umum, Owa Jawa itu bisa dikatakan identitas kita juga sebenarnya. Kita dikenal negara lain, kita dikenal oleh orang lain ini tuh tidak hanya karena kita dari mana, tapi juga karena spesies itu sendiri, Owa Jawa itu ya hanya ada di Jawa.
Kita jaga identitas kita selain dia punya peran penting juga di hutan. Keberadaan Owa ini seharusnya bisa jadi nilai tambah untuk apapun yang ada di sana. Tidak hanya produk hutan, tapi juga wisata misalnya.
Menjaga Owa Jawa di habitat aslinya, kita pasti akan memperoleh nilai tambah secara ekonomi, sosial, budaya, dan politik, karena ini identitas kita.
Itu salah satu contoh saja hal yang sebenarnya masing-masing dinas-dinas punya peran penting juga untuk mempertahankan hutan dan Owa Jawa.
Reporter: Himmah/Farah Azizah, Firly Prestia Anggraeni, Muhammad Mufeed Al Bareeq, Nisa Widi Astuti
Editor: Zumrotul Ina Ulfiati