Aku dan Kecemasanku

“Namamu Putri, kan?”

“Benar, Tante. Mohon maaf, anda siapa?”

“Saya teman lama mamamu. Saya ingat mamamu pernah memperkenalkanmu di sebuah acara. Saya ingin mengunjungi mamamu, tapi saya sedikit lupa dengan lokasi pastinya.”

“Oh begitu. Tepat di ujung jalan ini, Tante. Rumah bercat putih, terlihat kok dari sini.”

“Itu yang bercat putih ada dua kan, Putri? Rumahmu yang besar itu atau yang kecil di sebelahnya?”

Percakapan itu singkat saja, namun aku selalu mengingat setiap detail kecilnya. Ekspresi Tante Sonya yang tanpa sungkan membandingkan, juga senyum mengejeknya saat berpamitan pulang. Usiaku saat itu masih belasan tahun, tapi percakapan itu masih terus kubawa ke mana-mana hingga belasan tahun lagi setelahnya.

***

Siang ini teriknya mencekik. Berkali-kali aku mengibas-ngibaskan tangan untuk membuat udara buatan. Sia-sia saja dan hanya membuatku bertambah gerah. Antrean panjang pengajuan SIM semakin mengular, sementara giliranku tampaknya masih lama. Setiap orang mengeluh panas dan haus. Ada juga yang mengeluh lapar. Rasa takut akan diserobot oleh orang di belakangnya membuat mereka berusaha betah dengan suasana yang kian menyiksa ini. Tak bisa dipungkiri, aku juga takut antreanku diserobot, tapi aku benar-benar tak lagi mampu menahan tubuhku sendiri. Saat mataku mulai berkunang-kunang, ada seorang lelaki muda yang menawarkan sebotol air.

Sejujurnya aku sangat ingin langsung menerimanya, membuka tutup botolnya, lalu meneguknya sampai puas. Tapi aku justru menggelengkan kepala, bahkan tanpa mengucapkan terima kasih. Percakapan dengan Tante Sonya kembali menghantui pikiranku. Aku merasa lelaki ini hanya ingin menghinaku. Seolah dia sedang memberikan sebotol air minum pada seorang pengemis. Bantuannya hanya bertujuan untuk mengolok-olok kemiskinanku. Jika aku menerimanya, maka ia akan tertawa terbahak-bahak di dalam hati. Menghina ketakmampuanku untuk sekadar membeli sebotol air minum.

Aku memutuskan terus bertahan di dalam antrean dengan kondisi yang memprihatinkan. Tiba-tiba semuanya menjadi gelap.

***

Semua kembali terang dan aku tiba-tiba sudah berada di dalam kamar. Kembali kuingat-ingat apa yang telah terjadi sebelumnya. Hal terakhir yang kuingat adalah antrean panjang, rasa haus, dan lelaki yang menghina kemiskinanku. Lamunanku buyar saat mama memasuki kamar–yang juga difungsikan sebagai gudang.

“Untung lelaki tadi tidak meminta upah setelah mengantarkanmu ke sini dari Samsat,” ungkap mama.

“Bagaimana ia bisa mengetahui alamat rumah ini?” tanyaku kebingungan.

“Mudah saja. Ia cukup melihat KTP milikmu. Selanjutnya ia tinggal menentukan rumah paling jelek di deretan jalan ini.”

“Sudah kuduga. Ia mengantarkanku ke rumah hanya untuk memastikan kemiskinanku, lalu bercerita pada teman-teman tongkrongannya tentang betapa menyedihkannya diriku.”

“Jika kau sudah tahu seperti itu, maka jangan sampai terulang kembali kejadian seperti ini. Sebab hal itu akan menambah daftar orang yang mengetahui kemiskinan keluarga kita.”

Mama pergi begitu saja, sementara aku kembali menyalahkan diriku sendiri. Seharusnya aku tak perlu pingsan. Seharusnya aku lebih kuat bertahan. Semua ini memang salahku…

***

Ungkapan mama tentang nasib kemiskinan kami selalu membayangi setiap gerak langkahku. Pekerjaanku sebagai penulis lepas di beberapa media kini meyakinkan hatiku bahwa aku memang terlahir dan ditakdir hidup dalam kubangan kemiskinan. Pernah seorang editor media online menghubungiku untuk meminta sebuah tulisan tentang masa depan bumi dalam jerat keserakahan manusia.

“Kira-kira anda meminta honor berapa untuk satu tulisan?” tanya editor.

“Terserah saja. Ada yang bersedia memuat tulisan saya sudah menjadi kebahagiaan terbesar dalam hidup saya,” jawabku.

Akhirnya, tulisanku dihargai dengan kurang layak oleh editor tersebut. Padahal ini bukanlah kesalahannya. Akulah yang meminta dihargai seikhlasnya, padahal di sisi lain aku juga berharap tulisanku dihargai lebih dari itu. Dalam kondisi seperti ini, aku hanya bisa mengaku kalah pada nasib. Aku memang dilahirkan dari keluarga miskin, maka masa depan yang gemerlap penuh cahaya hanyalah angan-angan yang tak akan pernah menjadi kenyataan.

Aku juga mulai membuat semacam keyakinan di dalam hatiku bahwa hidupku akan terus dinaungi kemiskinan selama-lamanya. Kemiskinan akan terus menjelma malaikat maut yang selalu siap menikamku dari segala penjuru. Juga tak akan ada orang yang bersedia dekat denganku dengan hati yang tulus. Semuanya hanya untuk menelanjangi kemiskinanku sebagai bahan ledekan, cemoohan, maupun hinaan. Aku tak perlu membuktikannya, sebab semuanya sudah sangat nyata di dalam hatiku.

***

Pagi-pagi aku sudah memenuhi perutku dengan sepiring nasi dan segelas susu hangat. Aku tak boleh kembali tak sadarkan diri, sebab SIM harus segera kumiliki untuk menunjang aktivitasku sehari-hari. Sesampai di Samsat, aku segera mengambil nomor antre. Tampak salah satu petugas mengamatiku dengan saksama dan cukup lama, seolah ingin memastikan sesuatu. 

“Apa benar anda bernama Putri Ayu Maharini yang tempo hari pernah ke sini, namun mendadak pingsan karena antrean yang terlalu panjang?” tanya petugas.

Lagi-lagi ada orang yang ingin merendahkanku di hadapan orang banyak. Meski kuawali berangkat pagi-pagi, tetap saja sudah banyak antrean manusia yang berbaris tidak rapi. Aku hanya mengangguk menanggapi pertanyaan petugas itu.

“Begini, mbak Putri. Anda tidak perlu antre, sebab saat anda pingsan, ada seorang lelaki yang memohon kepada kami untuk segera melayani anda saat anda kembali ke sini. Oh iya, lelaki itu bahkan meninggalkan KTP-nya sebagai jaminan,” ungkap petugas.

Kuamati wajah di KTP itu. Aku tersentak kaget. Itu foto lelaki yang menawariku sebotol air minuman. Perlahan hatiku mulai menghangat, malu telah berprasangka buruk pada lelaki itu juga pada petugas di depanku. Sepertinya, aku tak akan selamanya miskin…

Skip to content