Ampas Kopi Pengintip Takdir

Malam itu, aku dan dua temanku, seperti biasanya, duduk takzim di hadapan tiga cangkir kopi hitam, sepiring pisang goreng, dan tiga buah ponsel pintar. Tak ada percakapan penting selain umpatan kekalahan. Kondisi semacam ini akan berakhir kala gelas-gelas kaca di depan kami hanya menyisakan ampas, notif lowbatt, dan pemilik warkop yang mulai beres-beres tanpa kalimat pengusir. Sebelum beranjak, kusempatkan untuk bermain-main dengan ampas kopi di depanku. Dipersenjatai jari telunjuk dengan ampas kopi sebagai tintanya, iseng saja kubuat gambar sesukaku—semacam lukisan pasir, namun ini lukisan ampas kopi. Malam itu kubentuk segitiga, asap, dan letusan.

Salah seorang temanku berkomentar, “Lumayan juga hasil kreasimu, tapi serem sih.”

Aku hanya terkekeh pelan. Malam telah berganti menjadi ‘dini’ dan sunyi, seakan menyimpan sebuah misteri yang baru akan diketahui esok hari. 

***

Kontrakan mendadak gempar gegara celoteh samar teman-temanku yang membuat perdebatanku dengan Plato tentang Teori Imitasi terganggu. Ketika aku keluar dari kamar, salah seorang temanku langsung berteriak, “Nah, ini dia Si Pengintip Masa Depan.” Kondisi setengah sadar membuatku tidak bisa mencerna dengan baik kalimatnya.

“Tadi malam kau telah mengintip masa depan lewat lukisanmu dengan ampas kopi di atas lepek,” jelas temanku yang sepertinya sadar atas kebingunganku.

Aaahhh, aku masih ngantuk dan jangan ganggu mimpi berkelasku dengan ocehan aneh kalian,” selorohku.

“Lihat ini, kawan!,” ucap temanku yang lain sambil menunjukkan berita dari ponsel pintarnya. Dari layar ponsel pintar itu tertulis: Gunung Tangkuban Perahu Kembali Erupsi di Hari Rabu, 4 September 2019. Kantukku buyar, hatiku ambyar, dan pikiranku gusar. Bukankah tadi malam hanya sebuah bentuk keisengan? Tak lebih dari kegabutan seorang mahasiswa yang sedang menunggu teman-temannya selesai menunaikan kewajiban sebagai seorang pembeli terhadap penjual. Aku harus menyingkirkan dugaan-dugaan irasional tentang ampas kopi. Aku yakin itu hanya sebuah kebetulan dan bukan sebuah kemampuan.

***

Tahun telah berganti dan kejadian mengintip masa depan berlalu, begitu saja digerus oleh waktu. Aku memutuskan untuk tak bermain-main lagi dengan ampas kopi. Mungkin aku memang takut, tapi setidaknya itu bisa menghilangkan kegusaran hatiku. 

“Semenjak erupsi Gunung Tangkuban Perahu, tak kulihat kau melukis dengan ampas kopi lagi. Mengapa? Kau takut? Jangan kau pikirkan sebutan Si Pengintip Masa Depan, kami hanya bergurau. Kami percaya itu hanya sebuah kebetulan belaka,” kata salah satu temanku memecah keheningan di warkop langganan kami.

Sindiran temanku ada benarnya juga. Jika memang aku yakin bahwa itu hanyalah kebetulan, mengapa aku harus menghindarinya? Dengan menghindar, justru menunjukkan bahwa aku memang merasa mampu mengintip masa depan. Baiklah, setelah kopi ini habis, aku akan bermain-main lagi dengan ampas kopi. Tak ada lagi acara kabur-kaburan.

Di penghujung malam, kulihat gelasku hanya menyisakan ampas. Saatnya aku bertugas. Kubentuk lukisan kartun dalam wujud lingkaran-lingkaran kecil dengan duri-duri tumpul yang mengelilingi tubuhnya. Sekilas seperti bola mainan anak-anak yang bertekstur lunak, dipenuhi rambut, dan juga bisa menyala sambil mengeluarkan suara. Bulatan-bulatan kecil itu kuberi mata terbuka dan mulut menganga serta bersanding dengan para manusia. 

“Kau berbakat melukis dengan ampas kopi, kawan,” puji temanku. Kali ini aku yakin kreasiku tak akan menjadi kenyataan. Memang ada bulatan-bulatan kecil seperti itu yang bisa hidup dan bersanding dengan manusia?

***

Selang beberapa minggu, kontrakan kembali gempar. “Apa kubilang, dia itu memang bisa mengintip masa depan,” kata temanku sedikit berteriak yang terdengar hingga kamarku. Suaranya mengganggu ritualku melihat cuplikan menyayat hati skala internasional ketika Luffy kehilangan Ace di depan matanya sendiri. Keributan itu berhasil memancingku keluar dari kamar yang langsung disambut keroyokan teman-teman kontrakan yang berebut menunjukkan berita dari ponsel pintar mereka. Kubaca dengan teliti judul beritanya, tentang virus yang sedang menyerang salah satu Negara besar di Asia. Aku mengernyitkan dahi, apa hubungannya virus ini denganku? 

Seorang temanku yang lain berganti menunjukkan sebuah ilustrasi tentang wujud virus tersebut. Kini aku tak bisa berkata-kata lagi. Wujud virus dalam ilustrasi tersebut sama persis dengan lingkaran-lingkaran kecil yang kubentuk lewat ampas kopi beberapa minggu yang lalu. 

Aku tidak tahu apakah virus itu berbahaya atau tidak. Aku tidak tahu apakah virus itu akan berkunjung ke Indonesia atau tidak. Satu hal yang aku tahu, lagi-lagi ampas kopi kreasiku berhasil mengintip masa depan. Kabar buruknya lagi, teman-teman kontrakan benar-benar percaya dengan ampas kopiku—tak butuh waktu lama untuk menyebar ke seluruh penjuru kampus. Salah seorang temanku bahkan rela menjadi abdi-ku asalkan diterawang masa depannya. Kali ini apa lagi? Nasib dunia, manusia, dan sejenisnya apakah ditentukan hanya dari sebuah ampas kopi?

***

Hari-hari selanjutnya kugunakan untuk membuat solusi atas fenomena virus dari ampas kopi yang kubentuk. Sialnya, tak ada satu pun lukisan yang terbentuk. Hanya ceceran ampas kopi yang berserakan di atas lepek seperti kombinasi warna kulit sapi perah. Setiap berkunjung ke warkop, tak ada lagi sensasi nikmat menyeruput kopi, sebab buru-buru kuhabiskan bak meminum sirup agar bisa segera berkutat dengan ampasnya. Mungkin aku satu-satunya manusia yang membeli kopi untuk menikmati ampasnya, bukan airnya. Hasilnya tetap sama, aku seperti kehilangan sentuhan magis

Hingga di hari ke-21 pasca berita virus yang menyerang salah satu Negara besar Asia itu, datang salah seorang teman kelasku di kampus ke warkop langganan kami dengan mata sembab. Ia bercerita bahwa gadis cantik —bahkan paling cantik di kampus—yang ia cintai selama ini menolaknya mentah-mentah dengan alasan ia memiliki wajah yang biasa-biasa saja. Rasa cinta membuatnya lupa arti luka, hingga ia rela tetap menanggung derita dengan mencintainya. Ia percaya bahwa kelak gadis pujaannya tersebut akan mencintainya dengan tulus apa adanya seperti kisah-kisah di FTV tentang seorang gadis cantik kaya raya yang jatuh cinta pada seorang laki-laki yang biasa-biasa saja. 

Ia memohon kepadaku agar aku mengintip masa depannya dengan si gadis pujaan hatinya, apakah mereka akan berjodoh atau tidak. Melihat betapa merana wajahnya, tak tega aku untuk menolak permintaannya, meskipun aku tak yakin akan berhasil membuatnya. Akhirnya, kucoba lagi bermain-main dengan ampas kopi dan anehnya kali ini berhasil. Terbentuk sebuah siluet seorang laki-laki yang bergandengan tangan dengan seorang wanita. Seketika temanku langsung meloncat kegirangan dan berkata, “Sepertinya alam dan seisinya telah sepakat untuk membuatku dan dia tetap terikat hingga akhir hayat.”

***

Gegara ampas kopiku—yang aku sendiri tak pernah tahu apa maksudnya—temanku mulai sesumbar bahwa gadis tercantik di kampus akan menjadi istrinya. Perempuan-perempuan yang dulu menghinanya, ia hina balik. Setiap gadis yang bertemu dengannya, akan mendapatkan kultum bahwa setiap gadis tidak boleh meremehkan seorang lelaki yang biasa-biasa saja. 

Sayangnya, sesumbar hanya berlangsung selama sebulan kurang sehari. Sesumbar itu kabur tak berkabar saat sebuah undangan pernikahan antara si gadis pujaan hatinya dengan salah satu dosen di kampus tersebut, mendarat di tangannya dengan selamat. 

Aahh, baiklah. Lupakan tentang solusi virus dari sebuah ampas. Lupakan tentang ampas kopi yang bisa mengintip takdir. Terlalu naif menggantungkan urusan kehidupan hanya dari seampas kopi. 

Skip to content