Matahari menyorot lemah di antara sela-sela dabag rumah menunjukan waktu sudah mulai siang. Sudah satu jam lamanya Irkham duduk di atas risban yang terbuat dari kayu jati berwarna coklat yang sudah mulai pudar termakan waktu. Bagian kaki-kaki risban sudah mulai keropos dan memberikan ruang yang nyaman bagi rayap untuk tinggal dan beranak-pinak di dalamnya.
“Fitri sebentar lagi pulang, tunggu sebentar lagi ya Mas,” kata seorang lelaki tua, berkumis tebal lengkap dengan brewok yang mengelilingi bagian bawah wajahnya.
Entah sudah berapa kali laki-laki tua itu mengatakan hal itu. Ada perasaan jengkel timbul di hati Irkham acap kali mendengar perkataan lelaki tua yang kemudian Irkham ketahui sebagai ayahnya Fitri setelah melihat foto keluarga yang terpasang di dabag rumahnya.
Irkham lelah dan ingin keluar dari rumah yang lebih patut disebut gubuk itu, akan tetapi predikat bujang lapuk dari warga sekitar rumahnya menjadi alasan kuat kenapa Irkham masih bertahan di rumah itu untuk menunggu Fitri pulang.
Irkham sadar, ia sudah menginjak umur 35 tahun dan masih berstatus perjaka. Sebenarnya bukan keinginannya untuk membujang lama. Ia sudah mencari ke sana kemari yang sekiranya cocok untuknya, tapi tetap nihil. Pernah ia kenalan dengan perempuan bernama desi. Ia dan desi saling menyukai.
Sayangnya kisah cintanya dengan Desi tidak bisa dilanjutkan ke jenjang pernikahan. Desi menolak diajak menikah dengan Irkham lantaran Desi mengaku belum siap menikah. Hubungan keduanya pun putus karena Desi menghilang tanpa jejak.
Saat diketahui keberadaannya, ia sudah menikah dengan laki-laki lain. Sejak saat itu Irkham menyadari kalau Desi bukan tidak siap untuk menikah akan tetapi tidak siap hidup dalam kubangan kemiskinan. Irkham sadar kalau ia hanya seorang guru honorer, untuk membeli perlengkapan make up saja butuh dua bulan gajinya. Sakit tak berdarah akibat sayatan lembut dalam hatinya.
***
Untunglah dua hari yang lalu, Pak Satim berbaik hati mau membantunya mencarikan seorang perempuan. Kini, ia duduk di atas risban untuk menunggu orang yang ditunjukan oleh Pak Satim.
“Ir, aku punya sahabat karib. Dulu ia satu sekolah dengan saya. Namanya Pak Hasan. Beliau mempunyai anak perempuan. Namanya Fitri Nisfah sekarang masih mondok di pesantren Syarbini Hasan, Bantarsari. Kalau saya melihat Fitri, insyaallah cocok dengan kamu ir”. Kata Pak Satim, dua hari yang lalu di depan teras rumahnya.
“Kalau kamu mau, nanti tak temani kamu ke sana,” imbuhnya.
Kata-kata Pak Satim masih Irkham ingat dan menjadi penyemangat untuk tetap bertahan dan menunggu Fitri.
***
“Assalamu’alaikum,” seorang wanita berkerudung putih memakai baju gamis merah muda memberi salam.
“Wa’alaikumsalam,” kami semua menjawab serentak.
Irkham menoleh ke arah gadis yang baru saja masuk. Irkham tersenyum ke arah sang gadis. Senyuman Irkham hanya dibalas senyuman kecil dari gadis yang baru pertama ia lihat. Jujur! Irkham menaruh hati kepadanya. Senyuman bulan sabit gadis ini sungguh indah. Hati Irkham yang dulunya keras bagaikan besi seperti baru saja disiram timah panas. Lembut dan meleleh.
Fitri masuk ke dalam ruang tengah. Bayangan indah Fitri hilang tertutup gorden tua yang memisahkan antara ruang tamu dan ruang tengah.
“Fit, buatkan minuman, sudah lama tamunya datang tapi belum dikasih minuman,” kata Pak Hasan kepada anaknya.
Sejenak kemudian, Fitri masuk ruang tamu dengan membawa nampan kecil berisi 3 gelas air teh. Irkham melihat jari-jari Fitri yang lentik menaruh gelas-gelas itu di atas meja. Hatinya berdegup kencang menandakan ada perasaan yang berbeda dalam hatinya.
“Apakah ini cinta?”
“Fit, duduk sini dekat Bapak,” kata Pak Hasan memerintahkan anaknya.
“Nggeh Pak,” kata Fitri.
Suaranya terdengar anggun di telinga Irkham. Seperti suara burung berkicauan di pagi hari. Merdu dan menenangkan hati.
“Ini, Mas Irkham. Ia datang ke sini ingin ta’aruf denganmu,” kata Pak Hasan lembut.
Tak ada jawaban sama sekali dari Fitri. Fitri hanya mendongakan pandangannya ke arah Irkham lalu menunduk kembali. Gerakan itu memberi isyarat yang memberikan jalan mulus bagi Irkham.
“Apakah Mas Irkham mempunyai pertanyaan untuk Fitri?” tanya Pak Hasan.
“Iya Pak,” jawab Irkham tegas. Irkham ingin sekali mengetahui bagaimana kepribadian Fitri. Hal itu akan terlihat dari jawaban atas pertanyaan yang ia sampaikan.
“Dek Fitri, bagaimana pendapat Dek Fitri tentang poligami?”
Pertanyaan singkat dari Irkham. Pertanyaan singkat yang tidak mudah untuk dijawab. Perlawanan antara kebenaran dan perasaan. Kalaulah Fitri menjawab bahwa poligami adalah sesuatu hal yang tidak adil kepada wanita, maka secara tidak langsung mengatakan bahwa Allah Swt berlaku tidak adil sedangkan jika Fitri menjawab dan menyampaikan argumentasi yang narasinya menjorok kepada kesetujuannya, niscaya hatinya tidak mengimaninya.
“Poligami yang didasarkan atas keinginan nafsu semata, bukanlah poligami yang diajarkan Rasulullah SAW. Poligami seharusnya dilakukan karena ada kepentingan sosial yang harus ditegakan. Sebagai contoh, Rasulullah SAW melakukan poligami bukan karena beliau mengedepankan nafsunya akan tetapi ada kepentingan besar yang mendasarinya,” terang Fitri.
“Ada istri yang beliau nikahi sewaktu menaklukan Khaibar, pernikahan itu dilangsungkan agar penduduk Khaibar mau mengakui kedudukan Nabi Muhammad SAW. Selain itu, perlu diingat, istri-istri Rasulullah SAW semuanya janda kecuali Aisyah, hal ini semakin menunjukan bahwa poligami bukan sebagai legalitas pemuasan nafsu,” lanjut jawab Fitri dengan tegas.
Jawaban Fitri membuat Irkham semakin yakin dan mantap terhadap Fitri. Jawaban yang menggambarkan terhadap permasalahan sosial yang biasa terjadi. Penyalahgunaan poligami oleh kaum muslim. Pemikiran Fitri sungguh luas, itu tergambar dari jawaban yang ia kemukakan.
Irkham mengakui bahwa perempuan sekarang berbeda dengan perempuan zaman dahulu. Pengetahuan perempuan semakin meningkat bahkan tidak jarang yang melebihi kaum laki-laki.
“Masyaallah, jawaban yang sangat indah Dek Fitri,” Irkham menimpali atas argumen yang disampaikan Fitri.
Mendengar pujian yang disampaikan Irkham secara terang-terangan Fitri tersenyum sampai-sampai mulutnya terbuka dan terlihat gigi-gigi bagian depannya hilang entah kemana. Irkham kaget melihat gigi Fitri yang hilang. Ada perasaan bimbang muncul ke dalam hatinya.
Perasaan yang terus menggelayut dan membenamkan rasa keyakinan yang sudah mulai terbangun. Butir-butir cinta dari embun pagi sampai siang yang sudah mulai terkumpul di dalam ember seperti ditumpahkan begitu saja di atas tanah, hilang tanpa bekas.
Di tengah-tengah pergolakan hati Irkham, ia mulai mencari alasan harus bertahan dan meyakinkan hatinya kembali.
Bukankah mencintai itu karena Allah Swt bukan karena sebuah paras? Cinta sesungguhnya hadir dalam sebuah kehangatan dan kebersamaan. Bukankah manusia memang tidak sempurna? Pasti akan ada saja sesuatu hal yang menjadi kekurangan setiap manusia. Menerima Fitri sebagai istri bukankah suatu keberuntungan?
Fisik bisa diperbaiki akan tetapi akhlak akan sulit diperbaiki. Setidaknya hal ini akan menghilangkan gelar bujang lapuk yang melekat sampai berkarat padanya.
“Ah, siap-siap saja, julukan suaminya si Ompong akan menjadi gelar terbaru,” pikirnya dalam hati.