“Bangun! Bangun! Hujan racun!” Teriak si Baco dengan nada yang sangat keras. Teriakannya kali ini bertujuan untuk membangunkan teman-teman serangga yang lain, demi terhindar dari butir-butir air pestisida yang sengaja disemprotkan oleh Pak Tomba.
Pak Tomba adalah salah satu petani jagung di Selatan Surakan, sedangkan Baco adalah tawon yang berhabitat di perkebunan jagung Pak Tomba. Penyemprotan pestisida yang dilakukan Pak Tomba, sangat mengganggu keberadaan serangga yang ada di tanaman jagung, termasuk Baco.
Hari ini, ternyata Pak Tomba pagi-pagi sekali menyemprotkan pestisida pada tanaman jagungnya. Semua bertujuan agar arus angin tidak mengganggu proses penyemprotannya. Karena jika dilakukan pagi-pagi sekali, kondisi arus angin masih cenderung tenang.
Sementara itu, tak ada cara yang bisa dilakukan Baco dan teman serangga lainnya selain melompat dari tanaman yang satu ke tanaman yang lainnya sembari membangunkan serangga untuk segera menyelamatkan diri. Baco kemudian melihat sebuah pohon yang lumayan besar di pojokan kebun, dengan sigap ia putuskan untuk berlindung di balik pohon besar itu. Baco berhasil kabur bersama Leon, sedangkan serangga yang lain sudah kabur entah ke mana.
Rupanya kali ini tak banyak temannya sesama serangga yang berhasil kabur, banyak di antara mereka sudah terlanjur teracuni pestisida yang disemprotkan Pak Tomba. Mereka mati tak berdaya. Tempat perlindungan Baco dan Leon lumayan tinggi, sehingga membuat mereka dengan mudah melihat bagaimana pembantaian serangga terjadi di kebun tersebut. Baco tidak sanggup untuk melihat bagaimana teman-temannya yang lain meringis kesakitan sebelum mati keracunan.
Baco juga sesekali melihat Pak Tomba tertawa menyaksikan serangga berjatuhan di mana-mana, hal ini memperlihatkan pestisida dan waktu yang dipilihnya berjalan dengan baik. Rupanya melihat gaya Pak Tomba yang sangat bahagia tersebut membuat Tolle selaku tanaman jagung juga ikut kesal. Ternyata pestisida yang disemprotkan Tomba membuat Tolle ikut terkena dampak, ia ikut merasakan pusing karena sebagian batang dan daunnya terkena pestisida.
“Lihat saja, paling besok dia datang lagi membawa seonggok pupuk supaya saya bisa tumbuh subur dan melupakan penderitaan hari ini,” ucap Tolle dengan raut wajah yang tidak bersahabat.
Mendengar apa yang dikatakan Tolle, Baco dengan penuh kesedihan membalas perkataan Tolle, si tanaman jagung. “Kasihan sekali hidupmu, Tolle. Kau membiarkan Tomba dengan mudah mempermainkan tubuhmu. Hari ini dia membuatmu sedih, besok mebuatmu senang, mengambil apa pun yang dia butuhkan darimu. Memberimu obat kuat agar kau bisa bekerja keras untuk menciptakan buah yang besar, namun membuatmu menderita,” sahut Baco.
“Terkadang saya ingin protes, ingin mengamuk, sesekali berpikir tidak ingin menghasilkan buah. Namun hal itu sangat sulit untuk kulakukan, karena jika itu terjadi, maka saya tidak akan bisa hidup dan tumbuh,” jawab Tolle dengan nada protes.
Baco juga antusias, “Ya, saya juga. Saya hanya mengambil bagianku saja dari tubuhmu, menggerogoti kuman-kuman yang menghambatmu tumbuh. Tapi petani-petani itu malah membunuh bangsa kami,” tutupnya.
“Tolong!!! Tolong!!!”
Terdengar terikan meminta pertolongan yang sontak melerai keluh kesah antara Baco dan Tolle. Rupanya teriakan itu milik Maro. Maro ikut terkena tetesan pestisida sehingga membuatnya meringis kesakitan. Tanpa pikir panjang Baco bersama dua temannya menghampiri Maro.
Mereka memberikan pertolongan pertama dengan cara mengencingi tubuh Maro yang terkena pestisida, hal ini dilakukan dengan tujuan agar pestisida itu hilang dari tubuh Maro, “untung saja tubuhmu yang terkena masih dalam skala sedikit, jadi masih bisa bisa diatasi dengan cara pertolongan pertama,” ucap Baco kepada Maro sembari memperbaiki posisi tidurnya.
Oh iya, perkenalkan, Maro adalah serangga jenis belalang, dia merupakan serangga yang paling nakal di perkebunan jagung ini. Dia lah serangga yang sering jail kepada tanaman jagung, sering mencuri nutrisi tanaman jagung dan bahkan sering bekerja sama dengan petani asing–petani kebun tetangga–untuk meracuni tanaman jagung di kebun ini.
Karena merasa iba dengan kondisi Maro yang sangat rapuh, Tolle sengaja menjatuhkan daun keringnya dan memberikan isyarat bagi Baco dan Leon supaya membaluti tubuh Maro dengan daun tersebut. Tanpa pikir panjang dan dengan bantuan Leon, Baco mengangkat tubuh Maro ke tempat yang rindang dan teduh tepat dibawah batang Tolle, kemudian membungkus Maro dengan daun kering yang tadi agar dia tidak kedinginan sehabis diguyur air kencing. He he he.
“Mengapa kalian masih menolongku, bukankah selama ini saya sudah jahat terhadap kalian?” Tanya Maro dengan raut wajah yang malu-malu kucing.
“Sudah jangan terlalu dipikirkan, bukankah kau melakukan itu hanya dalam posisi terdesak, karena hutan yang selama ini tempat kau mencari nafkah sudah dijajah alias digunduli oleh para petani di daerah ini,” jawab Tolle.
“Iya juga, bukan salah kau juga sepenuhnya, ini cuma karena kondisi dan garis hubungan yang buruk memaksa kita saling menjatuhkan, demi keberlangsungan hidup,” pungkas Baco menanggapi dengan upaya untuk menenangkan Maro agar tidak telalu banyak pikiran.
“Saya juga terkadang heran, sebenarnya mengapa petani-petani itu memperburuk keadaan seperti ini, apakah ada yang memaksanya? Atau memang karna keisengan mereka saja,” ucap Leon yang merupakan jenis tawon yang sama dengan Baco akhirnya ikut berkomentar juga.
Maro kemudian menawarkan solusi dari keresahan teman-temannya. “Itu mungkin bisa kita tanyakan langsung kepada Pak Tomba,” tambah Maro.
“Tapi caranya bagaimana untuk bisa bicara dengan Pak Tomba?” Tanya Baco kebingungan.
“Nah, besok kan Pak Tomba pasti kembali untuk memberi pupuk kepada tanaman jagung. Sebelum menabur pupuk, dia sering saya lihat mencampur-campurkan pupuk yang satu dengan pupuk yang lainnya, mungkin waktu tersebut bisa kita gunakan untuk bertanya-tanya,” jawab Maro. “Tapi kan dia tidak suka dengan keberadaan kami,” Baco kembali mempertanyakan bagaimana cara untuk berinteraksi langsung dengan pak Tomba.
Maro tampak tenang menjawab keresahan itu. “Tenang, saya akrab dengan dengan dia, soalnya saya sering disuruhnya menaburkan penyakit di kebun tetangga. Jadi nanti biar saya saja yang menemuinya, nanti kalian titipkan saja pertanyaan padaku. Tapi tolong awasi saya dari jauh, kali saja pikirannya berubah dan malah balik menyerangku,” jawab Maro dengan sedikit meyakinkan.
“Oke kalau begitu, besok kita semua ketemu di pohon besar dekat rumah kebun milik si petani. Dan kau Tolle, cukup beritahukan kepada teman-temanmu untuk berpura-pura saja tidur nenyak besok pagi, biar kami saja yang bertindak. Tapi sekarang kita harus mengantarkan Maro dulu, pulang ke sarangnya, biar istirahat dulu, mudah-mudahan sudah kembali fit besok,” tutup Baco.
Rupanya sekumpulan serangga yang senasib dan tanaman jagung sudah mulai sepakat untuk melakukan protes terhadap petani. Dengan kondisi yang sama, tertekan, tertindas dan habitat mereka yang terjajah, membuat mereka dengan mudah terorganisasi demi tujuan untuk menyampaikan aspirasi mereka.
Namun mereka sangat sadar, yang dihadapi adalah sesuatu yang lebih cerdas, lebih kuat, lebih rakus dan lebih-lebih lainnya dari mereka. Jadi untuk langkah pertama hanya mereka-mereka saja yang melakukan pergerakan, dengan maksud menjalankan strategi pendekatan diplomasi terhadap penjajah alias Pak Tomba. Namun, jika langkah ini dirasa tidak berhasil, maka mereka akan menggaet massa yang lebih banyak lagi dengan kondisi yang sama untuk sama-sama berjuang.
***
Keesokan harinya, Leon terlebih dahulu sampai ke tempat yang mereka sepakati kemarin untuk bertemu. Cuaca masih sangat dingin, matahari belum juga menampakkan dirinya di bagian Timur sana. Leon mendengar ada suara yang aneh, seperti suara hembusan angin, tapi kali ini seperti sedikit berbeda bunyinya. Karena merasa curiga ada yang memata-matai pergerakannya, dia akhirnya memilih untuk berkeliling di sekitar pohon besar itu untuk mencari sumber bunyi tersebut. Setelah mengikuti arah bunyi tersebut, akhirnya dia sampai ke sumber bunyi itu, dia melihat ada serangga yang bersembunyi di balik dedaunan pohon besar dan dengan sigap dia sekap dari belakang.
“Ha, mau apa kau di sini?” Tanya Leon mengancam.
“Eh eh, ini saya, Maro. Sengaja saya tidur disini, biar nanti bisa bangun cepat kalau kalian sudah ribut berkumpul di sini,” jawab Maro dengan kaget.
“Oalah saya kira mata-mata Ro, sorry.”
“Baco mana?” tanya Leon.
“Belum datang,” jawab Maro sekenanya.
“Kalau Tomba sudah datang tidak?” tanya Leon lagi.
“Belum juga. Nah itu Baco sudah datang,” jawab Maro sambil menunjuk kehadiran Baco.
Tanpa basa-bassi yang lama, mereka langsung menyusun strategi dan menyarankan pertanyaan kepada Maro. Ternyata Leon sudah membuat kesepakatan lain dengan Ipo, Ipo ini adalah serangga jenis tawon yang memiliki sengatan bisa, mereka sudah bersiap diri sebuah pohon besar tepat disamping kebun Pak Tomba. Mereka sewaktu-sewaktu akan siap menyerang pak Tomba apabila Baco sudah memberikan instruksi. Rupanya Leon menyusun rencana ini sebagai bentuk protes terhadap petani apabila mereka tidak mendapatkan alasan yang jelas dari pak Tomba tentang apa yang dilakukannya kepada teman-temannya. Leon menyusun rencana ini sendiri tanpa memberi tahukan kepada Baco dan Maro, karena menurut Leon satu-satunya orang yang bisa mendengarkan keluh kesah para serangga di perkebunan tersebut hanyalah para petani, dan ‘apabila para petani ini tidak bisa membantu, maka sebaiknya dimusnahkan saja’,” kata Leon menggerutu dalam hati.
Setelah menunggu lumayan lama akhirnya pak Tomba yang ditunggu-tunggu datang juga. Tidak seperti biasanya, hari ini Pak Tomba datang teralambat, dia membawa sekarung pupuk di atas pundaknya. Maro dengan cepat mengambil posisi tepat di samping tempat Tomba akan mencampur pupuk. Maro sempat kebingungan bagaimana cara untuk memulai percakapan dengan Tomba. Namun dengan pengalaman pencitraan yang baik, dia akhirnya berhasil membuka obrolan, batuk-batuk adalah senjata utamanya.
“Ahak ahak ahak …”
“kau kenapa Ro? Kok batuk-batuk,” akhirnya Pak Tomba bersuara.
“Kurang tau ini, mungkin faktor udara,” sindir Maro.
“Kemarin kau kena juga pestisida itu? Hm, bagaimana lagi ya? Keadaan memaksa begitu,” ucap Pak Tomba sedikit cemas.
Melihat raut muka Pak Tomba yang tiba-tiba berubah seperti sedang bersalah, Maro kemudian menahan niatnya untuk melanjutkan dulu pertanyaanya. Dia lebih memilih untuk mengalah terlebih dahulu sebelum keadaannya jadi kacau. Pak Tomba kemudian hanya diam dan menyibukkan diri mencampur pupuk untuk ditaburi ke tanaman jagung miliknya.
Di sisi lain, Leon sudah tidak sabar untuk memberikan instruksi kepada Ipo supaya segera menyerang, namun niatnya itu selalu dihalangi oleh Baco.
“Sebenarnya saya sendiri tidak tega dengan apa yang saya lakukan terhadap kebun ini, terutama seluruh daerah sekitar kebun ini, semua hutan sudah digunduli, pohon-pohon ditebang semuannya. Daerah ini yang dulu udaranya sejuk, hutannya yang rimbun, hewan-hewan liar dan serangga seperti kalian bisa hidup tenang dan mendapatkan makanan dengan mudah. Namun semuanya sudah berubah jadi panas, gersang dan semakin hancurlah seperti ini, huft.” tiba-tiba Pak Tomba melanjutkan obrolan.
Mendengar cerita pak Tomba yang seakan-akan sedang curhat tentang permasalahaan petani, akhirnya Maro memutuskan untuk diam saja mendengarkan cerita tersebut. Dan tidak lama kemudian pak Tomba melanjutkan ceritanya.
“Kemarin malam kampung sebebelah kedatangan tamu ular piton, satu ekor kambing milik warga mati ditelan ular itu. Semua itu adalah imbas dari pembukaan lahan pertanian yang melebihi batas ini, Ro. Sebenarnya ya, ular piton itu tidak bisa disalahkan juga, karena tempatnya mencari mangsa sudah jadi kebun semua. Jadi ya mau tidak mau terpaksa harus memangsa ternak milik warga kampung,”lanjut Pak Tomba bercerita.
“Iya kemarin saya dengar cerita itu juga dari teman saya. Tapi sayang ya, ular piton itu mati diamuk warga. Tapi sebenarnya mengapa sih petani pada membuka lahan perkebunan secara besar-besaran?” Maro memancing pertanyaan.
“Saya jelaskan panjang lebar kau juga ga bakalan paham. Tapi begini saja intinya, sebenarnya kalau buat kebutuhan sehari-hari petani di sini itu sudah cukup. Cuma karena banyak juga yang butuh selain petani di sini, jadi kami harus menyiapkan juga buat orang-orang lain yang butuh itu. Istilah gaulnya yang sering diomongin petani di sini itu, untuk kami cukup, lebih malah, tapi untuk orang-orang di kota itu?” Terang Pak Tomba.
“Memangnya di daerah lain tidak ada yang jadi petani juga, mengapa harus daerah ini?” Tanya Maro penasaran.
“Ya ada juga, tapi sekarang petani itu sudah sedikit jumlahnya. Mungkin banyak orang melihat pekerjaan sebagai petani adalah pekerjaan yang hina, bekerja di bawah terik mata hari yang panas, dan penghasilannya yang sangat sedikit,” jawab Pak Tomba memperlihatkan muka yang sedikit kecewa. “Sudah dulu, kok malah curhat, saya mau menabur pupuk dulu, nanti siang lagi ngobrolnya kalau mau,” tutup pak Tomba sambil bergegas pergi menabur pupuk.
“Siyaaaappppp, Komandan!” Teriak Maro bersemangat karena ditawari untuk ngobrol oleh pak Tomba siang nanti.
Setelah Tomba hilang ditelan rimbunnya dedaunan tanaman jagung, Maro juga meninggalkan tempatnya, kemudian menghampiri Baco dan Leon yang sudah menunggu hasil wawancaranya dengan si petani. Tanpa bercerita pun, Baco dan Leon sudah tahu isi percakapan Maro dan Pak Tomba tadi setelah menguping di balik karung pupuk bertuliskan Pupuk Subsidi, Tidak Diperjualbelikan yang baru saja dibeli Pak Tomba pagi ini.
Tanpa sadar Baco, Tolle, Leon dan Maro secara bersamaan menggerutu dalam hati masing-masing.
“Hmmm ternyata di balik penderitaanku, ada juga yang lebih menderita. Dan untuk kau orang-orang yang semena-mena, di balik kesemena-menaanmu, sesungguhnya ada orang-orang yang bersusah payah menderita karena ketamakanmu itu.”