Gaung Revolusi di Dalam Sebuah Bus

Jam 9 pagi lewat beberapa menit aku menaiki sebuah bus antar provinsi di terminal A (karena beberapa alasan aku tidak akan menyebutkan nama tempat itu). 

Ada rasa senang mendapatkan bus pagi ini. Aku memilih jadwal pagi ini agar bisa menikmati pemandangan alam yang seharusnya sudah masuk musim hujan. 

Namun banyak daerah belum juga turun hujan, petani tentu mengeluh. Sementara itu para akademisi masih saja membicarakan perubahan iklim melalui seminar-seminar.

Mereka mencari apa penyebab musim kemarau berkepanjangan ini, tetapi tidak mampu menemukan cara mengatasi kemarau berkepanjangan yang menyusahkan banyak orang. 

Para penguasa yang menggencarkan investasi terus saja menggunduli hutan, meratakan gunung-gunung, dan membuat kering badan sungai nyaris sepanjang tahun. 

Sumber air yang telah ada sejak ratusan atau ribuan tahun lalu tiba-tiba kerontang. Orang-orang tetap mengeluhkan kesulitan mendapatkan air bersih untuk kehidupan sehari-hari.

Di dalam bus penuh sesak dengan banyak penumpang. Tempat duduk yang disiapkan bus ini sudah terisi penuh. Beberapa penumpang yang baru naik terpaksa memilih untuk berdiri, termasuk aku sendiri. 

Salah satu penumpang terpaksa harus turun, sambil berucap pada bapak Kernet yang berada di pintu belakang.

Tak tunggu yang berikut aja, Pak.”

“Ini paling juga di depan banyak yang turun,” balas Pak Kernet sedikit merayu.

Ucapan Kernet ini juga seolah menguatkan semangatku untuk menumpangi bus ini. Meski tahu penuh penumpang, pandanganku masih mencari-cari kursi yang kosong, berharap ada yang memberi kesempatan. 

Desak-desakan para pedagang menawarkan proses transaksi juga kadang mengganggu posisi berdiriku, yang juga ikut mengganggu mereka yang sudah terlanjur nyaman pada kursi bus.

Bus melaju keluar, dan di pintu keluar terminal beberapa pedagang dengan cekatan melangkah menuju pintu untuk turun. Bus berhenti, pedagang bergegas turun semua. 

Dua orang naik lagi dari pintu belakang. Satu di antara mereka berpakaian seragam polisi, lengkap dengan sepatu boneng hitam kebanggaannya yang dibeli dengan keringat rakyat yang kini sedang berdesak-desakan di dalam bus ini juga. 

Seorang lelaki berpakaian compang-camping membawa juk (gitar kecil) ikut masuk bersama dengan Pak Polisi. Sungguh rupa-rupa benar penumpang bus seperti ini.

Kebetulan tempatku berdiri semula dekat dengan pintu belakang, yaitu di posisi paling ujung. Setelah aparat negara berseragam coklat itu masuk, ia mengambil bagian di sampingku (otomatis ia menjadi yang paling ujung berdiri). 

Aku digeser menjadi nomor dua dari ujung belakang. Pengamen meminta permisi lalu mengambil posisi ke bagian tengah. Bus melaju lagi.

Pengamen memulai pekerjaannya. Tapi ia tak mampu menarik perhatianku. Aku memperhatikan beberapa tempelan pada bagian bahu baju pak polisi, mencari tahu apa pangkatnya, untuk kuajak ngobrol sesuai tingkatan pangkatnya. 

Namun, sepertinya ia telah mencopot identitas tersebut. name tag-nya juga agak sulit aku baca karena posisi hadap kami searah dan aku tidak mungkin menengok ke bagian dadanya dengan menundukkan kepala ke depan. 

Ah, lupakan saja keinginan untuk ngobrol. Apalagi ngobrol dengan petugas negara macam ini.

“Tujuannya mana, Mas?” Pak Kernet bertanya sambil memandang padaku. 

“Mau ke kota Z, Pak,” jawabku sekenanya.

“Bentar ya Mas, di depan (kota B) banyak yang turun,” Pak Kernet mencoba menghiburku. 

Aku hanya menganggukan kepala. Aku merasa dihipnotis karena Pak Kernet melihat ulang rute penumpang dari tiket yang ia pegang. Memastikan bahwa omongannya serius dan jujur.

Sekitar dua puluh menitan dari terminal A, beberapa kursi mulai ditinggalkan penumpang yang turun di tempat tujuan mereka, kota B seperti yang dijanjikan Pak Kernet barusan. 

Alhamdulillah, aku dan Pak Polisi mendapat kesempatan untuk duduk di kursi karena tempat duduk yang kosong ini tepat pada posisi aku dan Pak Polisi berdiri. 

Beberapa penumpang masih berdiri. Pak Polisi duduk di kursi baris kedua dari belakang dan aku duduk di kursi baris ketiga, kursi bagian tengah bus dekat dengan jalan lorong tengah.

Di luar jendela ada penampakan yang menurutku aneh dan lucu. Sisi bagian kanan bus, menampilkan bentangan tikar aspal yang tampaknya tak berujung. Ditopang oleh ribuan pancang beton yang berdiri kokoh di atas lahan sawah yang kehilangan air.

Bentangan jalan beraspal itu terbagi menjadi dua jalur untuk kendaraan yang melaju di atasnya, dibatasi oleh tembok-tembok batu setinggi satu meter. 

Kedua sisi hamparan  dipagari kawat duri. Mungkin jalanan itu enggan bertetangga bersama pohon-pohon tanpa dedaunan yang berdiri pasrah memohon hujan. 

Sedangkan di sisi bagian kiri bus, empat buah besi tua kecoklatan dikerumuni koloni kerikil-kerikil batu, sedang berbaris menentang sinar matahari. Siap menjadi orbit untuk dikangkangi teknologi ular besi. 

Mengantarkan mobil dan kendaraan buatan pabrik besar entah dari mana itu masuk ke desa-desa, lalu menukarnya dengan hasil bumi yang bermutu. 

Diangkut menuju kota-kota yang juga entah di mana. Menuju Amerika, menuju Eropa, menuju seluruh Dunia. 

Rinduku pada bantal lebih besar daripada pemandangan-pemandangan kering-kerontang yang membuat muak dan kurang menggoda sepanjang jalan. 

Sejak kekuasaan tiran para oligarki yang berpihak investor itu memenangkan pemilu dengan cara menipu rakyatnya, aku sudah tak berselera lagi menikmati pemandangan seperti ini. 

Maka dengan terduduk di dalam bus, aku melepas kantuk yang sejak semalaman menyiksaku demi menikmati kopi malam bersama saudara sedaerah.

Tas ransel aku peluk supaya tidak mengganggu sandaran tulang belakangku pada kursi bus. Tidak ada bawaan berharga di dalamnya selain sebuah sarung dan beberapa kaos. 

Sebuah syal etnik pemberian ibuku yang selalu kubawa kemana-mana saat bepergian baik jauh maupun dekat menutupi wajahku. Dunia mulai gelap dan semuanya seolah hilang dalam bayang.

***

“CUUKK,” perasaanku menggerutu. Kaget, kesal, dengan cepat kusibak syal yang menutup segala keanehan ekspresi wajahku waktu tidur. Pandanganku segera mencari-cari. 

Seorang lelaki bertubuh pendek muncul dari arah belakang. Tangannya mencengkram rambutku bersama bagian atas kursi tempat dudukku. 

Aku seolah dijambaknya. Kemarahan menguasaiku, moralitas mengajakku berpikir ulang. 

Bentuk fisiknya membuatku jatuh kasihan. Ia sepertinya membutuhkan medium pembantu. Berusaha melewati kepadatan manusia yang sedang berdesak-desakan membutuhkan sebuah ruang. 

Orang ini tidak membawa apapun di tangan, sebuah topi menutupi rambutnya, terus maju, maju dengan bersusah payah. Tanpa menyadari sesuatu telah ia perbuat padaku.

Tatapanku masih saja mengikuti perjuangannya untuk sampai ke depan. Mencoba mencari tahu di mana ia akan mendapatkan tempat yang layak. 

Penglihatanku terhalang oleh mereka yang berdiri lebih banyak lagi dari sebelum aku terlelap. Benakku masih berputar pada sosok orang itu.

Tak lama kemudian, ada suara memenuhi ruangan bus. “Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh, salam sejahtera, selamat siang”

“Permisi Pak Sopir, dan kedua krunya yang sedang bekerja, mohon maaf sebelumnya dan bla bla bla…” 

Ocehan itu terasa seperti uluk salam dan permohonan seorang tamu yang meminta izin pada tuan rumah. 

Setelah kuselidiki lebih teliti ternyata yang bicara adalah lelaki pendek yang tadi telah menjambakku.

“Para penumpang yang sedang melakukan perjalanan, mohon maaf  kalau saya sedikit mengganggu perjalanan Anda semua.”

Suara itu masih terus layaknya seseorang hendak berpidato sebelum sampai pada isi dan inti pembicaraan.

Aku yang duduk sebagai penumpang, semakin tidak karuan. Kekesalanku atas tindakannya barusan mulai berlipat ganda. 

Suara dari mulutnya hilang sesaat, namun bunyi-bunyian dari beberapa logam yang saling bersentuhan dalam gerakan yang tidak karuan mulai memenuhi udara. 

Entah di mana ia menaruh logam-logam itu, yang jelas bahwa barusan saat ia lewat, tangannya menggenggam udara hampa. 

Mungkin itu memang bagian dari strateginya untuk mencari makan. Mengelabui aparat yang menjalankan aturan pemerintah terkait larangan ngamen. 

Menghindari operasi Dinas Sosial setempat yang menyarankan masyarakat tidak memberikan sesuatu kepada pengamen ini. 

Aku menutup mataku lagi. Mengambil posisi melanjutkan tidurku yang sempat terganggu. Mencoba apatis terhadap lingkungan sekitar.

“Buruh tani, mahasiswa, rakyat miskin kota…”

Suaranya muncul lagi dengan nada dan pengaturan napas yang sedemikian rupa. Menggema bersama bunyi logam-logam saling mendukung satu sama lain. 

Aku terkejut, kaget kalang kabut melebihi cara ibu membangunkan anaknya dengan cara membawakan air dan sapu lidi di waktu pagi semasa sekolahku dulu.

Daun telingaku bangkit tersentak siap menerima semua gema suaranya. Semua tindakannya atas diriku barusan seolah termaafkan dengan lagu yang ia bawakan. 

Hatiku meluas samudra, menghapus segala kesalahannya. Pentasnya memercik seluruh jiwaku seperti kebakaran yang menjalar pada padang ilalang.

“…Bersatu padu rebut demokrasi

Gegap gempita dalam satu suara

Demi revolusi sejati…”

Kata “revolusi” sampai di gendang telingaku. Aku hafal betul lirik lagu ini. Sebuah lagu wajib yang sering dinyanyikan saat menyampaikan kritik-kritik di muka umum. Menjadi suluh semangat saat menyuarakan kebenaran-kebenaran di pertigaan depan kampusku dulu. 

Dendang harapan anak bangsa demi menjalankan tugas suci melalui jalanan. Kepalaku muncul dari samping kursi, menengok belakang ke arah Pak Polisi. 

Memastikan ekspresi apa yang ditampilkannya. Tidak ada yang aneh di wajah Pak Polisi, ia diam, matanya terbuka pertanda sedang sadar dan mendengarkannya juga. 

Ketidakadilan menuntut hadirnya revolusi, bukan hanya sebagai sebuah harapan, namun sebagai solusi yang wajib untuk diwujudkan menjadi nyata. 

Revolusi juga sejarah yang melekat erat dalam diriku. Revolusi kembali merawat ingatanku, di mana aku pernah berurusan dengan aparat negara, disalahkan karena aku mengucapkannya.

***

“Uhuuuii” suara sumbang dari kernet dan beberapa penumpang seolah ikut mendukung kata “REVOLUSI”. Yang lainnya masih saja diam, entah mereka tidur atau memang asyik mendengarkan. Jiwaku pun berontak, seakan ingin mengangkat kepalan tangan kiri sambil meninju atap-atap bus menembus langit biru.

“…Hari-hari esok adalah milik kita

Terciptanya masyarakat sejahtera

Terbentuknya tatanan sosialis

Indonesia baru tanpa investor…”

Bukan, bukan anutan ideologi yang ia sampaikan. Tapi ia mengatakan sebuah mimpinya sekaligus rasa kekesalannya atas kenyataan-kenyataan masyarakat yang jauh dari harapan akibat ulah dan janji-janji politik. 

Tidak ada arti duka cita seseorang harus memohon perubahan dan mimpinya diwujudkan oleh pemerintah yang berkuasa atas hidup dan mati rakyatnya.

“Marilah kawan, mari kita kabarkan

Di tangan kita, tergenggam arah rakyat

Marilah kawan, mari kita nyatakan

Sebuah lagu tentang pembebasan

Sebuah lagu tentang revolusi…”

Sebuah kabar gembira perjuangan para nabi, yang disampaikannya bersama ajakan-ajakan untuk menjalankannya bersama-sama.

“…Di bawah caping jerami, kususuri garis matahari

Di bawah kuasa tirani, kususuri garis jalan ini

Berkali kali turun aksi, berjuta kali bertani

Bagiku satu langkah pasti

Berjuta kali turun aksi, bagiku sosialis pasti jaya”

Ia mulai menyatakan latar belakang kehidupan sosialnya, keinginannya pada perubahan digambarkan dalam wibawa melawan terik panas berkepanjangan ini. Jangan biarkan sang surya malu atas tindakan tirani yang sewenang-wenang terhadap masyarakat.

Keberanian harus bertindak membela kebenaran. Ketakutan telah dimatikan sejak kami dilahirkan di ranjang kemiskinan.

Menceritakan cara-cara perlawanan terhadap kezaliman. Sikap percaya diri terhadap sebuah tata dunia yang baru. 

Dunia yang memberi kesempatan bagi semua orang untuk mendapatkan dan menikmati perlakuan yang sama. Dunia yang tanpa memilah mayoritas dan minoritas. 

Terwujudnya keadilan seperti yang dijanjikan dalam salah satu butir Pancasila, sebagai falsafah negara yang dianggap final serta sakti oleh pemangku kepentingan tanpa bisa menjelaskannya, apalagi mewujudkannya. 

Aih, pikiranku melantur kemana-mana terkenang dengan kehidupan jalanan yang masih kukhidmati sampai sekarang.

Nalarku memenuhi segala semesta, pikiranku mulai berkelana menjelajahi alam raya. 

Dari lirik-lirik yang ia gubah, mulai dari apa yang ia bawakan setidaknya ia memahami bahwa ketidakadilan dan ketimpangan atas cara untuk memenuhi kebutuhannya ini tidak lagi berkutik pada halal haramnya kehidupan. 

Ini bukan pilihan dirinya sendiri, ini bukan keinginannya. Tapi pembentukan dan juga pemaksaan dari sebuah tangan yang menciptakan kesenjangan ini. Ada suatu sistem yang sengaja merancang krisis ini. 

Yah, tangan itu adalah tangan pemodal dan sistem itu adalah ekonomi kapitalis. Sayang pengamen ini tak paham tangan siapa yang telah mencekik lehernya. Atau mungkin ia paham dengan caranya sendiri.

Handphone mulai kukeluarkan dari saku celana. Menengok penunjuk waktu pada layarnya, kudapati tanggal 02 Desember 2019, pukul 10 lewat 19 menit WIB. 

Waktu hanya kuhapalkan saat sedang rajin masuk kuliah saja, mendengarkan ocehan-ocehan birokrasi, namun beberapa minggu ini aku mengalami kebosanan dalam ruang-ruang fetisisme yang mengumbar janji-janji serta harapan palsu atas keberhasilan masa depan tersebut. 

Semua hari sama saja, yang membedakan adalah nama-nama almanak. Momen indah yang tak boleh kulewatkan, kejadian yang harus kutulis setelah tiba di kota Z tujuanku nanti. Aku mencatatnya di lembaran ingatan kepalaku.

Beberapa saat kemudian bunyian-bunyian logam mulai padam, tapi suaranya terus saja menggema. 

Mengucapkan terima kasih terlebih dahulu kepada Pak Sopir dan krunya. Permohonan maaf beserta beberapa kata penutup ditujukkan kepada semua penumpang.

Aku yang juga turut senang atas pentasnya itu, mulai merogoh beberapa recehan yang sengaja kusiapkan sebelumnya. Kebaikan hati hasil dari didikan moral yang sering disarankan ibuku di saat kami hendak bepergian. 

Tas ransel yang berada di pangkuanku, sengaja kuturunkan, jaket yang kukenakan, kusibak agar terbuka. 

Menampakkan desain kaos yang kukenakan. Saat ia sampai di hadapanku menyodorkan topi yang harusnya ia kenakan di atas mahkota kepalanya, seolah menuntut simpati atas ketimpangan sosial ini.

Sebelum kumasukkan sesuatu pada topi itu, kutunjukkan tulisan yang tertera pada kaosku “DAULAT TANI TANPA PENGGUSURAN”, sambil berbisik di telinganya.

 “Salam Kamerad.”

 Ia pun membalasnya. 

“Salam,” dengan nada yang lebih lantang namun pandangannya tetap fokus ke arah depan, arah Pak Polisi yang berada tepat di belakangku. 

Tanpa berbalik lagi, ia pun langsung menuruni bus bersama beberapa penumpang yang sudah sampai pada tujuan perjalanan mereka. 

Ia berlalu, namun meninggalkan kenangan dan ide-ide yang kurawat sebagai harapan. Harapan yang ia sampaikan lewat lirik-lirik lagu yang beberapa telah diubah olehnya.

Begitu si pengamen turun. Pak polisi yang persis berada di belakangku, membuang napas panjang sambil berucap santai.

“Revolusi Mbah-mu…”

Skip to content